Diberdayakan oleh Blogger.

CSR DAN KEPENTINGAN PEMERINTAH DAERAH


posted by rahmatullah on

6 comments

 I. Pengantar
Kebijakan desentralisasi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 telah memberikan dampak positif maupun negatif terhadap aspek politik, ekonomi, maupun sosial. Terdapat beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah namun tidak sepenuhnya dilatarbelakangi oleh kajian terhadap kebutuhan masyarakat maupun unsur pemangku kepentingan (stakeholder) lain, yang pada akhirnya tidak memberikan dampak manfaat secara langsung. Salah satu fenomena yang terjadi saat ini adalah maraknya pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang lebih dikenal dengan istilah Perda CSR. Beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, seperti Kabupaten Tangerang, Kota Serang sudah mensahkan Perda CSR. Sedangkan Kabupaten Serang dan Kota Cilegon sedang merangpungkan draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) CSR. 
Munculnya Peraturan Daerah (Perda) CSR merupakan bagian dari fenomena implementasi otonomi daerah, namun yang menjadi pertanyaan adalah seberapa penting diterbitkannya Perda CSR, karena berdasarkan pemberitaan yang ada, wacana yang muncul tidak lepas dari upaya menghimpun dana CSR (Raperda CSR di Rancang, Radar Banten 01/02/2010), bukan pada bagaimana pemerintah mengontrol penerapan CSR perusahaan agar mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat, berjalan berkelanjutan, dan sesuai konsep pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Substansi CSR sendiri bukan pada aspek penghimpunan dana dan pembangunan infrastruktur semata, tapi bagaimana perusahaan mampu mengintegrasikan perhatian terhadap aspek sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan (Europe Commission, 2004).
Disisi lain, belum ada peraturan yang bisa dijadikan sebagai payung hukum Perda CSR, karena Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 sampai dengan saat ini belum selesai dibahas di DPR. Jikapun Perda mengacu pada Peraturan Menteri BUMN tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), Undang-undang Perseroan Terbatas (PT), Undang-Undang Penanaman Modal, atau Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi. Keempat peraturan tersebut bersifat wajib pada domain perusahaan yang berbeda, mulai dari statuta, jenis usaha, cakupan dan lokasi perusahaan.
Pada aspek lain, belum optimalnya perusahaan dalam menjalankan aktivitas CSR menjadi salah satu alasan pemerintah menerbitkan Perda. Terdapat beberapa indikator yang bisa dijadikan sebagai ukuran sejauhmana keseriusan perusahaan menjalankan aktivitas CSR. Diantaranya, Pertama, tidak semua perusahaan memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) mengenai CSR. Kedua, tidak semua perusahaan memiliki departemen atau divisi khusus yang menangani CSR, karena selama ini aktivitas CSR masih dirangkap oleh divisi Hubungan Masyarakat (Humas) atau Human Resources Development (HRD). Ketiga, perusahaan tidak fokus menyiapkan Sumber daya Manusia (SDM) yang memiliki kapasitas dalam mengelola CSR (Rahmatullah, 2011). Ketiga aspek tersebut pada akhirny hanya melahirkan kegiatan CSR yang bentuknya karitatif atau sumbangan semata yang jauh dari konteks tanggungjawab berkelanjutan (sustainable responsibility), padahal dalam tatanan global, pelan atau pasti perusahaan yang produknya terkait ekspor dan impor direkomendasikan mengikuti panduan ISO 26000 tentang Social Responsibility yang penerapannya dimulai pada tahun 2010.
Munculnya Perda CSR setidaknya memunculkan 4 (empat) kemungkinan: pertama, ada kesan Pemda berupaya membagi beban tanggungjawab pembangunan kepada perusahaan. kedua, ada upaya meraup dana untuk pembangunan daerah yang bersumber dari pihak ketiga. Ketiga, Pemda berupaya mengelola program CSR satu atap di koordinir oleh Pemda, walaupun belum jelas pola dan tata laksananya.  Keempat, pihak perusahaan tidak serius dalam mendesain dan melaksanakan program CSR.

II. Kerangka Pemikiran
1. Konsep Dasar CSR
Perkembangan CSR tidak bisa terlepas dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development), definisi pembangunan berkelanjutan menurut The Brundtland Comission, adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka. The Brundtland Comission merupakan komisi yang dibentuk untuk menanggapi meningkatnya keprihatinan dari para pemimpin dunia menyangkut peningkatan kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang semakin cepat. Selain itu komisi ini mencermati dampak kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam terhadap ekonomi dan pembangunan sosial. (Solihin: 2009).
Pengenalan konsep Sustainability Development memberikan dampak kepada perkembangan definisi dan konsep CSR. The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merumuskan CSR sebagai kontribusi bisnis bagi pembangunan berkelanjutan serta adanya perilaku korporasi yang tidak semata-mata menjamin adanya pengembalian bagi pemegang saham, upah bagi para karyawan, dan pembuatan produk serta jasa bagi para pelanggan, melainkan perusahaan bisnis juga harus memberi perhatian terhadap berbagai hal yang dianggap penting serta nilai-nilai yang ada di masyarakat. Sedangkan Sustainability Development adalah The World Business Council for Sustainability Development (WBCSD) mendefinisikan CSR sebagai komitmen berkelanjutan dari para pelaku bisnis untuk berprilaku secara etis dan memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi, sementara pada saat yang sama meningkatkan kualitas hidup dari para pekerja dan keluarganya, demikian pula masyarakat lokal dan masyarakat secara luas (Budimanta, 2004).
Setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha harus merespon CSR agar sejalan dengan jaminan keberlanjutan operasional perusahaan  (Wibisono: 2007), yaitu: Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat, oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan harus menyadari bahwa mereka beroperasi dalam tatanan lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial berfungsi sebagai kompensasi atau upaya imbal balik atas penguasaan sumber daya alam atau sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang kadang bersifat ekspansif dan eksploratif.
Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, wajar bila perusahaan dituntut untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan.
Ketiga, kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindarkan konflik sosial. Potensi konflik itu bisa berasal akibat dari dampak operasional perusahaan atau akibat kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan.
Pada hakikatnya CSR adalah nilai yang melandasi aktivitas perusahaan, dikarenakan CSR menjadi pijakan komperhensif dalam aspek ekonomi, sosial, kesejahteraan dan lingkungan perusahaan. Perusahaan tidak boleh mengimplementasikan CSR secara parsial,  misalnya berupaya memberdayakan masyarakat lokal, sedangkan disisi lain kesejahteraan karyawan yang ada di dalamnya tidak terjamin, atau perusahaan tidak disiplin dalam membayar pajak, suburnya praktik korupsi dan kolusi, atau mempekerjakan anak. Oleh karena itu dalam CSR tercakup didalamnya empat landasan pokok yang antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan (Tanari, 2009), diantaranya:
a.       Landasan pokok CSR dalam aktivitas ekonomi, meliputi: kinerja Keuangan berjalan baik, investasi modal berjalan sehat, kepatuhan dalam pembayaran pajak, tidak terdapat praktik suap/korupsi tidak ada konflik kepentingan, tidak dalam keadaan mendukung rezim yang korup, menghargai hak atas kemampuan intelektual/paten, dan tidak melakukan sumbangan politis/lobi,
b.      Landasan pokok CSR dalam isu lingkungan hidup, meliputi: tidak melakukan pencemaran, tidak berkontribusi dalam perubahan iklim, tidak berkontribusi atas limbah, tidak melakukan pemborosan air, tidak melakukan praktik pemborosan energi, tidak melakukan penyerobotan lahan, tidak berkontribusi dalam kebisingan , dan menjaga keanekaragaman hayati
c.       Landasan pokok CSR dalam isu sosial, meliputi: menjamin kesehatan karyawan atau masyarakat yang terkena dampak, tidak mempekerjakan anak, memberikan dampak positif terhadap masyarakat, melakukan proteksi konsumen, menjunjung keberanekaragaman, menjaga privasi, melakukan praktik derma sesuai dengan kebutuhan, bertanggungjawab dalam proses Outsourcing dan off-shoring, dan akses untuk memperoleh barang-barang tertentu dengan harga wajar
d.      Landasan pokok CSR dalam isu kesejahteraan, meliputi: memberikan kompensasi terhadap karyawan, memanfaatkan subsidi dan kemudahan yang diberikan pemerintah, menjaga kesehatan karyawan, menjaga keamanan kondisi tempat kerja, menjaga keselamatan dan kesehatan kerja, dan menjaga keseimbangan kerja/hidup
Selain itu perusahaan bukanlah entiatas tunggal, melainkan menjadi bagian dari pemangku kepentingan (stakeholder). Secara sederhana definisi stakeholder adalah kelompok-kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh organisasi tersebut sebagai dampak dari aktifitas-aktifitasnya (Tanari, 2009). Stakeholder terdiri dari:
  1. Pelanggan: berhak mendapatkan produk berkualitas, dan harga yang layak.
  2. Masyarakat: berhak mendapatkan perlindungan dari kejahatan bisnis, dan mendapatkan hubungan yang baik dari keberadaan perusahaan
  3. Pekerja: berhak mendapatkan jaminan keamanan dalam bekerja, mendapatkan jaminan keselamatan, dan mendapatkan perlakukan yang adil dan non diskriminasi
  4. Pemegang Saham: berhak mendapatkan harga saham yang layak dan keuntungan saham.
  5. Lingkungan: berhak mendapatkan jaminan terhadap perlindungan alam, dan mendapatkan rehabilitasi
  6. Pemerintah: berhak mendapatkan laporan atas pemenuhan persyaratan hukum
  7. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): berhak menjalankan fungsi kontrol baik terhadap regulasi maupun komitmen perusahaan.
Dalam konteks penerapan CSR, stakeholder wajib dirangkul dan dilibatkan baik dalam tahap perencanaan, implemantasi dan evaluasi. Jikapun stakeholder tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, setidaknya mendapatkan kontribusi berupa dampak positif dari program yang dilaksanakan. Andai terdapat satu stakeholder tidak mendapatkan manfaat atau kepuasan dari perusahaan, maka berpotensi menjadi masalah bagi keberlanjutan perusahaan dikemudian hari.

2. Peraturan Terkait CSR
Saat ini baru terdapat 4 (empat) aturan hukum yang mewajibkan perusahaan tertentu melaksanakan aktivitas CSR atau tanggungjawab sosial dan lingkungan, serta satu panduan (guidance) internasional mengenai tanggungjawab berkelanjutan (sustainability responsibility), diantaranya:
Pertama, bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) wajib melaknasakan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN: Per-05/MBU/2007 Pasal 1 ayat (6) dijelaskan bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan pada pasal 1 ayat (7) dijelaskan bahwa Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL, adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Program Bina Lingkungan, meliputi: bantuan korban bencana alam; bantuan pendidikan dan/atau pelatihan; bantuan peningkatan kesehatan; bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum; bantuan sarana ibadah; dan bantuan pelestarian alam.
Kedua, Peraturan bagi Perseroan Terbatas (PT) yang mengelola Sumber Daya Alam (SDA) diwajibkan melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan, karena telah diatur dalam UU Perseroan Terbatas No.40 Tahun 2007. Dimana dalam pasal 74 diatur bahwa : (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, (2)Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketiga, bagi penanaman modal asing, diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, daalam Pasal 15 (b) dinyatakan bahwa "Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan". Sanksi-sanksi terhadap badan usaha atau perseorangan yang melanggar peraturan, diatur dalam Pasal 34, yaitu berupa sanksi administratif dan sanksi lainnya, meliputi:  (a). Peringatan tertulis; (b). pembatasan kegiatan usaha; (c). pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau (d). pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal
Keempat, bagi perusahaan pengelola minyak dan gas bumi, terikat oleh Undang-undang No 22 Tahun 2001, tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 13 ayat 3 (p), menyebutkan bahwa: ”Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu : (p). pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat”. Jadi berdasarkan Undang-undang tersebut, perusahaan yang operasionalnya terkait Minyak dan Gas Bumi baik pengelola eksplorasi maupun distribusi, wajib melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat dan menjamin hak-hak masyarakat adat yang berada di sekitar perusahaan.
Kelima, ISO 26000, merupakan standar internasional dalam bidang Corporate Social Responsibility. Di dasarkan pada Pemahaman bahwa Sosial Responsibility sangat penting bagi keberlanjutan usaha. Fokus ISO adalah tata kelola organisasi, Hak Asasi manusia (HAM), ketenagakerjaan, lingkungan, fair operating /praktek operasi yang adil, isu konsumen dan Pengembangan masyarakat. ISO sendiri bertujuan membantu berbagai bentuk organisasi dalam pelaksanaan social responsibility. Dengan cara memberikan pedoman praktis, serta memperluas pemahaman publik terhadap social responsibility.
Jika dilihat dari peraturan diatas, urusan terkait dengan CSR merupakan domain pemerintah pusat, karena baik Peraturan Menteri BUMN, Undang-Undang PT, Undang-Undang PMA, Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi dibuat oleh DPR bersama Pemerintah Pusat. Sedangkan peran pemerintah daerah adalah melakukan monitoring dengan perangkat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (Amdalsos) dan mengkaji sejauhmana perusahaan mampu memberikan manfaatnya kepada stakeholder dalam hal ini masyarakat setempat. Pemda tidak berkewenangan dalam mengatur CSR yang merupakan urusan program perusahaan terlebih masalah pengelolaan dananya, kecuali menjalin kerjasama antar stakeholder didasarkan pada program dan skala prioritas yang sama terkait upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat.

III. Kepentingan Perusahaan dan Pemerintah Daerah
Dalam pembuatan Perda CSR, pihak DPRD maupun pemerintah terkadang tidak memperhatikan pihak yang menjadi objek yang dikenai tanggungjawab Perda, dalam hal ini perusahaan. Seharusnya pemerintah memahami konstruksi berpikir perusahaan, karena akan menjadi kontradiktif ketika pada satu sisi daerah berupaya menarik investor untuk menanamkan modalnya, sedangkan disisi lain akibat terlalu banyaknya aturan, biaya formal maupun informal, malah membuat investor enggan menanamkan investasinya. Berdasarkan penelitian BAPPENAS dan LIPI pada tahun 2008, dikemukakan bahwa terdapat enam alasan hambatan investasi di Indonesia, diantaranya: pertama, belum optimalnya pelaksanaan harmonisasi pusat dan daerah. Kedua, kualitas infrastruktur yang kurang memadai. Ketiga, masih cukup panjangnya perizinan investasi sehingga masih tingginya biaya perizinan investasi dibandingkan dengan negara-negara kompetitir. Keempat, belum tercukupinya pasokan energi yang dibutuhkan untuk kegiatan industri. Kelima masih cukup banyak peraturan daerah yang menghambat iklim investasi. Keenam, masih terkonsentrasinya sebaran investasi di Pulau Jawa, dan belum optimalnya pelaksanaan alih teknologi. (http://nasional.kontan.co.id/v2/read/nasional/29432/Enam-Hambatan-Investasi-di-Indonesia).
Berdasarkan alasan diatas, perusahaan memiliki logika berpikir atas kalkulasi sederhana, biaya izin usaha termasuk pajak di Indonesia lumayan besar dan itu pun belum menjamin izin tersebut tuntas dari hulu sampai hilir, belum lagi perizinan turunan di tingkat provinsi, kabupaten hingga kecamatan. Ditambah biaya-biaya informal untuk mempercepat proses perizinan, jatah-jatah pihak-pihakl yang berkepentingan, proposal pembangunan masjid, pembangunan sekolah dan lainnya. Apa jadinya jika ditambah lagi beban perusahaan dengan Perda yang mengatur CSR, terlebih substansinya ditekankan pada menghimpun dana CSR perusahaan, bukan bagaimana seharusnya melakukan prkatik CSR secara ideal.
Alangkah lebih baik pemerintah daerah memperjuangkan hak-hak buruh, peningkatan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan lain sebagainya, tanpa harus dipusingkan kewajiban sosial perusahaan yang secara mendasar sudah diatur dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencanana Pemantauan Lingkungan (RPL) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (Amdalsos). Sebetulnya keseriusan perusahaan dalam penerapan CSR tinggal dievaluasi pada level itu, karena dalam Amdalsos sudah ada indikator sosial dan lingkungannya, jika perusahaan melanggar maka pemerintah tinggal mencabut Amdalnya. Kondisi yang terjadi adalah Amdalsos sendiri mulai dari permohonan hingga hasilnya bisa ”diatur” pemerintah dan perusahaan, yang dirugikan selalu masyarakat setempat.
Secara hakikat berbicara CSR bukanlah hal yang mudah dalam arti menetapkan program asal jalan, asal sumbang, asal bangun dan asal ada anggaran, yang ada pada akhirnya malah merusak kapital sosial masyarakat. CSR dilakukan berdasarkan pertimbangan matang sesuai kebutuhan masyarakat bukan keinginan masyarakat sebagaiana telah diurai dalam kerangka pemikiran diatas.
Setidaknya terdapat lima  tahap dalam melakukan CSR yaitu need assessment (kajian kebutuhan), plan of treatment (perencanaan program), treatment action (aplikasi program), termination (pemutusan bantuan) dan evaluation (evaluasi) dan After Care (Adi, 2007). Setiap proses CSR membutuhkan waktu ideal, membutuhkan mereka yang ahli dan memiliki kapasitas dalam pengelolaannya, karena program CSR berkaitan dengan lokalitas, kebermanfaatan, keberdayaan, hubungan mutualisme, dan kepentingan stakeholder (Rahmatullah, 2011). Apakah pemerintah daerah melalui pembuatan Perda CSR yang bernuansa pengelolaan dana bersama, mampu menjamin terlaksananya aspek-aspek tersebut.
Alangkah lebih baik jika pembuatan Perda CSR bukan menjadi sebuah ‘demam’ atau budaya ikut-ikutan antar daerah sebagai bentuk kebablasan di era otonomi daerah, didasarkan pada matematika anggaran semata, melainkan perlu pengkajian secara mendalam. CSR memang merupakan bentuk kewajiban bagi perusahaan tertentu, tapi harus dilihat dahulu aturan apa yang melingkupinya. Jauh lebih baik jika pemerintah daerah melihat dahulu kondisi ‘kesehatan perusahaan’,  Jangankan mengatur CSR, gaji buruh saja misalnya masih dibawah UMK, kondisi kesehatan perusahaan-pun hidup segan mati tak mau. Lebih baik pemerintah melalui kewenangannya memperkuat kontrol pelaksanaan RKP dan RKL Amdalsos. Jangan sampai Pembuatan Perda CSR hanya membuang energi dan biaya percuma, lalu dibatalkan oleh Kementrian Dalam Negeri dikarenakan tidak ada referensi hukum atau berbenturan dengan aturan hukum diatasnya, sebagaimana pada tahun 2002, terdapat 402 Peraturan Daerah yang dibatalkan  (http://www.depdagri.go.id/media/documents/2010/03/05/d/a/daftar_kepmen_pembatalan_perda_data_2002-2009.pdf). Jikapun Pemda ingin membenahi pola pelaksanaan CSR perusahaan, salah satu langkanya adalah melakukan koordinasi dan sinkroisasi program yang sejalan didasarkan basis data dan kebutuhan yang terukur. Selain itu pemerintah wajib melakukan evaluasi sejauhmana pelaksanaan CSR yang perusahaan lakukan, sudah memberdayakan masyarakat lokal atau malah membuat dependensi baru, lalu Pemda memberikan catatan perbaikannya dalam bentuk rekomendasi yang sifatnya berkelanjutan.


Daftar Pustaka

Buku:
Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Press.
Kotler, Philip, Lee, dan Nancy. 2005. Corporate Social Responsibility : Doing The Most Good for Your Cause. New Jersey : John Willey & Sons Inc.
Rahmatullah& Kurniati, Trianita. Pedoman Praktis Pengelolaan CSR. (Belum terpublikasi)
Rudito, Bambang. 2004. Corporate Social Responsibility; Jawaban Bagi Pembangunan Indonesia Masa Kini. Jakarta. ICSD.
Solihin, Ismail. 2009. Corporate Social Responsibility; From Charity to Sustainability. Jakarta. PT.Salemba Empat.
Wibisono, Yusuf. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik. Fascho Publishing, 2007

Paper dan Dokumen Negara:
Guidance On Social Responsibility, Document ISO 26000, 2008.
Kerangka Acuan Kerja (KAK) Workshop Kajian Penerapan Pasal 74 UU PT NO.40/2007 dan Kaitannya Dengan Pelaksanaan PKBL Pada Badan Usaha Milik Negara.
Peraturan Menteri Negara BUMN No: Per-05/MBU/2007
Rahmatullah, Program CSR dan Pembangunan Banten, Artikel. 2009
Rahmatullah, Evaluasi Pelaksanaan Program kemitraan Koperasi Komunitas Saguling Pada PT IndonesIa Power, Penelitian, 2008.
Rahmatullah, Corporate Social Responsibility (CSR) Dan Keberlanjutan Perusahaan

6 comments

  1. Anonim
  2. Anonim
  3. Anonim

Leave a Reply

Sketsa