Jika dikaji dari defnisi, kemiskinan
struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh satu golongan masyarkat karena
struktur sosial masyarakat tersebut tidak mampu memanfaatkan sumber-sumber
pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka[1] (Alfian,
Mely G. Tan, Selo Sumardjan, Kemiskinan Struktural Satu Bunga Rampai, 1980, hal
5). Sedangkan menurut Edi Suharto[2],
kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi bukan dikarenakan
ketidakmamuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan
sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang
memungkinkan si miskin dapat bekerja.
Sedangkan definisi kebudayaan
kemiskinan adalah suatu adaptasi atau penyesuaian diri dan sekaligus merupakan
reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam masyarakat yang berstrata
kelas, individualis dan berciri kapitalis. Kebudayaan tersebut mencerminkan
satu upaya mengatasi putus asa dan tanpa harapan yang merupakan perwujudan dari
kesadaran bahwa mereka merasa musthail dapat meraih sukses dalam kehidupan yang
sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat luas[3]. Sedangkan
Oscar Lewis mendefinisikan kemiskinan budaya sebagai kemikinan yang muncul
sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang
miskin, seperti masalas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos
kerja dan sebagainya. Pandangan lain
mengenai kemiskinan budaya menurut Mudjahirin Thohir adalah ada kaitannya
dengan pandangan keliru dalam dimensi keagamaan, yaitu cara pandang jabariyah,
di mana keberadaan diri (jatuh miskin) dililihat sebagai takdir bukan karena belum mengoptimalkan usaha. Dari segi
sosial, mereka menjustifikasi diri sebagai orang yang
trah wadahnya kecil. Dari segi budaya, mereka “menikmati
kemiskinannya itu”. Suka menghibur diri seperti: “luwih becik mikul dawet kanti
rengeng-rengeng, tinimbang numpak Mercy nanging mbrebes mili”; atau menyatakan “donyo
kuwi nerakane wong Islam, surgane wong kafir”. Suatu
pensikapan yang berbeda dengan kaum pemenang[4].
Dalam, tinjauan teoritis Makalah Masalah-Masalah Kemiskinan,
secara tidak langsung menunjukkan adanya keterkaitan antara kemiskinan
struktural dengan kemiskinan kultural, terlebih jika dikaitkan dengan
kemiskinan yang terjadi di Indonesia, selain sebagai negara sedang berkembang, Indonesia
mengalami proses sejarah penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun,
dalam tahap itu pemerintah kolonial belanda menanamkan komersialisasi pertanian
dalam bentuk perpajakan, pembukaan lahan baru dan membuka jalan raya, yang
justru dampaknya adalah merosotnya kesejahteraan petani, memperkaya mereka yang
memiliki modal besar yaitu elit-elit ekonomi desa.
Pasca penjajahan belanda, pemerintah orde lama, lebih fokus
pada pembangunan aspek politik, yakni proses pengintegrasian wilayah jajahan
belanda kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada fase
ini kondisi perekonomian negara jauh dari stabil dan, penanganan masalah
kemiskinan belum menjadi prioritas. Dalam kondisi ini masyarakat Indonesia
tidak beranjak dari situasi miskin karena secara struktural tidak
terprioritaskan. kondisi diatas secara alami memperburuk sikap mental kemiskinan
kultural sebagaimana faham jabariyah, yaitu munculnya justifikasi jika miskin
adalah takdir, orang miskin masuk surga dan tumbuhnya fatalisme kronis dalam
masyarakat.
Pasca pemerintahan orde lama, dilanjutkan pemerintahan orde
baru, dimana kebijakan politk mulai terarahkan pada usaha mengatasi kemiskinan,
melalui jalan melakukan pinjaman dana kepada lembaga luar negeri yaitu IGGI
yang kemudian berganti nama menjadi CGI. Namun dampak dari kebijakan ini bukan
malah menghapus maslah kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru,
dimana tumbuhnya industrialisasi di desa-desa dalam wujud eksploitasi
pertambangan, penebangan hutan , pembangunan pertanian tanaman industri dan
sebagainya, yang pada akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yang
semakin akut.
Oleh karena itu
dilihat dari perjalanan kemiskinan diatas, dalam konteks keindonesiaan,
Kemiskinan kultural merupakan buah dari kemiskinan struktural, masyarakat
terbentuk menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap miskin sebagai nasib dan
garis hidup, selain juga sering diperkual dalam mimbar-mimbar agama, mengenai
pemahaman keliru mengenai nasib untuk selalu bersabar dan bersyukur.
Sumber:
[1] Hand out
masalah-masalah kemiskinan, oleh Priadi Permadi
[2]
Buku Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat
[3]
Makalah Advokasi Anggaran yang Pro
Poor, Prof. Muhadjir Thohir
kebudayaan miskin ini yang bahaya buat bangsa