Diberdayakan oleh Blogger.

MENANGGULANGI KEMISKINAN NELAYAN


posted by rahmatullah on

10 comments


"Sejarah kejayaan nusantara tidak bisa dilepaskan dari sejarah bahari, karena sejak abad ke-5 jauh sebelum kedatangan orang-orang eropa di perairan nusantara, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut internasional dan tampil sebagai penjelajah samudra. Kronik Cina serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang bangsa Indonesia, (Dick, 2008). Bahkan sejarah kejayaan Sriwijaya dan Majapahit dalam upaya menyatukan nusantara, tidak lepas dari kekuatan pelaut dan armada bahari yang dimiliki saat itu. Membicarakan tentang bahari, pikiran kita tidak lepas dari sosok nelayan, berbeda konteks, nelayan dulu adalah sosok terpandang, memiliki identitas sebagai mereka yang tangguh, dan dihormati karena keberhasilannya, namun untuk konteks saat ini, nelayan identik dengan sekelompok masyarakat miskin, tinggal di wilayah kumuh pinggiran pantai, yang sulit untuk bisa naik kelas menjadi masyarakat sejahtera".

Diantara kategori pekerjaan terkait dengan kemiskinan, nelayan sering disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor).  Berdasarkan data World Bank mengenai kemiskinan, bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin.  Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan (BPS, 2008).
Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial (Suharto, 2005). Oleh karena itu, harus diketahui akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan pada nelayan. Terdapat beberapa aspek yang menyebabkan terpeliharanya kemiskinan nelayan atau masyarakat pinggiran pantai, diantaranya; Kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin, banyak kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan bersifat top down dan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Kondisi bergantung pada musim sangat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan nelayan, terkadang beberapa pekan nelayan tidak melaut dikarenakan musim yang tidak menentu. Rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan peralatan yang digunakan nelayan berpengaruh pada cara dalam menangkap ikan, keterbatasan dalam pemahaman akan teknologi, menjadikan kualitas dan kuantitas tangkapan tidak mengalami perbaikan.
Kondisi lain yang turut berkontribusi memperburuk tingkat kesejahteraan nelayan adalah mengenai kebiasaan atau pola hidup. Tidak pantas jika kita menyebutkan nelayan pemalas, karena jika dilihat dari daur hidup nelayan yang selalu bekerja keras. Namun kendalanya adalah pola hidup konsumtif, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder. Namun ketika paceklik, pada akhirnya berhutang, termasuk kepada lintah darat, yang justru semakin memperberat kondisi.  Deskripsi diatas merupakan pusaran masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan umumnya di Indonesia.

Pokok Masalah
Terdapat 5 (lima) masalah pokok terkait penyebab kemiskinan masyarakat nelayan, diantaranya:
1.       Kondisi Alam. Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya.
2.       Tingkat pendidikan nelayan. Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah.
3.       Pola kehidupan nelayan. Pola hidup konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder.
4.       Pemasaran hasil tangkapan. Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga di bawah harga pasar.
5.       Program pemerintah yang belum memihak nelayan, kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin, banyak kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan bersifat top down dan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Kebijakan yang pro nelayan mutlak diperlukan, yakni sebuah kebijakan sosial yang akan mensejahterakan masyarakat dan kehidupan nelayan.
 
Gambar 1, Struktur Masalah Kemiskinan Nelayan

Teori
Definisi dan Kondisi Umum Kemiskinan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut (Soekanto, 2006). Sedangkan menurut Depsos, kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2.100 kilo per kalori per orang per hari dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (Suharto, 2005).
Pada dasarnya kemiskinan terbagi kedalam berbagai ciri atau SMERU memberikan identifikasi kemiskinan (Suharto, 2005), sebagai berikut:
1.       Ketidakmampuan memenuhi konsumsi dasar (pangan, sandang, dan papan)
2.       Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan tansportasi)
3.       Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga)
4.       Kerentanan terhadap goncangan yang bersidat individual maupun missal.
5.       Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam
6.       Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat
7.       Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan
8.       Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9.       Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil)

Selain itu, Kemiskinan tergategorikan kedalam kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi bukan dikarenakan ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja (Suharto, 2005). Struktur sosial tersebut tidak mampu menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jika pun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan.
Sedangkan kemiskinan kultural menurut Lewis (Suharto, 2005), merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Kebudayaan kemiskinan biasanya merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di indoktrinasikan dalam mimbar agama.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimensi (Aulia, 2009), yaitu :
-          Dimensi Ekonomi
Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara financial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
-          Dimensi Sosial dan Budaya
Kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.
-          Dimensi Sosial dan Politik
Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem sosial politik.

Kemiskinan Pada Nelayan
Kusnadi, (2002) mengidentifikasi sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan pada masyarakat nelayan:
a)      Belum adanya kebijakan dan aplikasi pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terintegrasi atau terpadu di antara para pelaku pembangunan.
b)      Mendorong pemda merumuskan blue print kebijakan pembangunaan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan secara terpadu dan berkesinambungan.
c)       Masalah isolasi geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar masuk barang, jasa, kapital, dan manusia. Berimplikasi melambatkan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat nelayan.
d)      Keterbatasan modal usaha atau investasi sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya.
e)      Adanya relasi sosial ekonomi ”eksploitatif” dengan pemilik perahu dan pedagang perantara (tengkulak) dalam kehidupan masyarakat nelayan.
f)       Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, berdampak sulitnya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas hidup.
g)      Kesejahteraan sosial nelayan yang rendah sehingga mempengaruhi mobilitas sosial mereka.
Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya.
Subade dan Abdullah (1993), mengajukan argumen bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.
Panayotou (1982), mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.

Kebijakan Sosial Mendukung Kesejahteraan Nelayan
Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak termasuk masalah nelayan beserta kemiskinannya. Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006:4) dalam Suharto (2007, 10): in short, social policy refers to what governments do we they attempt to improve the quality of people’s live by providing a range of income support, community services and support programs. Artinya, secara singkat, kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan, dan program-program tunjangan sosial lainnya.
Kebijakan sosial adalah ketetapan yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban Negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya (Edi Suharto, 2006, 2007).
Secara garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, takni perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan system perpajakan (Midgley, 2005). Dimana kebijakan social yang diterbitkan harus benar-benar menyentuh masyarakat miskin termasuk dalam focus bahasan ini adalah kehidupan komunitas nelayan di Indonesia.

Masalah Kelautan dan Perikanan Indonesia di Mata Dunia
Dalam peta kelautan dunia, Indonesia masih memiliki berbagai kelamahan dalam hal tapal batas, pemetaan teritori garis pantai sampai penamaan pulau-pulau dan kalkulasi jumlah pasti sebaran pulau Indonesia. Kondisi ini sudah menjadi masalah sejak masa awal kemerdekaan Indonesia sampai dengan saat ini. Sehingga friksi perbatasan laut menjadi rawan konflik dan sengketa dengan negara-negara tetangga yang berbatas laut langsung dengan Indonesia (terutama dengan Malaysia, Singapura, dan Australia). Hal ini juga bersinggungan dengan faktor keamanan laut, illegal fishing (pencurian ikan), pelanggaran batas, dan tindak kriminalitas kelautan lainnya. Data statistik menunjukan kerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun akibat pencurian ikan oleh orang asing . Persoalan ini masih ditambah dengan aspek lingkungan hidup kelautan kita yang jauh dari kategori ideal. Padahal Indonesia punya potensi kelautan yang luar biasa besar dan posisi tawar yang tinggi secara ekonomi, strategi dan politik (Ayu, 2009).
Di tengah banyaknya persoalan dan masalah di bidang kelautan yang belum terselesaikan, Inisiatif dan gagasan besar dari Indonesia demi lestarinya laut dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan acara konferensi internasional bertajuk “World Ocean Conference” (WOC) dan “Coral Triangle Initiative Summit (CTIS)” yang digelar dari tanggal 11 sampai dengan 15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara, yang dihadiri oleh perwakilan dari 121 negara.
Agenda pokok yang dibahas dalam WOC dan CTIS tersebut adalah:
1.   Penentuan bentang laut (sea scapes) prioritas yang cukup luas untuk percontohan pengelolaan yang baik dan berkelanjutan untuk setiap negara peserta.
2.   Pengembangan jejaring  kawasan konservasi laut.
3.   Pengelolaan perikanan berbasis ekosistem dan pengelolaan sumber daya hayati laut.
4.   Pengembangan pendanaan yang berkelanjutan, termasuk pengembangan kapasitas dan pelibatan sektor swasta.
5.   Penyesuaian terukur terhadap perubahan iklim.
6.   Memperbaiki status ancaman terhadap beberapa spesies laut.
Pentingnya WOC dan CTIS bagi Indonesia dan negara-negara peserta, juga dilatarbelakangi kurangnya kepedulian dunia internasional terhadap pelestarian laut dan pengelolaan kekayaan hayatinya. Selaku tuan rumah, diharapkan Indonesia dapat memegang peran penting dalam isu di bidang kelautan sehingga posisi tawar dan eksistensi Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia – setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia – dapat meningkat. (Ayu, 2009).

Analisis
Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, infrastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.

Kondisi Alam
Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan akan semakin membuat masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan (vicious circle) setiap tahunnya.
Tidak ada yang bisa dilakukan dalam menghadapi kondisi alam, karena alam tidak akan bisa dilawan. Hal yang bisa dilakukan dalam menghadapinya adalah perlunya masyarakat nelayan memiliki penguasaaan aspek informasi dalam hal cuaca dan lokasi. Nelayan di berbagai wilayah membutuhkan dukungan yang kongkrit dari berbagai pihak mengenai prediksi cuaca dan di lokasi mana berkemungkinan terjadi cuaca ekstrim, sehingga resiko di laut dapat dihindari, dan alternatif wilayah tangkapan yang relatif aman didapatkan. Perlunya kerjasama antara Departemen Kelautan dan Perikanan dengan pihak Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) mengenai perkiraan cuaca dalam jangka watu yang bersifat menengah maupun panjang, sehingga nelayan di masing-masing daerah sudah bisa memprediksikan kondisi cuaca. Dengan demikian waktu tangkap dan lokasi tangkap sudah bisa nelayan rencanakan sebelum melaut. Jika kondisi tersebut terwujud, nelayan bisa menentukan waktu, kapan mereka harus optimal menangkap ikan, harus menabung untuk persiapan paceklik, dan kapan mereka harus merawat perlengkapan tangkap ikan disaat memanfaatkan kondisi cuaca paceklik. Sosialisiasi mengenai perkembangan cuaca beserta prediksinya dapat menggunakan pertemuan kelompok nelayan. Pemberian informasi mengenai perkembangan cuaca beserta dasar prediksinya merupakan asupan berharga bagi masyarakat nelayan, karena akan menjadi keuntungan bagi nelayan disamping mereka memahami ilmu kebaharian tradisional yang sifatnya turun temurun yang terus dilestarikan, juga pemahaman dasar mengenai kondisi cuaca berdasarkan informasi berdasarkan pemanfaatan akan teknologi.

Tingkat pendidikan nelayan
Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaaan nelayan terhadap teknologi.
Dukungan pemerintah dan pihak lain sangat dibutuhkan, karena kelemahan utama nelayan Indonesia di banding nelayan bangsa lain adalah masalah pemanfaatan teknologi, akses informasi mengenai titik-titik keberadaan ikan tidak dimiliki oleh nelayan, sehingga jumlah tangkapan nelayan selalu terbatas. Nelayan perlu diedukasi untuk mampu memahami sistem teknologi satelit atau GPS, setidaknya walaupun tidak mampu menggunakan teknologinya, nelayan dibukakan akses informasinya, baik dari pihak DKP, BMG maupun syahbandar, sebagai pengelola kegiatan nelayan di tingkat lokal. Selain itu dalam peningkatan kualitas ikan, dukungan dari pengusaha atau pihak akademik mengenai tekhnologi pengawetan, pengemasan harus diberikan, agar harga ikan yang nelayan jual tidak mengalami kejatuhan.
Dukungan akan peningkatan pendidikan tidak semata kepada nelayan sebagai kepala keluarga, melainkan nelayan dalam konteks keluarga. Keterbatasan pengetahuan terkadang terjadi karena sifatnya turun temurun, dimana orang tua tidak mengharuskan anaknya untuk melanjutkan sekolah.
Keterbatasan keluarga nelayan dalam mengakses pendidikan dasar yang bersifat formal maupun pendidikan lain yang sifatnya informal harus ditingkatkan, pemangku kepentingan harus memprioritaskan akan hal ini dengan membangun fasilitas pendidikan di dekat pemukiman nelayan, membangun akses parsara, seperti jalan. Selain memberikan variasi pilihan pendidiak baik formal maupun informal, hingga penyelenggaraan setara paket A, B dan C. Jika kondisi pendidikan pada anak nelayan jauh lebih baik, minimal memenuhi pendidikan dasar bahkan menengah, akan memudahkan nelayan tersebut dalam memanfaatkan tehnologi juga perkembangan informasi lainnya.

Pola kehidupan nelayan sendiri                 
Streotipe seperti boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Sebagai contoh, mereka pergi subuh pulang siang, bahkan pada masa tertentu nelayan terpaksa harus beberapa hari dilaut dan menjual ikan hasil tangkapan dilaut melalui para tengkulak yang menemui mereka ditengah laut, kemudian menyempatkan waktu pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan lupa akan kondisi ketika mengalami kesusahan.
Perlu adanya upaya merubah cara berpikir nelayan dan keluarganya, terutama mengenai kemampuan dalam mengelola keuangan disesuaikan dengan kondisi normal dan paceklik, selain mencari alternatif aktivitas disaat kondisi cuaca tidak menentu. Bahwa musim paceklik akan hadir dalam setiap tahunnya, oleh karenanya berbagai strategi adaptasi dilakukan masyarakat nelayan untuk bertahan hidup. Strategi adaptasi yang biasanya dilakukan adalah memobilisasi peran perempuan (kaum istri) dan anak-anaknya untuk mencari nafkah. Keterlibatan perempuan dalam mencari nafkah untuk keluarga di wilayah pesisir atau desa-desa nelayan tidak terlepas dari sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labour by sex) yang berlaku pada masyarakat setempat.
Kaum perempuan biasanya terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk, seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi, simpan pinjam, dan jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga. Hadirnya pranata-pranata tersebut merupakan strategi adaptasi masyarakat nelayan dalam menghadapi kesulitan hidup yang dihadapinya. Strategi adaptasi diartikan sebagai pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup.
Dalam hal ini peran kaum perempuan nelayan tidak lagi berada pada ranah domestik (rumah tangga) tetapi telah memasuki ranah publik (masyarakat luas). Dalam beberapa kasus, untuk menambah penghasilan keluarga, para kaum perempuan nelayan bahkan terpaksa menitipkan anak mereka yang masih kecil untuk di rawat kepada anaknya yang lebih tua atau tetangga yang tidak bekerja, karena suaminya bukan berprofesi sebagai nelayan, misalkan guru, pedagang, petani dan lain sebagainya diluar profesi sebagai nelayan. Sedangkan strategi adaptasi yang dilakukan para nelayan (kaum suami) adalah diversifikasi pekerjaan untuk memperoleh sumber penghasilan baru, seperti menjadi buruh di pasar, bertukang dan bertani (bagi nelayan di pedesaan).
Berkaitan dengan diverisfikasi pekerjaan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, pemangku kepentingan diharapkan mampu mencarikan potensi baik kewilayahan, maupun keterampilan masyarakat nelayan. Hal ini perlu, agar ada diversifikasi yang lebih menungtungkan, apakah melalui upaya pengembangkan pariwisata setempat, pengolahan hasil tangkapan laut menjadi makanan khas, hingga upaya budidaya ikan. Selain itu perlu membangun jejaraning diantara pemangku kepentingan berdasarkan kapastitasnya. Misalnya LSM dengan memberikan pendampingan dan pelatihan, pemerintah memberikan dukungan perizinan dan fasilitas dan pengusaha memberikan bantuan modal. Dengan konsep ini, diharapkan kondisi paceklik, tidak akan terlalu besar dampaknya bagi masyarakat nelayan karena sudah terbentuk alternative pekerjaan yang sama-sama menguntungkan.

Kondisi Alat Tangkap dan Pemasaran hasil tangkapan
Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran. Kondisi ini yang selalu mengakibatkan nelayan tidak pernah untung, keterbatasan infrastruktur menjadikan nelayan merugi, tidak seimbangnya antara biaya yang dikeluarkan untuk melaut, dengan keuntungan hasil jual, karena harga dipermainkan oleh pihak tengkulak.
Upaya yang mungkin dilakukan agar nelayan tidak terjerat lingkaran tengkulak adalah dengan mengembangkan fungsi lembaga keuangan mikro dan koperasi yang memihak nelayan, selain itu perlu adanya upaya membangun usaha bersama, seperti melalui pemilikan sarana-sarana penangkapan dan pemasaran secara kolektif.
Selain itu kebudayaan nelayan yang berbahaya namun terabaikan adalah terjalinnya relasi sosial ekonomi yang sifatnya eksploitatif dengan pemilik perahu dan pedagang perantara (tengkulak) dalam kehidupan masyarakat nelayan. Kondisi tersebut bisa diperbaiki dengan mengurangi beban utang piutang yang kompleks para nelayan kepada pemilik perahu dan tengkulak dengan mencarikan alternatif keuangan mikro. Harus adanya upaya dalam memperbaiki norma sistem bagi hasil dalam organisasi penangkapan, sehingga tidak merugikan nelayan. Selain itu perlu mengoptimalkan peran lembaga ekonomi lokal, seperti KUD Mina.
Disisi lain rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, berdampak sulitnya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas hidup, upaya yang bisa dilakukan adalah meningatkan pemilikan lebih dari satu jenis alat tangkap, agar bisa menangkap sepanjang musim, mengembangkan diversifikasi usaha berbasis bahan baku perikanan atau hasil budidaya perairan, seperti rumput laut, memperluas kesempatan kerja sektor off fishing dan melakukan transmigrasi nelayan pada wilayah lain yang masih memiliki potensi kelautan.
Namun yang menjadi masalah adalah tidak semua nelayan memiliki perahu sendiri. Nelayan yang tidak mempunyai modal untuk membeli perahu, terpaksa meminjam uang kepada tengkulak. Pada umumnya para tengkulak (patron) memberikan pinjaman kalau hasil tangkapan nelayan (klien) minim. Ketergantungan nelayan pada tengkulak berawal dari utang/pinjaman, dan biasanya dilakukaan pada saat paceklik atau memperbaiki kerusakan alat tangkap seperti jaring dan menganti tali kajar. Meskipun demikian, ada juga pihak yang menilai bahwa keberadaan para tengkulak tersebut justru menolong nelayan. Kondisi ini terjadi karena negara tidak mampu memberikan pinjaman lunak, dan kalaupun ada bank, mereka juga tidak bisa mengaksesnya karena alat tangkap sebagai faktor produksi tidak bisa dijadikan agunan.
Dalam perspektif struktural kemiskinan nelayan tidak hanya disebabkan hubungan patron-klien yang menimbulkan jeratan utang dan mengarah pada bentuk eksploitasi. Tetapi kemiskinan nelayan juga terjadi karena keterbatsan akses nelayan terhadap hak penguasaan sumberdaya perikanan. Penguasaan atas sumberdaya perikanan selama ini lebih banyak dinikmati oleh kolaborasi pemilik modal dan birokrat. Sebagai fakta adalah masih beroperasinya pukat harimau (trawl) di seluruh perairan Indonesia yang berakibat pada penyerobotan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing ground).
Bahkan adanya musim-musim tertentu dimana ikan jenis tertentu banyak dan sedikit menggambarkan bahwa kehidupan mereka tergantung pada rejeki laut. Dalam satu daerah dimana terdapat desa-desa pesisir juga memiliki perbedaan dalam tingkat kesurplusan sumberdaya perikanan. Bahkan ukuran rumah yang terbuat dari bilik bambu dan sudah condong belum tentu bisa menjadi ukuran miskin karena mungkin saja ditemukan barang elektronik seperti TV. Pola hubungan patron klien memungkinkan mereka berutang dalam artian digunakan pada tujuan yang baik maupun tidak semisal membeli suatu barang berharga di rumah. Sehingga tak heran jika, umumnya nelayan berenang dalam kubangan utang. Penghasilan Rp.175.000/bulan tidaklah susah diperoleh ketika musim ikan banyak. Bahkan bisa tiga kali lipat, sekalipun dengan sistem bagi hasil dengan tokehnya. Tapi besoknya, mungkin hanya dapat Rp.10.000, lalu kemudian meminjam ke tokeh, begitu seterusnya.
Namun berdasarkan pandangan nelayan (perspektif emic), kuatnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka selain bergantung pada pemilik modal (patron). Dari hal tersebut, bisa dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan dengan sistem yang demikian, sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang akrab dalam kehidupan mereka.

Program pemerintah yang tidak memihak nelayan
Banyak program telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan nelayan. Program yang bersifat umum antara lain Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Keluarga Sejahtera, Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Sedangkan program yang secara khusus ditujukan untuk kelompok sasaran masyarakat nelayan antara lain program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Program Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil (PUPTSK).
Namun, secara umum program-program tersebut tidak membuat nasib nelayan menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Salah satu penyebab kurang berhasilnya program-program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan nelayan adalah formulasi kebijakan yang bersifat top down. Formula yang diberikan cenderung seragam padahal masalah yang dihadapi nelayan sangat beragam dan seringkali sangat spesifik lokal. Di samping itu, upaya penanggulangan kemiskinan nelayan seringkali sangat bersifat teknis perikanan, yakni bagaimana upaya meningkatkan produksi hasil tangkapan, sementara kemiskinan harus dipandang secara holistik karena permasalahan yang dihadapi sesungguhnya jauh lebih kompleks dari itu.
Oleh karena itu, perlu sekali diterbitkan sebuah kebijakan sosial yang berisikan keterpaduan penanganan kemiskinan nelayan sebagaimana yang mereka butuhkan, kebijakan tersebut juga harus didukung oleh kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten atau kota dimana terdapat masyarakat miskin khususnya masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan keegoan dari masing-masing pemangku kepentingan. Keterpaduan tersebut adalah sebagai berikut : pertama, keterpaduan sektor dalam tanggung jawab dan kebijakan. Keputusan penanganan kemiskinan nelayan harus diambil melalui proses koordinasi di-internal pemerintah, yang perlu digaris bawahi adalah kemiskinan nelayan tidak akan mampu ditangani secara kelembagaan oleh sektor kelautan dan perikanan, melainkan seluruh pihak terkait.
Kedua, keterpaduan keahlian dan pengetahuan, untuk merumuskan berbagai kebijakan, strategi, dan program harus didukung berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keahlian, tujuannya adalah agar perencanaan yang disusun betul-betul sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat nelayan. Ketiga, keterpaduan masalah dan pemecahan masalah sangat diperlukan untuk mengetahui akar permasalahan yang sesungguhnya, sehingga kebijakan yang dibuat bersifat komprehensif, dan tidak parsial.  Keempat, keterpaduan lokasi, memudahkan dalam melakukan pendampingan, penyuluhan dan pelayanan (lintas sektor), sehingga program tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efesien.
Kegagalan penanganan kemiskinan nelayan ini selama ini, disamping kurangnya keterpaduan, juga terdapatnya berbagai kelemahan dalam perencanaan. Untuk itu dalam proses perencanaan harus unsur-unsur sebagai berikut :
1.       Perumusan sasaran yang jelas, berupa; hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan yang dibuat, kelembagaan yang bertanggung jawab, serta objek dari kegiatan.
2.       Pengidentifikasian situasi yang ada, yaitu dengan mempertimbangkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman), tujuannya untuk mengetahui kondisi sesungguhnya tentang objek yang akan ditangani. Selanjutnya akan memudahkan dalam menyusun berbagai strategi yang mendukung penanganan kemiskinan nelayan.
3.       Penentuan tujuan harus bersifat spesifik (objek, kegiatan, dibatasi waktu dan terukur), sehingga pengentasan kemiskinan nelayan jelas siapa sasarannya dan jenis kegiatan yang akan dilakukan, dan selanjutnya berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pencapaian tujuan dapat ditentukan dengan jelas.
4.       Menganalisa keadaan, pelaksanaan kegiatan harus disesuaikaan antara ketentuan yang telah ditetapkan dengan realitas yang ada dilapangan, dan apabila terjadi permasalahan diluar dugaan, maka perlu segera dibuatkan strategi dan tindakan baru untuk menutup jurang perbedaan.
5.       Pendampingan, monitoring dan evaluasi, pendampingan harus dilakukan awal kegiatan dilaksanakan, sampai pasca kegiatan, sehingga akan menjadi bahan evaluasi, apakah kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.


Gambar 2, Pola Penanggulangan Kemiskinan Nelayan
Selanjutnya melalui konsep yang dikemukakan ini akan dapat dirumuskan berbagai strategi pengentasan kemiskinan seperti: perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, perlindungan sosial, dan penataan kemitraan global.



Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional sehingga pendekatan untuk mengentaskan kemiskinan juga harus multidimensional. Dalam hal mengatasi kemiskinan kaum nelayan, setidaknya perlu mengagas dan mewujudkan harapan akan perkuatan sektor kelautan dari semua aspek. Mulai dari gazetteer pulau, penegasan tapal batas, perkuatan armada pertahanan lautan (penambahan jumlah kapal patroli laut sampai jumlah ideal, penertiban zona tangkapan ikan dan aktivitas kelautan lain, sampai persoalan penyelamatan lingkungan perairan.
Dengan demikian mengatasi kemiskinan nelayan sebaiknya harus diawali dengan adanya data akurat statistik. Selanjutnya ditindaklanjuti mengenai apa penyebab dari kemiskinan tersebut, apakah karena jeratan utang atau faktor lain. Kemudian cara atau metode untuk menaggulanginya lebih terfokus, pada nelayan-nelayan yang berada pada subordinasi tengkulak. Bagaimanpun juga bahwa penyebab kemiskinan tidaklah sama disemua wilayah, bahkan ukurannyapun bisa berbeda-beda atau tergantung kondisi setempat. Sehingga formula pengentasan kemiskinanpun tidak bisa digeneralisir pada semua wilayah atau semua sektor. Kemiskinan yang dialami oleh nelayan tidak bisa disamamakan dengan ukuran kemiskinan buruh di perkotaan. Bahkan dalam suatu di kabupaten yang sama belum tentu bisa diratakan ukuranya pada desa-desa pesisir yang ada. Program pengentasan kemiskinan nelayan membutuhkan strategi khusus yang mampu menjawab realitas yang terjadi hari ini. Selain itu, peranan hukum juga menjadi sangat penting untuk mensejahterakan para nelayan.
 Rekomendasi
Berdasarkan uraian pokok masalah diatas, maka rekomendasi yang harus  dilakukan dalam menanggulangi kemiskinan nelayan adalah:
1.       Peningkatan kualitas pendidikan masyarakat nelayan. Dalam hal ini konteksnya adalah nelayan sebagai kepala rumah tangga, dan nelayan sebagai seperangkat keluarga. Nelayan yang buta huruf minimal bisa membaca atau lulus dalam paket A atau B. Anak nelayan diharapkan mampu menyelesaikan pendidikan tingkat menengah. Sehingga kedepan akses perkembangan tekhnologi kebaharian, peningkatan ekonomi lebih mudah dilakukan.
2.       Perlunya merubah pola kehidupan nelayan. Hal ini terkait dengan pola pikir dan kebiasaan. Pola hidup konsumtif harus dirubah agar nelayan tidak terpuruk ekonominya saat paceklik. Selain itu membiasakan budaya menabung supaya tidak terjerat rentenir. Selain itu perlu membangun diverifikasi mata pekerjaan khusus dipersiapkan menghadapi masa paceklik, seperti pengolahan ikan menjadi makanan, pengelolaan wialyah pantai dengan pariwisata dan bentuk penguatan ekonomi lain, sehingga bisa meningkatkan harga jual ikan, selain hanya mengandalakan ikan mentah.
3.       Peningkatan kualitas perlengkapan nelayan dan fasilitas pemasaran. Perlunya dukungan kelengkapan tekhnologi perahu maupun alat tangkap, agar kemampuan nelayan Indonesia bisa sepadan dengan nelayan bangsa lain. Begitupula fasilitas pengolahan dan penjualan ikan, sehingga harga jual ikan bisa ditingkatkan.
4.       Perlunya sebuah kebijakan sosial dari  pemerintah yang berisikan program yang memihak nelayan, Kebijakan pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan harus bersifat bottom up sesuai dengan kondisi, karakteristik dan kebutuhan masyarakat nelayan. Kebijakan yang lahir berdasarkan partisipasi atau keterlibatan masyarakat nelayan, bukan lagi menjadikan nelayan sebagai objek program, melainkan sebagai subjek. Selain itu penguatan dalam hal hukum terkait zona tangkap, penguatan armada patroli laut, dan pengaturan alat tangkap yang tidak mengeksploitasi kekayaan laut dan ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

-         Aulia, Tessa . F. “Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dan Kemiskinan Aspek Sosial Budaya”. Draft Laporan Final Hibah Multidisiplin UI. 2009.
-         Dick-Read, Robert. “ Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika”. Bandung: Mizan 2008
-         Kusnadi, “Akar Kemiskinan Nelayan”. Yogyakarta. LKIS. 2002
-         ­­­­­_______, Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta. AR-Ruzz. 2009
-         Midgley, James, Pembangunan Sosial, Ditperta Depag RI, Jakarta, 2005.
-         Mulya Lubis, Todung. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktrural. Jakarta : LP3ES, 1986.
-         Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan 38. Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2005.
-         Suharto, Edi. “Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”. Bandung:  Refika Aditama. 2005.
-         Suharto, Edi, Kebijakan Sosial sebagai kebijakan public, Alfabeta, Bandung, 2007
-         Supriatna, Tjahya. “Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan”. Bandung: Humaniora Utama Press. 1997
-        BPS.2008. Berita Resmi BPS
-        Himti, Ibrahim. “Wilayah Laut Indonesia”.
-        Marbun, Leonardo. “Kenaikan BBM dan Kemiskinan Nelayan”.
-        Samhadi, Sri Hartati., Ahmad Arif, dan Maria Hartiningsih. “Petani Berhadapan dengan Kekuasaan”. Kompas, 11 April. 2008, 41.
-        Solihin, Akhmad. “Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial“.
-        Sudrajat, Ihwan. “Membangkitkan Kekuatan Ekonomi Nelayan”. Suara Merdeka, 13 Desember 2002.
-        ____________.“Separuh Penduduk Masih Rentan Menjadi Miskin”, Kompas, 8 Desember 2006, halaman I.
-        Andini, Ayu. “Indonesia Gelar World Ocean Conference Pertama di Dunia”. www.indofamilynet.com, 04-05-2009 18:43

10 comments

  1. fain
  2. Anonim
  3. Anonim
  4. Anonim
  5. Anonim

Leave a Reply

Sketsa