Diberdayakan oleh Blogger.

Archive for 01/12/09 - 01/01/10

Menikah(kan)


posted by rahmatullah on

No comments

Orang tua bilang tidur setelah shalat ashar itu tidak baik, katanya bisa menyebabkan penyakit atau bakal dirundung banyak masalah. Tapi bagi saya dan teman-teman yang seharian bekerja menangani proses pembukaan lahan pada perusahaan perkebunan, rutinitas traveling di medan berat dan terik matahari katulistiwa diubun-ubun, tidur sore selepas bekerja sudah menjadi kebiasaan, mau ditolak sekeras apapun sang kantuk tetaplah hinggap dan biasanya sebelum atau pas adzan magrib, barulah kami terbangun.

Pada suatu sore di Bulan Juli, tanggalnya saya lupa, ditengah-tengah tidur yang sangat nikmat melepas penat sehari, ada yang mengetuk pintu kamar saya keras-keras (kebetulan kami tinggal di longhouse, sebutan lain dari mes tempat tinggal staff yang disediakan perusahaan), pada akhirnya ketukan tersebut membuyarkan kenikmatan tidur dan mimpi yang sedang dirajut. Rupanya Pak Ahmad, salah seorang staf plantation dengan mimik wajah serius mengajak saya ngobrol. Saya heran karena beliau jarang menunjukkan wajah seserius ini, “Maaf Pak membangunkan, ada yang harus diobrolkan, penting !!!”. Sambil ngucek-ngucek mata setengah tak sadar, saya tanggapi “Ada apa Pak Ahmad? Kayaknya serius sekali”, tanpa basa basi beliau menyambung “Masalah karyawan kita pak, ada yang kumpul kebo dua pasang, saya minta tolong Pak Rahmat bantu selesaikan, hawatir masalahnya jadi runyam”. Kata ‘kumpul kebo’ adalah kata-kata dahsyat yang membuat saya sadar total dari kantuk yang masih tersisa. Alamak, apa urusan saya dengan kumpul kebo karyawan, dan selama menangani masalah sosial di lapangan belum pernah saya punya pengalaman menangani masalah kumpul kebo, apalagi jumlahnya dua pasang. “Karyawan siapa Pak? Dapat kabar dari mana?”, beliau menanggapi “ Satu orang karyawan Pak Ketut dan satu lagi karyawan yang baru datang. Saya dapat kabar dari anak buah di lapangan, sekarang lagi jadi gosip panas di barak karyawan, takutnya kalau sampe orang kampung tahu, nanti panjang masalahnya”. Memang sebelum ada informasi kumpul kebo, saya telah membuat laporan berulang kali mengenai kondisi kesejahteraan karyawan, dimana barak yang disediakan perusahaan sudah penuh sesak, rata-rata ruangan satu pintu ukuran 8X4 meter diisi tiga keluarga, belum lagi masalah sanitasi yang kumuh, dan dari dulu sudah diprediksi akan jadi bibit masalah sosial. Namun laporan tinggal laporan tidak ada yang ditanggapi manajemen.
Supaya bisa menenangkan Pak Akhmad, akhirnya walaupun gusar, saya tanggapi beliau“ Ya udah Pak, sambil makan malam kita ngobrol lagi, tolong kumpulkan info yang sejelas-jelasnya, minta Pak Ketut tangani dulu, Kalau Pak Heru datang nanti saya sampaikan ke beliau”. Saya masih punya kartu truf untuk tidak pusing sendiri, masih ada Pak Heru selaku manager Humas yang lebih berpengalaman menyelesaikan masalah karyawan. Tibalah waktunya makan malam, karena kami tinggal dalam satu longhouse, waktu makan adalah saat ketemu dengan semua staf, dan saya Tanya kembali Pak Ahmad, “Gimana Pak info kumpul kebonya valid? Ada kabar baru apa?”, Pak Ahmad menanggapi “Sangat valid Pak, banyak saksi, Karena kesibukannya, Pak Ketut belum bisa tangani, orang-orang barak makin resah, sesama penghuni barak gak ada yang berani negur mereka, dan ternyata salah satu pasangan transaksinya di TPA”. Ketika mendengar nama TPA (Tempat Penitipan Anak) saya kaget bukan main, karena TPA adalah lokasi tanggungjawab saya, tempat bermain dan belajar anak-anak karyawan yang juga berfungsi sebagai mushala sementara. “Astagfirullah yang benar di TPA Pak? Keterlaluan sekali mereka. Ya udah, besok setelah apel, karyawan yang kumpul kebo sama mandornya kumpulkan di kantor, kita selesaikan, Pak Ahmad juga hadir ya”. Entah ada energi dari mana saya sangat percaya diri meminta Pak Ahmad mengumpulkan karyawan yang bermasalah di kantor, padahal masalah kumpul kebo bukan masalah sederhana, yang melakukan usianya jauh diatas saya, disaat yang sama kehadiran Manager Humas pun belum pasti untuk bisa bantu menyelsaikan masalah tersebut besok, karena sampai kami beranjak ke kamar, Pak Heru belum pulang dari kantor perusahaan cabang yang berlokasi di Ibu kota Kabupaten.

Terasa malam ini adalah malam yang sangat panjang, karena belum terbayang bagaimana menangani masalah besok. Pak Ahmad beserta karyawan lain sudah begitu besar harapannya supaya saya bisa menyelesaikan masalah, sedangkan saya belum bisa membagi masalah tersebut dengan Manajer Humas, karena beliau belum pulang. Disisi lain, sebagai asisten CSR dan orang yang sedikit tahu tentang agama dan moral, saya merasa terpanggil dan bertanggungjawab menyelesaikan masalah tersebut, karena membiarkan berarti dosa, menundanya atau acuh apalagi, terlebih kejadiannya di TPA sekaligus mushala yang sedang saya rintis. Tapi perasaan tidak yakin mampu menyelesaikan masalah tersebut juga sebanding, karena mereka yang berperkara ini umurnya jauh diatas saya, bisa dibilang orang yang sudah tua, sedangkan umur saya baru 26 tahun dan ‘belum menikah’, saya ragu apakah mereka akan respek dan mau mendengarkan omongan saya besok. Kalau masalah keributan, konflik individu atau kelompok, saya yakin bisa tangani karena urusannya normatif dan ada catatan pengalaman, tapi kalau kumpul kebo, lebih ke ranah privat dan hawatirnya mereka akan memandang saya sebagai anak kemarin sore. Pikiran saya bergelayut, dan dalam kebimbangan menjelang dinihari akhirnya mata bisa dipejamkan.

Tidur dengan beban pikiran memang sama sekali tidak ada nikmatnya, sebelum subuh saya terbangun dan saya hanya bisa memanjatkan doa agar diberikan kekuatan dan kemudahan dalam menghadapi tantangan sekalgus ujian hari ini. Ritual bekerja di perusahaan perkebunanan dimulai setelah shalat subuh, jam 05.30 Wita kami sudah sarapan pagi bersama, dan saya menyampaikan kembali pesan ke Pak Akhmad, “Pak jangan lupa selepas apel kumpulkan mandor, saksi, dan karyawan bermasalah, Pak Ahmad juga wajib ikut damping saya ya…”. Kebetulan dikarenakan saya asisten non kebun, tidak diwajibkan ikut apel, dan sambil menunggu apel selesai saya mencari patner berbagi masalah yaitu Pak Heru. Akhirnya saya bertemu beliau yang sudah berseragam rapi, namun naga-naganya seperti akan berangkat lagi ke kota Batulicin. Sempat juga saya menceritakan permasalahan ke beliau, namun sesuai prediksi, beliau menanggapi, “Wah besok saja ya kita selesaikan, soalnya pagi ini saya harus ke kantor Batulicin, ada rapat seluruh manajer”, saya hanya bisa membujuk beliau, agar masalah tidak tertunda dan mengaharapkan sebelum berangkat beliau mebantu menyelesaikan masalah, walaupun saya mengerti beliau butuh waktu segera berangkat ke batu licin, karena jarak ke Batulicin yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Tanah Bumbu lumayan jauh, membutuhkan waktu tempuh satu jam setengah, beliau menanggapi sekaligus menutup dialog, “Wah, saya buru-buru, Pak Rahmat awali aja dulu biar besok saya bantu selesaikan”. Pernyataan tersebut pertanda saya harus menyelesaikan masalah tersebut sendiri, karena kalaupun ditunda sampai esok, sama saja menambah bara api dalam sekam.

MasyaAllah bola ditangan saya dan bingung mau dibagi kesiapa lagi beban ini. Biasanya ketika menghadapi masalah, dalam benak kita sudah sudah terbentuk peta solusi, tapi kali ini betul-betul gelap, karena ini jenis masalah baru buat saya. Sampai akhirnya Pak Ahmad membuyarkan lamunan saya, “Ayo cepat Pak, semua sudah kumpul di depan kantor, Pak Heru bisa bantu kita?”. Gemuruh di dada saya semakin kencang, dan sekenanya saya jawab “Pak Heru berhalangan, beliau ada rapat manajer di Batulicin, Apa saya bisa menyelesaikan masalah ini Pak Ahmad? Sayakan masih ‘anak-anak’, belum nikah pula, harus mengurusi kumpul kebo orang-orang yang usianya jauh lebih tua dari saya”. Jawaban saya retoris, saking ragunya bisa menyelesaikan masalah. Namun jawaban Pak Ahmad seakan menjadi oase buat saya “Pak Rahmat harus yakin, bapak kan biasa jadi khatib, imam, biasa mengingatkan orang lain gak hanya dengan kata tapi tindakan, bukankah dosa kalau kita biarkan? Muda atau tua gak jadi masalah, yang penting kita ingatkan mereka yang salah…”. Hmm, seperti tertampar wajah saya, kenapa harus ragu, toh kalau kita yakin apa yang kita lakukan adalah benar, pasti hati orang lain akan terbuka, tinggal bagaimana cara kita menyampaikan sebuah kebaikan. “Baiklah Pak Ahmad, ayo kita kekantor sekarang, ikhtiar yang kita bisa…”.

Kantor di tempat kami merupakan bagian dari bangunan longhouse, hanya terpisahkan ruang dari tempat tidur dan ruang tamu. Sudah ada lima orang di depan kantor, saya juga belum tahu yang mana pasangan kumpul kebo. Saya dan Pak Ahmad mendahului masuk ke kantor, entah ada energi darimana, tiba-tiba saya dianugerahkan peta pikiran (mind map) dalam waktu teramat singkat, dibukakan jalan keluar untuk menuntaskan masalah didepan mata, seperti ada yang memandu. “Pak Ahmad, tolong semua staf diminta keluar dulu, biar kita bisa fokus, saya minta kertas kosong dan pulpen, lima menit lagi yang bermaslah suruh masuk, kita duduk lesehan aja”. Saya ambil dua lembar kertas kosong, satu saya corat-coret untuk menemukan pointer kalimat terstruktur, tepat dengan masalah, menyentuh, menyadarkan, tidak menyinggung dan juga jadi solusi buat mereka yang bermasalah, dan kertas satunya lagi saya biarkan kosong, untuk menuliskan surat perjanjian.
Akhirnya dua pasang kumpul kebo masuk kedalam kantor beserta mandor didampingi Pak Ahmad. Saya pandangi wajah mereka, namun herannya seperti tidak ada perasaan bersalah, mereka malah senyam senyum seperti orang yang sedang jatuh cinta, tidak tampak raut merasa bersalah. Saya minta mereka duduk, kemudian saya awali pertanyaan apa maksud dikumpulkan sesuai dengan apa yang telah saya tuliskan, saya tanya kejujuran mengenai apa yang telah mereka lakukan dengan mengkonfrontir mandor sebagai saksi. Alhamdulillah dari mulut mereka tertutur kejujuran dan mengakui perbuatan yang telah dituduhkan, sama sekali tidak ada penyangkalan. Entah tiba-tiba dari mulut saya keluar pertanyaan sekaligus refleksi bersama. “Bapak dan Ibu beragama Islam?”, “Tahu apa hukumnya berzinah”, “terbayangkah kalau perbuatan ditiru orang lain”, “Atau yang melakukan ini adalah anak Bapak atau Ibu”, “Terbayangkah kalau perbuatan bapak ibu mendatangkan azab?”, “Apakah tahu jikalau TPA itu adalah mushala, tempat ibadah kita”… dan berbagai pertanyaan sekaligus pernyataan lain yang merupakan bentuk eksplorasi terhadap ‘hati’ mereka.

Saya tidak paham seperti ada suasana hening tiba-tiba pada kami, mereka begitu khidmatnya mendengarkan tuturan saya yang sebetulnya ‘anak kemarin sore’, dan terlihat linangan air mata di pelupuk mata mereka. Tanpa saya duga mereka menghaturkan permintaan maaf dan memohon untuk tidak diberhentikan dari perusahaan. saya hanya bisa menanggapi, “Bapak dan Ibu, minta maaf bukan ke saya, ke Pak Ahmad atau ke perusahaan, tapi hakikatnya melakukan taubat, memohon ampunan pada Allah…, dan kalau pimpinan tahu masalah ini, pasti semua sudah dipecat, saya dan Pak Ahmad hanya bisa berusaha agar perusahaan tidak tahu masalah ini. Tolong luruskan niat, karena kita disini sama-sama cari rizki”. Sampai akhirnya saya sampaikan jalan keluar akan masalah yang mereka hadapi, “Sekarang hari sabtu, saya minta bapak dan ibu semua pulang, selesaikan urusan dikampung masing-masing, mumpung besok hari minggu. Segera menikahlah, mau siri atau lewat KUA yang penting sah secara agama. Hari senin Bapak dan Ibu boleh kembali lagi bekerja asal bawa surat sudah menikah, kalau belum, mohon maaf belum bisa kami terima bekerja. Saya minta Pak mandor awasi, tegur dengan keras kalau kejadian semacam ini terulang, dan berharap Pak ahmad, awasi betul perkembangan kedua pasangan”. Alhamdulillah semua pihak tidak ada yang protes dengan keputusan yang saya ambil, diakhir saya menuliskan perjanjian diatas materai agar ada efek jera dari kedua pasangan dan supaya tidak terjadi perulangan kejadian pada karyawan yang lain. Setelah semua menandatangani, kami berjabat tangan dan mereka siap segera menikah dan mematuhi semua perjanjian yang telah dibuat. Saya dan Pak Ahmad hanya bisa tersenyum bahagia diberikan anugerah kemampuan menyelasaikan masalah ini, dan ternyata dengan ketenangan hati dan keyakinan, seberat apapun masalah bisa diselesaikan, ujung-ujungnya Pak ahmad menyampaikan candaan, “Untung mereka gak nanya berapa usia Pak Rahmat dan gak tahu kalau Bapak belum menikah, coba kalau sampe tahu hehe…”. Saya hanya bisa tertawa, andai mereka tahu bisa jadi semua solusi yang saya tawarkan mentah, dan terbayang anak kemarin sore coba menasihati orang yang jauh lebih tua ‘sungguh terlalu:p’ . Dan ternyata untuk kebaikan apapun bisa, saya yang belum menikah, mampu menikahkan dua pasang sekaligus.

Tibalah hari senin, sesuai perjanjian mereka yang kumpul kebo jika ingin kembali bekerja harus menyerahkan salinan surat nikah ke kantor. Menjelang siang, dua pasang kumpul kebo yang sudah sah menghampiri saya di kantor dan menunjukkan surat menikah, satu dari KUA dan satu tulisan tangan, satu pasang bilang “kami baru mampu nikah siri Pak”, saya hanya bisa bersyukur dan menanggapi mereka “Ya sudah, mohon tetap banyak istighfar ya Bapak dan Ibu, supaya Allah mengampuni, silahkan bekerja kembali, fokus cari rizkinya”. bagi saya apa yang telah terjadi merupakan kebahagiaan tersendiri, terlebih mereka sudah sah walaupun diawali dengan cara yang salah. Sebagai informasi nikah siri bagi masyarakat banjar bukanlah hal yang tabu, dianggap sebagai hal biasa, ketika belum mampu melakukan resepsi, terlebih di kampung hanya ada penghulu dan jauh dari KUA.

Seperti dejavu, pada satu tidur sore awal bulan November, badan saya digoyang-goyang Pak ahmad, kebetulan kamar tidak dikunci. “Bangun Pak, ada masalah”. Saya terbangun “Ada masalah apa Pak Ahmad?”. Lalu Pak ahmad menyambung “Kita ke barak, saya dapat laporan valid lagi, sekarang karyawan saya yang kumpul kebo”. Sempoyongan saya ke kamar mandi untuk mencuci muka, sepertinya saat ini sudah menjadi spesialis menangani masalah kumpul kebo, akhirnya dengan mengendarai sepeda motor kami berangkat ke barak karyawan. “Ayo Pak Kumpulkan di satu ruangan, mereka yang kumpul kebo, saksi dan semuanya”. Mendapat cerita saksi, batin saya berontak, ternyata mereka yang kumpul kebo tinggal dalam satu ruangan dan di ruangan tersebut tinggal juga Bapak dan Ibu si perempuan. Pekik istigfar meronta di dada saya, kok bisa orang tua membiarkan anaknya kumpul kebo di depan mata dan kepalanya sendiri. Rupanya mereka berasal dari suku mandar, dimana dalam suku tersebut kumpul kebo adalah kebiasaan sebelum sesorang menikah dalm rangka memperoleh izin ‘paksa’ dari orang tua perempuan. Halah, saya hanya bisa mengelus dada, ternyata ada yang namanya tradisi kumpul kebo di zaman modern ini.

Saya hanya bisa bertutur dan menasihati mereka yang kumpu kebo beserta keluarganya, dan Alhamdulillah ucapan saya di dengar mereka, kemudian saya tanya “Kenapa tidak menikah”, diantara mereka menjawab “Kami belum gajian Pak, belum ada uang buat bayar penghulu”. Tanpa berpanjang kata saya keluarkan uang di dompet saya Rp. 200.000 dan dari Pak ahmad Rp.100.000. saya bilang ke mereka “Pokoknya malam ini semua pergi ke penghulu kampung, wajib menikah malam ini juga, pakai uang ini”. Mereka menurut dan rupanya keterbatasan ekonomi membatasi mereka menikah, dan betul malam itu juga mereka menikah di depan penghulu kampung. Walaupun waktu itu saya diundang, saya memilih tidak menghadiri, karena saya menilai proses awal mereka yang salah.

Dalam pikiran saya, lama-lama punya jabatan rangkap selain asisten CSR juga menjadi ‘penghulu’, sudah tiga pasang kumpul kebo yang saya selesaikan dengan jalan menikahkan, walaupun bukan jalan yang Allah ridhai tapi tidak ada jalan lain selain membukakan pintu bagi mereka untuk menikah segera. Inilah resiko menjadi pekerja sosial, karena hampir semua persoalan baik itu ranah kita walaupun bukan ranah kita, ranah di luar maupun dalam perusahaan ditantang harus bisa menyelesaikannya. Alhamdulillah Kalimantan mengantarkan pada pengalaman baru, bagaimana menikahkan orang lain walaupun yang menikahkan belum menikah, he..he..

Tribute To Paman Adung


posted by rahmatullah on

No comments

Sampai dengan hari ini walaupun sudah tidak bekerja di Kalimantan, saya masih ‘jatuh cinta’ dan akan terus ‘jatuh cinta’ dengan Desa Mangkalapi, sebuah desa di pedalaman Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Jika dulu saya berkisah tentang “Jejak Siliwangi di Mangkalapi”, tapi sekarang saya akan bertutur tentang seseorang yang bernama Muhammad Dong, yang lebih nyaman saya panggil Paman Adung, sebutan ‘paman’ merupakan istilah sapaan dalam bahasa banjar yang menunjukkan penghormatan sekaligus kedekatan emosional, beliau adalah Kepala Desa Mangkalapi.

Saya bukanlah orang yang mudah ‘menaruh hati’ pada orang lain, tapi dalam petualangan saya selama setahun di Kalimantan, kesan mendalam justru saya dapatkan pada sosok Paman Adung, karena dari beliaulah saya belajar apa itu kearifan, belajar hakikat demokrasi, dan juga belajar kebersahajaan dalam hidup. Bukan sekali ini pekerjaan saya beririsan dengan desa atau survey desa, mungkin sudah lebih dari 50 desa yang saya teliti atau kunjungi, namun baru kali inilah di pedalaman Kalimantan memiliki kesan mendalam terhadap kepala desa dan desanya.

Ketika awal saya bekerja, Manajer Humas mencoba mengenalkan saya sebagai CSR Assistant perusahaan yang baru ke aparat Desa Mangkalapi, kebetulan setiap selesai shalat jumat di rumah Kepala Desa Mangkalapi biasanya ada pertemuan antara aparat desa dengan warga, sekedar mengobrol santai atau berkisah mengenai kondisi kampung, mungkin bahasa Dus Dur-nya open house. Seperti biasanya dalam pertemuan kampung saya datang ke rumah kepala desa dan bersalaman dengan seluruh orang yang ada disana, saya tidak tahu yang mana kepala desa, mana Sekdes, mana ketua Rt, karena semua memakai sarung dan kopiah duduk melingkar, dan mungkin manajer Humas-pun lupa menunjukan yang mana kepala desa dan aparatnya satu persatu, sampai akhirnya saya duduk diantara mereka dan terlibat dalam obrolan hangat, terlebih ketika warga desa baru tahu jika saya adalah CSR assistant yang baru. Sampai dengan open house selesai , saya hanya menduga-duga siapa kepala desa, dan dugaan saya jatuh pada bapak tua yang banyak bicara saat open house sebagai kepala desa Mangkalapi.
Pekan berikutnya merupakan jadwal saya melakukan pemetaan sosial di Desa Mangkalapi, dan tentunya harus menemui kepala desa untuk melakukan wawancara dan mengambil data monograf desa. Saya berangkat menuju rumah kepala desa, berdasarkan kesimpulan saya pada saat open house kalau kepala desa adalah bapak tua yang banyak bicara. Sampai di depan rumah kepala desa saya bertemu dengan sesorang yang terlihat masih muda sedang menyapu pekarangan rumah, mengenakan kaus oblong dan celana pendek. Saya ingat dalam open house hari jumat pemuda tersebut hadir dan lebih banyak diam. Kemudian saya bertanya “Pak… Bapak Muhamad Dong kepala desa adakah dirumah?”, dengan tersenyum hangat orang yang saya hampiri tersebut menjawab, “Beliau ada, silahkan naik pak”, beliau bergegas masuk kedalam rumah dan meninggalkan sapu lidinya. Tak lama kemudian berganti celana panjang sambil membawa nampan berisi teh hangat pemuda tersebut menghampiri saya, “Ayo silahkan minum pak Rahmat, ini cuma ada air hangat”, lalu beliau duduk disamping saya sambil menepuk bahu, kemudian bertanya “Bagaimana Pak Rahmat, betahkah tinggal di kampung ini?”, karena tujuan saya bertemu kepala desa, maka saya jawab sekenanya “Hamdulillah betah pak, oia Bapak Kepala Desanya kemana pak?” kembali saya menguatkan pertanyaan. Sambil tersenyum lagi pemuda dihadapan saya menjawab “Beliau ada hehe… saya Muhammad Dong… ya wajah saya memang kurang mantap kalau disebut kepala desa, maklum masih belajar”. Alamak, rupanya pemuda yang tadi menyapu halaman, saya kira anak atau pembantu kepala desa, rupanya beliaulah yang bernama Muahammad Dong kepala Desa Mangkalapi. Saya malu luar bisa dan minta maaf salah menduga orang. Inilah kesan pertama yang selalu saya ingat, karena selama ini, saya terbiasa mengidentikan jabatan seseorang pada simbol-simbol luar, apakah itu pakaian, sikap, cara bicara dan kali ini betul-betul keliru. Seseorang yang menyapu di depan rumah yang amat sederhana mengenakan celana pendek dan membawa nampan, lalu menyajikannya ke tamu ternyata seorang kepala desa. Dimata orang lain berlebihan memang, tapi dimata saya begitu berkesan karena ada penggalan informasi berikutnya mengenai Paman Adung yang membuat saya semakin mengagumi beliau.

Muhammad dong meminta saya memanggilnya Adung saja, gak usah pakai sebutan Kepala Desa atau bapak. Usianya terbilang muda, kemungkinan tidak lebih dari 35 tahun, warga bilang beliau adalah kepala desa sementara menggantikan bapaknya yang meninggal 7 tahun lalu. Kepala Desa sementara, tapi telah menjabat lebih dari tujuh tahun, terdengar aneh memang, namun inilah wujud political trust sesungguhnya. Warga berpendapat dikarenakan masyarakat sudah sangat percaya dengan beliau, maka tidak perlu ada pemilihan lagi, soalnya percuma kalaupun ada Pilkades, gak akan ada yang mencalonkan diri karena suara warga desa sudah ke Pak Adung 100%. Pernyataan warga desa inilah yang membuat saya ingin tahu, karena baru ini menemukan ada warga yang “cinta mati” dengan kepala desanya.

Selidik punya selidik sambil menjalankan pekerjaan saya dikantor dan berhubungan dengan kepala desa, saya amati apa sih yang membuat warga amat sayang dengan kepala desanya. Temuan saya pertama mengenai kebersahajaan, rumah beliau berupa panggung yang terbuat dari kayu, sama dengan rumah warga pada umumnya, kendaraan yang ada hanyalah motor Yamaha Scorpio, memang sepertinya mewah tapi jika ukurannya Kepala Desa di Kalimantan sangatlah sederhana apalagi di tanah Desa Mangkalapi terdapat tambang batubara PT Arutmin, milik group Bumi Resources, terdapat beberapa Kuasa Penambangan (KP) Batu Bara lokal, dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Namun Paman Adung sama sekali tidak memperkaya diri walaupun banyak perusahaan yang beroperasi diwilayahnya, padahal kalau mau, mungkin sudah menjadi orang terkaya, jikapun ada fee dari perusahaan batu bara atau perusahaan kelapa sawit beliau mengalokasikannya untuk honor guru, aparat desa, dan pembangunan fasilitas desa. Kondisi ini bertolak belakang dengan desa sebelah, dimana kepala Desanya mengendarai Toyota Fortuner. Sebagai gambaran, di Kalimantan sangat familiar jika Kepala Desa yang wilayahnya memiliki deposit batubara kemana-mana mengandarai Hummer, Toyota Fortuner atau jenis kendaraan mewah lainnya. Bahkan populasi mobil Hummer di Kalimantan jauh lebih banyak dibanding di Jakarta.

Kelebihan berikutnya, beliau adalah orang yang menerapkan filosofi satu mulut dua telinga, yaitu orang yang mampu menjadi pendengar yang baik, memberikan jawaban singkat namun solutif, sehingga membuat orang lain yang diajak berbicara merasa terhargai. Beliau terhitung langka mau memberikan sambutan baik dalam acara desa maupun undangan perusahaan. Bahkan saya menilai beliau memiliki emosi ‘nol’, karena setiap ada masalah seberat apapun selalu dihadapi dengan ketenangan, musyawarah, dan nyaris tanpa emosi. Sebagai pengalaman pernah suatu kali jalan desa rusak parah, disebabkan loading truck perusahaan tempat saya bekerja melakukan pengangkutan bibit tanaman sawit pada musim hujan, dimana hampir semua penduduk desa marah karena jalan desa hancur dan sulit dilalui sepeda motor, bahkan beberapa bagian jalan diblokir warga. Pada saat itu juga saya mengendarai sepeda motor menuju desa untuk menyelesaikan masalah tersebut dan berhenti berkali-kali untuk mengorek roda ban Karena dipenuhi lumpur, hingga pada satu tempat saya bertemu dengan Paman Adung beserta istrinya yang ternyata melakukan hal yang sama mengorek ban motor karena terganjal lumpur. Dalam kedaan spakboar depan patah dan kaki berdarah, rupanya beliau dan istrinya terpental dari sepeda motornya. Saat itu saya menilai wajar jika beliau marah kepada saya sebagai representasi perusahaan, karena membuat jalan hancur, bahkan membuat beliau dan istrinya celaka, dijalan itu beliau saya temui untuk menyampaikan permohonan maaf atas kerusakan dan ketidaknyamanan yang disebabkan perusahaan. Bukannya marah, malah kearifan beliau muncul, sambil tersenyum hangat beliau menjawab ”Gak apa-apa Pak Rahmat, namanya juga pembukaan lahan, saya malah yakin bulan depan jalan ini pasti bagus lagi”. Malah beliau mengingatkan saya “Jangan khawatir dengan warga, jalan yang di blokir sore akan dibuka, saya yakin perusahaan pasti bertanggungjawab”, pernyataan yang sangat menentramkan disaat saya panik.

Paman Adung adalah orang yang melawan arus Kepala Desa ‘pada umumnya’, padahal jika kita paham betul kultur Kalimantan, apalagi berada di wilayah tambang, cara preman atau kekerasan biasanya ditempuh untuk menyelesaikan masalah, tidak jarang permasalahan baru selesai jika sudah keluar mandau, atau harus ada yang terluka bahkan mati, tapi hal tersebut tidak dilakukan oleh Paman Adung. Semua masalah beliau selesaikan dengan musyawarah, membuat mereka yang bertikai tersenyum puas, bahkan beberapa kali saya dan pihak perusahaan sempat kecewa dengan sikap beliau yang terkesan lamban dalam menyelesaikan masalah ganti rugi tanah yang tumpang tindih, karena beliau tetap memilih jalur musyawarah. Prinsip beliau walau lambat, yang penting membuat ikhlas pihak yang bermasalah. Bahkan tidak jarang tanpa sepengetahuan perusahaan, beliau menalangi ganti rugi tanah yang tumpang tindih dengan biaya honor kepala desa atau kas desa, padahal hal tersebut bisa diajukan dengan menekan perusahaan, tapi sama sekali tidak beliau lakukan.

Satu bulan lalu saya meninggalkan pulau Kalimantan, dan informasi terakhir yang saya dapat, bahwa Paman Adung sedang melanjutkan kuliah S1 mengambil jurusan Administrasi Negara, karena pendidikan terakhirnya SMA, padahal usianya sudah 35 tahun. Sedang jarak dari Desa Mangkalapi ke Banjarmasin sekitar 6 jam, tapi dengan kegigihan dan cita-cita besar beliau tempuh. Tujuannya hanya satu, beliau ingin warga dan anaknya suatu saat meniru apa yang beliau lakukan tanpa harus beliau perintah, tapi dengan memulainya pada diri sendiri.
Satu hal yang saya ingat, kalau Paman Adung tidak ada di rumahnya saya pasti menemukan beliau di kebun karetnya, sedang menebas pohon liar dan menyiangi rumput, beliau lakukan itu dalam rangka memberikan contoh bagi masyarakatnya supaya memulai berkebun, agar tidak terus menggantungkan hidup dari mendulang emas dan mencari kayu ulin, karena beliau berpandangan, kalau hidup terus bergantung pada alam, suatu saat alam akan habis.

Memang Paman Adung adalah ‘malaikat’ yang mungkin Tuhan dikirim ke pedalaman, beliau tidak berbuat dengan mengumbar kata, tetapi melalui peneladanan. Hamdulillah ternyata masih ada “manusia pemimpin” model Paman Adung di zaman ini. Andai seluruh pemimpin bangsa ini bisa mengenal Paman Adung.

Sketsa