Diberdayakan oleh Blogger.

ISU PEREMPUAN dan KEMISKINAN


posted by rahmatullah on

No comments



I  Perempuan dan Masalah Kemiskinan
Membahas mengenai isu perempuan, harus dimulai dari pengertian gender, yaitu atribut dan tingkah laku yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki, serta dibentuk oleh budaya. Dari sini muncul gagasan mengenai apa yang pantas dilakukan oleh laki-laki mapupun perempuan (Noerdin, 2006). Isu perempuan muncul dikarenakan adanya budaya patriarki. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary menyebutkan bahwa patriarki adalah asociety, a system, or a country that is ruled or controlled by men (2000). Dimana setiap kekuasaan dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki dikontrol oleh laki-laki. Perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh dalam masyarakat atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat. Mereka secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi tergantung pada laki-laki, khususnya dalam institusi pernikahan. Sehingga dalam keluarga maupun masyarakat perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior. Menurut Madsen pekerjaan perempuan hanya pada wilayah domestik, mengurus suami, menjadi ibu dengan mengurus anak-anaknya. Peran-peran domestik tersebut dilekatkan pada sosok perempuan oleh masyarakat yang menganut sistem patriarki (2000).
Menurut Arivia (2006), sebagai perempuan memang berbeda, namun juga sama  dengan laki-laki. Ada kondisi umum yang membuat perempuan sama dengan laki-laki, namun ada juga kondisi khusus yang dimiliki perempuan yang membuat berbeda, tapi bukan berarti untuk dibedakan. Perbedaan dengan cara menilai positif adalah perbedaan yang melihat perempuan dengan nilai dan cara beradanya yang berbeda dengan laki-laki. Nilai dan cara berada perempuan dikonstruksikan dan dikondisikan oleh pengalaman-pengalaman perempuan yang melahirkan, menyusui, merawat dan mempunyai tingkat kesensitifitasan serta kepedulian yang besar. Nilai-nilai perempuan didasarkan pada etika kepedulian yang kental melekat dalam sistem cara pandang dunia perempuan. Sedangkan perbedaan cara menilai negatif adalah melihat nilai-nilai perempuan sebagai yang lain (other). Sehingga dengan mudah terjadi pengobyekan dan penindasan.

I.1 CEDAW dan Hak Perempuan
Terkait dengan masalah hak perempuan yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), mengenai peraturan agar  terhindar dari segala diskriminasi dan ketidaksetaraan, sebetulnya sudah diatur dalam Konvensi Tentang Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau The Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). CEDAW telah berjasa untuk membawa perempuan dalam arena perbincangan hak. Ketika pemerintah telah meretifikasi CEDAW, berarti pemeritah telah menjadi alat melakukan kontrak sosial dengan perempuan (Arivia, 2006). CEDAW menjadi alat untuk selalu menagih pemerintah berada dalam jalur HAM.
Beberapa area fokus yang dipermasalahkan di Indonesia:
-          HAM di dalam keluarga. Alasan yang sering digunakan untuk menolak HAM perempuan adalah argumentasi kodrat perempuan sebagai pilar keluarga. Namun menjadi pilar keluarga bukan berarti  mengorbankan hak asasinya. Premis utama dari non diskriminasi adalah bahwa setiap individu tidak akan ditolak haknya atas dasar ras, etnik dan terutama jenis kelamin. Esensi dari HAM adalah untuk memberikan kapasitas melakukan pilihan yang bertanggungjawab.
-          Partikularsme budaya. Kebijakan untuk menerapkan  budaya-budaya tertentu dalam kehidupan masyarakat didasarkan oleh keyakinan-keyakinan agama yang merupakan kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar. Penerapan peaturan daerah yang didasarkan oleh partikularisme budaya tertentu (termasuk di dalamnya tradisi tertentu yag mengekang perempuan) tidak dapat dibenarkan. Pembatasan-pembatasan terhadap perempuan, seperti pelarangan menikah diluar yang seiman dan praktik poligami merupakan pelanggaran menurut CEDAW.
-          Praktik Reproduksi perempuan. CEDAW menjamin agar perempuan diberikan akses pada pelayanan kesehatan serta family planning termasuk di dalamya aborsi. Penyunatan terhadap anak perempuan merupakan kekerasan terhadap perempuan.
-          Akses terhadap sumber daya produktif. CEDAW menjamin hak sosio-eonomi perempuan (tanah, kredit usaha, dan sebagainya), dan juga memastikan peranan perempuan secara aktif mementukan pembangunan negaranya.
-          Budak Seks. traficking menjadai masalah yang besar di negara-negara, sperti Thailand, Burma dan Indonesia. Dalam kasus Indnesia, UU Traficking belum ada.
Konvensi CEDAW memberikan suatu kerangka kerja untuk megajukan isu-isu perempuan yang penting dengan dasar pengertiannya, yakni non diskriminasi. Substansi CEDAW didasarkan oleh tiga prinsip yang saling berhubungan:
-          Prinsip kesetaraan
-          Prinsip non diskriminasi
-          Prinsip kewajiban negara (state obligation)
Pada poin terakhir negara harus memastikan realisasi hak-hak perempuan sehingga perempuan mempunyai akses atau kesempatan. Artinya negara tidak saja menjamin apa yang tertera dalam pasal-pasal CEDAW, akan tetapi mengimplementasikannya. Tidak saja memeberikan hak-hak dejure namun juga secara defacto.

1.2 Kaitan antara Perempuan dan Kemiskinan
Berangkat dari pemahaman diatas, bahwa terdapat keterkaitan antara perempuan dengan kondisi kemiskinan, dimana budaya patriarki secara tidak langsung telah memberikan batasan-batasan bagi perempuan dan ketidakadilan serta ketidaksetaraan turut melahirkan kedekatan identitas perempuan dengan kemiskinan. Edriana Noerdin (2006), mengemukakan bahwa pengalaman perempuan dan laki-laki berbeda terhadap kemiskinan, dan perempuan dibandingkan laki-laki jauh lebih tertinggal dalam mengakses sumber daya politik maupun ekonomi. Oleh karena itu, strategi nasional dan lokal yang diimplementasikan bagi penurunan angka kemiskinan harus bisa mendorong peningkatan partisipasi dan kesejahteraan perempuan. Apabila perempuan tidak dijadikan target sasaran pengentasan kemiskinan dan analisis gender tidak digunakan untuk melihat akar penyebab kemiskinan, maka program-program pengentasan kemiskinan tidak akan bisa menjangkau kebanyakan perempuan yang memiliki keterbatan akses terhadap ruang publik. Sementara itu, jangkauan program yang tidak responsif gender sangat terbatas pada program-program yang terjadi di ruang publik. Akibatnya persoalan yang terjadi di ruang privat seperti kekerasan terhadap perempuan, tidak menjadi sasaran program.
Persoalan ketimpangan gender terdapat dalam setiap aspek kehidupan bermasyarkat, mulai dari struktur sosial, politik, ekonomi, kultur masyarakat, sampai pada produk kebijakan yang dilahirkan. Setidaknya terdapat 9 aspek yang menunjukkan perempuan begitu dekat dengan kemiskinan, dikarenakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan (Noerdin, 2006), diantaranya:
 
Gambar 1, Struktur Masalah Akses Penyebab Kemiskinan Perempuan
(disarikan dari Noerdin(2006))

1.      Akses Politik Perempuan
Tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga politik formal, baik ditingkat nasional maupun lokal, besar pengaruhnya terhadap kualitas huidup perempuan. Hal ini terjadi karena kualitas hidup perempuan tidak dapat dipisahkan dari kebijakan publik yang dibuat oleh lembaga-lembaga politik, apalagi mengingat kebijakan tersebut juga diikuti oleh alokasi anggaran untuk implementasinya. Dengan kurangnya kepekaan pemerintah terhadap persoalan gender, maka apabila perempuan tidak ikut serta menentukan kebiajakan yang mengatur kebutuhan yang harus dipenuhi pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraannya, sangat mungkin kebutuhan perempuan akan ditempatkan pada skala prioritas yang rendah.
2.      Akses Perempuan Terhadap Pekerjaan
Dalam hal akses perempuan terhadap pasar tenaga kerja, ada kecendrungan bahwa perempuan yang memasuki pasar tenaga kerja jauh lebih kecil jumlahnya daripada laki-laki. Sementara itu bagai perempuan yang mencoba memasuki pasar tenaga kerja, ternyata juga memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk memperoleh pekerjaan dibanding dengan laki-laki.
Tingginya kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam hal akses ke pasar tenaga kerja, disebabkan oleh beberapa hal:
-          Ketika ingin bekerja diluar rumah, perempuan yang belum menikah pada umumnya harus mendapatkan izin dari orang tua, dan yang sudah menikah harus mendapatkan izin dari suami.
-          Perempuan mempunyai beban ganda karena bekerja diluar rumah dan tetap harus bertanggungjawab melakukan pekerjaan rumah tangga sampai mengasuh anak.
-          Pembagian peran berdasarkan gender yang menyebabkan perempuan diasosiasikan dengan kegiatan yang berada di lingkup domestik dan laki-laki dengan lingkup publik. Hal ini memperkecil akses perempuan terhadap pekerjaan yang biasanya diasosiasikan dengan ranah publik dan berada di sektor formal.
3.      Akses Perempuan Terhadap Upah Yang Sama
Selain menghadapi keterbatasan akses terhadap pasar tenaga kerja dan pekerjaan, perempuan juga menghadapi diskriminasi upah. Angka perbedaan upah yang diterima laki-laki dan perempuan dapat dijumpai dalam data Susenas, Sakernas, maupun dari laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan oleh BAPPENAS, BPS, maupun UNDP.
Kebijakan pengupahan yang diskriminatif terhadap perempuan, juga merupakan akibat dari UU perkawinan tahun 1974, yang dalam pasal 1 secara eksplist menyatakan bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Pernyataan tersebut sangat berdampak pada kehidupan perempuan, karena UU tersebut dijadikan rujukan bagi setiap kebijakan publik yang timbul kemudian hari. Contohnya, lai-laki yang dinyatakan sebagai kepala keluarga mendapatkan tunjangan untuk anak dan istri dari tempat kerjanya, sedangkan perempuan yang dianggap sebagai pekerja pencari nafkah tambahan selalu dianggapa sebagai pekerja lajang yang tdak mendapatkan tunjangan keluarga.

4.      Akses Perempuan Terhadap Aset Poduktif
Aset produktif berupa tanah, rumah dan aset produktif lainnya sebagian besar dikuasi oleh laki-laki. Keterbatasan akses perempuan terhadap sumber produksi atau aset produktif seperti tanah atau rumah misalnya, juga menentukan ada tidaknya akses perempuan ke modal atau kredit. Karena aset produktif dikuasai oleh laki-laki. Apabila perempuan ingin melakukan kegiatan ekonomi berkaitan dengan aset tersebut, harus mendapat izin dari suaminya terlebih dahulu. Hal ini berkaitan dengan pengambilan keputusan atau kontrol produksi yang didominasi oleh-laki-laki. Dengan keterbatasan penguasaaan aset produksi, maka perempuan juga sangat terbatas aksesnya ke kredit (karena tidak memiliki jaminan) sehingga ini berakibat pada keterbatasan perempuan dalam mengembangkan usahanya.
5.      Akses perempuan terhadap perlindungan hukum
Banyak perempuan (terutama di pedesaan) yang tidak memiliki aset produksi dan keterampilan untuk bekerja di sektor formal akhirnya harus mangadu nasib ke sektor informal, antara lain dengan menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). TKW adalah salah satu contoh bagaimana perempuan miskin bekerja di sektor yang bersifat informal, seperti Pembantu Rumah Tangga (PRT), sulit mendapatkan akses terhadap perlindungan hukum yang memadai. Justru di era otonomi daerah, bukan malah TKW mendapatkan perlindungan secara hukum, malah Pemerintah Daerah (Pemda) berlomba menarik retribusi dari para TKW.
6.      Akses Perempuan Terhadap Layanan Kesehatan Reproduksi
Selama lebih dari 30 tahun, Indonesia tidak melakukan upaya nyata untuk mengatasi terjadinya kematian ibu ketika melahirkan, yang angkanya jauh diatas negara-negara Asia, bahkan merupakan rekor tertinggai di Asean, dimana angka kematian ibu yang melahirkan tetap diatas rasio 300/100.000 kelahiran.
Hal tersebut terjadi dikarenakan beberapa faktor yang saling berkaitan, mulai dari masalah diskriminasi gender yang sangat mengakar pada budaya, interpretasi agama, juga masalah lemahnya koordinasi antar sektor pemerintah terkait dalam menanggulangi masalah tersebut. Disamping terdapat mitos-mitos seputar peran perempuan pada umumnya dan peran ibu melahirkan pada khususnya, masalah gizi buruk yang daialami oleh perempuan akibat budaya makan yang mendahulukan laki-laki menjadi kendala besar dalam upaya penurunan angka kematian ibu ketika melahirkan. Kendala lain berupa keterbatsan dana untuk melahirkan di rumah sakit, dan di daerah-daerah terpencil juga banyak keterbatasan  tenaga bidan untuk membantu masalah kelahiran.
7.      Akses Perempuan Terhadap Layanan Pendidikan
Indonesia termasuk negara yang cukup baik dalam menyediakan akses terhadap pendidikan dasar. Tingkat partisipasi pendidikan dasar mencapai lebih dari 97% baik untuk laki-laki maupun perempuan. Tapi sayangnya akses terhaap pendidikan ini semakin berkurang untuk tingkat pendidikan lanjutan.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, ada berbagai alasan mengapa anak perempuan tidak menamatkan sekolahnya atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Salah satu alasan tersebut adalah adanya hambatan kultural, yaitu masih kuatnya budaya kawin muda bagi perempuan yang tinggal di daerah pedesaan. Anggapan yang berlaku adalah bahwa setinggi-tingginya perempuan sekolah, akhirnya tidak akan bekerja karena perempuan harus bertanggungjawab terhadap pekerjaan rumah tangga. Hal yang paling dominan adalah hambatan ekonomi, yaitu keterbatasan biaya untuk sekolah sehingga keluarga miskin terpaksa menyekolahkan anak laki-laki ketimbang anak perempuan.
8.      Minimnya Alokasi Anggaran Pemberdayaan dan Peningkatan Kesejahteraan Perempuan
Pada dasarnya, setiap daerah sudah mengalokasikan anggaran untuk pemberdayaan perempuan dalam APBD, walau ada yang eksplisit dan ada yang tidak eksplist. Jumlah APBD yang diperuntukkan bagi pemberdayaan perempuan di setiap daerah beragam. Pada umumnya alokasi anggaran tersebut adalah untuk membiayai organisasi PKK.
9.      Beban Kerja Perempuan Tinggi
Alokasi atau jam kerja perempuan lebih panjang dibandingkan laki-laki, tapi secara ekonomi penghasilan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini terjadi karena perempuan bertanggungjawab pada pekerjaan produktif, reproduktif dan fungsi-fungsi kontrol sosial di komunitas. Perempuan selalu melakukan ketiga tanggungjawab tersebut secara bersamaan, sedangkan laki-laki hanya bertanggungjawab pada pekerjaan produktif saja.
Banyak perempuan yang berpendidikan setara dengan laki-laki, tapi harus merelakan kehilangan kesempatan bekerja karena harus bertanggungjawab pada pekerjaan domestik.
Selain masalah ketimpangan yang diuraikan diatas, perempuan juga selama ini selalu menjadi objek dalam penindasan baik dalam level keluarga maupun masyarakat. Young dalam Arivia (2006) membagi 5 (lima) bentuk penindasan perempuan dalam keluarga:
1.      Eksploitasi. Penindasan terhadap perempuan bukan terjadi karena distribusi ekonomi yang tidak merata melainkan lebih pada penindasan yang bersifat sistematis. Disamping itu adanya transfer kekuatan dari perempuan keapada laki-laki. Ibu rumah tangga yang tereksploitir merasakan bagaimana ia secara sistematis ditempatkan dalam keadaan terbelenggu, tidak berani berbicara, dan sebagainya. Sebaliknya  keseimbangan, kekuasaan, kebebasan serta realisasi suami banyak dibantu dan dikuatkan oleh istri.
2.      Ketidakberdayaan. Perasaaan ketidakberdayaan paling baik dideskripsikan sebagai perasaaan negatif, tidak memiliki otoritas, status, dan arti diri seperti yang dimiliki kaum profesional. Kaum profesional memiliki semua hal tersebut karena memiliki tingkat pendidikan yang memadai yang mampu mencerna konsep dan simbol. Kaum profesional bukan saja memiliki keahlian, juga memiliki harga diri yang dapat melihat atasan sebagai kolega atau paling tidak, ada mekanisme dimana ia sebagai bawahan dijamin hak-haknya sebagai pekerja. Dinamika profesionalisme yang bermain dalam masyarakat seringkali membawa kemuka persoalan rasisme dan seksisme. Artinya ketika kualifikasi tidak menjadi masalah, hal kedua yang dinilai dalah ras, etnis manakah dia bersal? pertanyaan berikutnya adalah termasuk jenis kelamin apakah dia?. Ketidakberdayaan disini bermain di tingkat semua level.
3.      Marjinalisasi. Bentuk ini adalah bentuk penindasan yang berbahaya. Marjinalisasi dapat terjadi dalam hal pekerjaan, misalnya pada mereka yang sudah tua, single mother, etnis minoritas ,mereka yang tidak diterima karena faktor usia bahkan tinggi badan serta kerupawanan, kulit, menjadi faktor sesorang diterima bekerja atau tidak. Mrjinalisai ini bisa berhubungan dengan uang.
4.      Imperiaslisme kultural. Kelompok perempuan sangat jeli dalam melihat dominasi kultural yang sedang terjadi pada permasalahan perempuan. Iklan-iklan kulit pemutih misalnya, memberikan pesan dan definisi cantik yang universal, atau pemakaian baju-baju tertentu, yang diwajibkan dalam aera tertentu membawa budaya luar masuk pada relung kehidupan lokal, Mengalami imperaialisme budaya berarti mengalami bagaimana makna-makna dominan dalam masyarakat diredupkan dalam perspektif kelompok yang dominan dengan cara melakukan stereotip.
5.       Kekerasan. Kelompok yang tertindas dengan mudah mengalami kekerasan secara sistematis. Kelompok dan individu yang tertindas hidup dalam ketakutan yang luar biasa yang sewaktu-waktu menyadari bahwa hidup mereka bisa dirusak, dipermalukan atau dihancurkan sebagai manusia. Di Indonesia, perempuan, masyarakat tionghoa, etnis dari Indonesia Timur, gay dan lesbian, serta yang menganut agama-agama minoritas mengalami atau mearasakan apa yang disebut dengan kekerasan.

II. Pentingnya Perempuan Dilibatkan Dalam Penanggulangan Kemiskinan
Program penanggulangan kemiskinan seharusnya memuat strategi dan langkah-langkah untuk secara signifikan mengurangi jumlah perempuan miskin. Langkah awal dimulai dari analisis kemiskinan dengan perspektif gender, lalu diikuti dengan diagnosis kemiskinan berdasarkan perspektif gender, dan pengkajian ulang kebijakan serta strategi kebijakan yang responsif gender.
Penggunaan anlisis gender dalam program pengentasan kemiskinan akan membantu mengidentifikasi ketimpangan gender sebagai aspek yang penting dari kemiskinan. Dengan memetakan hubungan antara ketidakadailan gender dan kemiskinan kaum perempuan, program pengentasan kemiskinan akan dapat mengusulkan solusi untuk menetukan angka kemiskinan masyarakat pada umumnya dan kaum perempuan pada khusunya.
Indikator kertidakadilan yang berbasiskan pada ketimpangan gender dan mengakibatkan kemiskinan perempuan (Noerdin, 2006) antara lain:
-          Perempuan bukan sebagai pengambil keputusan dalam keluarga, masyarakat maupun negara.
-          Perempuan seringkali terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan pertanian yang tidak dibayar atau dibayar rendah.
-          Perempuan kurang memiliki akses terhadap pendidikan dan pelatihan.
-          Perempuan mendapatkan gaji yang berbeda untuk jenis pekerjaan yang sama.
-          Perempuan kekurangan modal untuk untuk membangun usaha sendiri
-          Perempuan tidak punya hak atas tanah yang ditinggalinya, karena tanah dan aset lainnya atas nama suami, bapak, saudara laki-laki atau kakek.
-          Perempuan lebih rendah pendidikanya daripada laki-laki karena asumsi bahwa perempuan setelah menikah akan menjadi ibu rumah tangga sehingga  investasi untuk sekolah pada perempuan dianggap tidak menguntungkan.
-          Kesehatan reproduksi perempuan belum dijadikan prioritas dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Anggaran pemerintah bagi kesehatan dasar untuk Posyandu dan Puskesmas masih sangat rendah. Dengan keterbatasan Posyandu dan Puskesmas maka perempuan miskin yang butuh pelayanan kesehatan reproduksi akan sulit untuk menjangkaunya.
-          Perempuan selalu menjadi objek dari hubungan seksual yang tidak aman karena kontrol perilaku seksual ada di pihak laki-laki, sehingga perempuan sangat rentan terhadap penularan HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas dan produktifitas hidup perempuan.
-          Perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan domestik dan tidak dibayar sehingga jam kerja perempuan lebih tinggi daripada laki-laki, sementara penghasilan perempuan jauh lebih rendah dibanding laki-laki.
-          Perempuan selalu dibayangi rasa takut apabila terjadi konflik dalam rumah tangga karena selalu berada dalam kondisi yang lemah dan rentan terhadap perlakuan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini berhubungan dengan rendahnya posisi tawar perempuan dibandingkan dengan laki-laki dalam keluarga.
-          Perempuan sangat rentan dalam situasi konflik. Perempuan biasanya menjadi target perlakuan kekerasan dalam situasi konflik. Bagi perempuan yang bekerja di luar rumah, seperti pasar, akan kehilangan sumber ekonominya karena mereka takut akan keluar rumah.
-          Perempuan janda yang dengan terpaksa menjadi kepala keluaraga tetap tidak dianggap sebagai pencari nafkah utama keluarga, sehingga upahnya jauh lebih rendah dari laki-laki, sementara jumlah perempuan yang menjdi kepala keluarga setiap tahunnya selalu bertambah.
Sebagaimana indikator yang dikemukakan diatas, terdapat aspek-aspek yang hampir sama dikemukakan dalam buku Engendering Development Throught Gender Equality In Rights, Resources and Voice, bahwa terdapat tiga hal yang menjadi acuan untuk mengukur ketidaksetaraan gender dalam hak-hak dasar diseluruh dunia sebagaimana yang dikutip Arivia (2006), yaitu:
1.      Persaman hak. Disejumlah negara masih terjadi perempuan dibatasi haknya atas kepemilikan tanah, mengelola properti, berbisnis, bahkan melakukan perjalanan tanpa persetujuan suami. Pada banyak kasus memperoleh hak atas tanah melalui suami mereka atas dasar perkawanan dan seringkali hak-hak ini hilang saat terjadi perceraian atau kematian sang suami.
2.      Sumber Daya. Perempuan juga diperkirakan masih memiliki keterbatasan akses atas berbagai sumber daya produktif, termasuk pendidikan, tanah, informasi dan keuangan. Sebagai contoh, di Afrika Selatan, rata-rata jumlah jam yang digunakan perempuan beresekolah hanya separuh dari yang digunakan laki-laki. Di banyak negara pula, wirausaha yang dikelola oleh perempuan cenderung kekurangan modal, kekurangan akses terhadap mesin, pupuk, informasi tambahan, dan kredit dibandingkan wirausaha yang dikelola oleh laki-laki.
3.      Aspirasi. Perempuan tetap kurang terwakili baik dalam Dewan Perwakilan lokal maupun nasional. Jumlah wakil perempuan di dewan perempuan atau parlemen masih rata-rata kurang dari 10 persen atas jumlah kursi dewan yang ada (kecuali di asia selatan dimana rata-ratanya 18-19 persen).
Dalam menanggulangi masalah ketidakadilan yang mengakibatkan kemiskinan pada perempuan khususnya dan berdampak pada masyarakat Indonesia pada umumnya, diperlukan kebijakan yang akan membantu mengidentifikasi ketimpangan gender sebagai aspek kemiskinan yang penting. Dengan memetakan hubungan antara ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender.
Program pengentasan kemiskinan akan mampu menyusun kebijakan untuk menurunkan angka kemiskinan kaum perempuan. Ketimpangan, ketidakdilan gender yang mengakibatkan terjadinya kemiskinan, dapat diatasi dengan jalan (Noerdin, 2006):
a)      Meningkatkan akses perempuan terhadap kesempatan kerja dan berusaha, pendidikan yang murah dan bermutu, pelayanan kesehatan umum dan reproduksi yang murah dan bermutu, sumber daya modal, bahan baku, pasar kerja, informasi, pengembangan tehnologi bagi pengembangan usaha, pupuk murah, lahan pertanian, air bersih, serta keterlibatan dalam pengambilan keputusan dalam kelembagan sosial, politik, eksekutif dan yudikatif.
b)      Keterlibatan perempuan dalam mengontrol proses perencanaan, pelaksanaan, pengalokasian anggaran dan memantau jalannya kebijakan dan program pengentasan kemiskinan.
c)      Meningkatkan penerimaan manfaat dari program pengentasan kemikinan pada khususnya dan program–program pembangunan pada umumnya oleh perempuan.
Menanggulangi kemiskinan perempuan pada dasarnya akan memberikan efek domino terhadap penanggulangan kemiskinan secara keseluruhan, sebagaimana telah dideskripsikan dalam indikator diatas bahwa kemiskinan terjadi dikarenakan belenggu yang dihadapi perempuan terkait dengan budaya patriarki, kekeliruan dalam menafsirkan perintah agama, struktur sosial, politik dan ekonomi, kultur masyarakat, sampai pada produk kebijakan yang dilahirkan. Oleh karena itu jalan diatas perlu diimplementasikan yaitu dengan membuka dan meningkatkan akses perempuaan perempuan terhadap kesempatan kerja dan berusaha, dimana tidak ada perbedaan penghasilan antara perempuan dan laki-laki dengan jenis pekerjaan yang sama. Pendidikan yang murah dan bermutu selain juga merubah tatanan budaya bahwa perempuan mendapatkan hak yang sama dalam mengakses pendidikan, tidak hanya bagi laki-laki.
Meningkatkan kesehatan Ibu merupakan dasar dari seluruh target dari delapan pencapaian Milenium Development Goals (MDGS) khususnya sasaran ke 5 (lima) yaitu menurunkan angka kematian ibu melahirkan hingga tiga perempat angka tahun 1990 (Kompas, 2010), oleh karena itu perlu adanya pelayanan kesehatan umum dan reproduksi yang murah dan bermutu.
 Dalam hal politik terkait dengan kebijakan, khususnya kebijakan yang mendukung dan sensitif gender, dimana yang memperjuangkan harapan dan kebutuhan perempuan adalah perempuan itu sendiri, oleh karena itu perlu dibukakan akses bagi perempuan dalam pengambilan keputusan dengan peningkatan jumlah kuota baik di kelembagan sosial, politik, eksekutif maupun legislatif. Dengan adanya representasi perempuan pada lembaga-lembaga tersebut yang merata hingga ke daerah, maka aspirasi dalam melakukan pemberdayaan dan pemberkuasaan mengenai hak-hak perempuan bisa terjamin, karena terdapat keterlibatan perempuan di dalamnya, bahkan partispiasi perempuan dalam menentukan anggaran, akan turut mewarnai APBN maupun APBD nantinya. Sehingga dengan demikian kemiskinan yang rekat relasinya dengan perempuan bisa ditanggulangi, dimana dampaknya akan signifikan terhadap upaya penangguangan kemiskinan yang sifatnya umum.
Upaya lain yang harus konsisten dilakukan adalah pengarusutamaan gender sebagai strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender (Silawati, 2006). Sasaran utama dari pengarusutamaan gender adalah secara pelan merubah kekeliruan dalam penafsiran budaya dan agama dalam memaknai peran perempuan. Pentingnya pengarusutamaan gender dikarenakan butuh proses yang lama dalam merubah paradigma dan pola yang ada dalam budaya.
Daftar Pustaka
Arifia, Gadis (2006), Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta, Penerbit Buku Kompas
Jurnal Analisis Sosial (2003), Perempuan, Kemiskinan dan Pengambilan Keputusan, Bandung. Akatiga.
Jurnal Perempuan Edisi 50 (2006), Pengarusutamaan Gender: Mulai Dari Mana?. Jakarta. Yayasan Jurnal Perempuan
Kompas, (2010), Soal Relasi Kuasa. Jakarta, Fokus, Jumat 23 April 2101
Noerdin, Edriana (2006), Potret Kemiskinan Perempuan: Strategi Pengentasan Kemiskinan Berbasis Gender. Jakarta, Women Research Institute
Stevenson, Catherine Soanes Angus (2000), Oxford Advanced Learner’s Dictionary. USA, Oxford University Press,
 


Leave a Reply

Sketsa