Kebetulan tiga pekan lalu saya melakukan perjalanan dinas ke Kota Bandung. Rombongan dalam bis memang merencanakan mampir makan siang di Sate Maranggi tidak jauh dari Gerbang Tol Purwakarta. Ada yang menarik dan mengusik ketika bis yang saya tumpangi keluar Tol, saat berhenti lampu merah, nampak spanduk dengan tulisan yang nampak ‘mencuri perhatian’ sebagaimana foto diatas “BERANDALAN GENG MOTOR TIDAK BOLEH HIDUP DI KECAMATAN XXX”.
Entahlah, tulisan dalam spanduk sontak membuat saya tersenyum sendiri, sambil mencoba mengabadikan dengan kamera handphone, karena bagi saya spanduk tersebut sangat seksi, menarik, lugas, bahkan polos dan mengandung luapan emosi.
Sejenak sempat bertanya-tanya dalam hati, kok bisa ya ada spanduk seperti itu, terlebih dipasang di pintu keluar tol Purwakarta, yang tentunya dilirik dan dilihat oleh tak terhitung orang yang melintasi tol tersebut. Bukankah jalan adalah landmark dan kesan pertama sebuah wilayah, bagi saya yang lumayan sering melintasi Purwakarta memang tidak berpersepsi apa-apa selain senyum sendiri, tapi bagaimana dengan orang lain yang baru melintasi atau bertandang ke Purwakarta, melihat spanduk tersebut, mungkin ‘merinding’, dan timbul rasa takut, kesannya warga Purwakarta tidak ramah.
Mungkin bagi kita yang mengikuti pemberitaan Geng Motor yang memang brutal dan barbar, bisa memahami mengapa spanduk sejenis itu sengaja di buat dan ditempatkan di pinggir Jalan nasional. Namun belum tentu dipahami orang lain yang tidak tahu apa-apa mengenai permasalahan Geng Motor di wilayah tersebut. Hanya muncul satu kebingungan di benak saya, kok mengapa di negeri ini permasalahan seolah-olah bisa diselesaikan oleh spanduk, baligho dan iklan. Seakan-akan yang mengerjakan program itu bukan manusianya tapi iklan.
Jika memang Geng Motor membahayakan, apakah dengan tulisan spanduk yang emosional dan lugu bisa menuntaskan masalah. Bisa jadi malah jadi cemoohan berbagai pihak dan merugikan Purwakarta sendiri sebagai sebuah Kota yang kesannya tidak ramah. Teror Geng Motor dibalas spanduk bernada teror penghilangan nyawa, apakah elok?
Dalam persepsi saya, jika memang ada manusia yang berulah dan mengganggu ketertiban, cara mengatasinya dengan pendekatan manusiawi, didekati, dipahami, dirangkul dan diarahkan dengan menggali dan mendukung potensi mereka, bukan malah ditindak dengan represif dan memberikan lebel buruk di masyarakat dan mengucilkannya. Justru malah membuat mereka mengekspresikan diri dan kelompoknya lebih nekad dan brutal, karena merasa tereliminasi dari lingkungannya.
Sesederhana persepsi saya, jika Spanduk, baligho, poster hanyalah benda yang tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Membuang-buang biaya percuma jika pejabat dan aparat hanya mengandalkan spanduk untuk ‘bicara’, mengklaim ini itu, sekedar menambah dusta... Toh spanduk hanya bagian dari sarana terkecil, yang terbesar adalah perbuatan dan sikap nyata.***