Diberdayakan oleh Blogger.

Ingin Atau Butuh


posted by rahmatullah on

No comments


Lima tahun 1 bulan lalu atau tepatnya tanggal 13 juli tahun 2008, saya membeli laptop HP 520 celeron dengan harga 5,5 juta. Bagi saya pembelian laptop itu amat menyejarah, karena saat itu laptop yang saya beli dari hasil keringat sendiri, honor penelitian mengenai pendidikan dan kesehatan PSKK UGM-World Bank di pedalaman Kabupaten Sukabumi, serta honor penelitian mengenai Persepsi Pemilu 2009 yang diselenggarakan Reform Institute di Pedalaman Kabupaten Pandeglang, Banten. Saat itu saya masih mahasiswa smester 7 yang harus membagi waktu antara mengerjakan skripsi, berorganisasi dan mencari uang saku tambahan.

Hal yang menarik bagi saya adalah niat ketika membeli laptop tersebut. Saya menyadari orang tua dengan segala keterbatasan tidak mungkin membelikan barang yang amat saya butuhkan. Kebahagiaan membuncah ketika dengan uang tabungan dari dua penelitian tersebut dirasa sudah cukup untuk membeli laptop. Sehari sebelum membeli saya bulatkan tekad dan membuat catatan kecil dalam buku diary/ agenda harian saya, sebagai berikut.

Jika terbeli laptop maka akan:
-         -  Menghasilkan uang yang akan melebihi harga laptop
-          - Produktif membuat artikel untuk koran 1 bulan minimal 1 tulisan
-         -   Menuntaskan skripsi lebih cepat
-          - Menulis dan menerbitkan buku
-          - Membuat tulisan motivasi dan puisi
-          - Membantu operasional organisasi dan penelitian

Saat ini setelah 5 tahun 1 bulan terlewati, sambil mengingat-ingat, rupanya niat dan tekad yang pernah saya tuliskan sehari sebelum membeli laptop tersebut telah dan insAllah sedang terwujud, malah melebihi harapan yang dibuat. Uang yang dihasilkan dari hasil menulis dan menyelesaikan riset-riset sudah melampaui 10 kali lipat harga laptop, skripsi tertuntaskan ditambah mungkin lebih dari 5 skripsi teman saya bantu edit dan koreksi, ditambah tesis terselesaikan akhir tahun 2012. Sampai dengan saat ini sudah dua buku yang diterbitkan, sudah 182 aneka tulisan terposting dalam blog, lebih dari 20 artikel terbit di koran lokal dan nasional, juga jurnal ilmiah. Aneka penelitian, work paper saat menjadi wartawan, bekerja di PMA, konsultan, bahan mengajar dan kini menjadi PNS sudah saya tuntaskan dari laptop HP 520 yang saya beli 5 tahun 1 bulan lalu. Bahkan saat ini saya masih ingat tanggal beli, karena saking menghargainya barang yang saya miliki.

Cerita diatas hanyalah sekedar contoh, bukan untuk sebuah ujub atau ria. apa yang harus dibanggakan dari sekedar lintasan perjalanan pribadi. Saya hanya sekedar berbagi bahwa terkadang apa yang kita saat ini miliki hanya menutup keinginan kita bukan kebutuhan, dan tidak jarang kita lupa niat awal ketika membeli barang tersebut.

Setiap orang pasti memiliki niat baik, tapi sejauhmana memiliki kekuatan komitemen untuk niat baik tersebut terwujud, termasuk saat membeli barang. Seorang anak berjanji jika dibelikan orang tuanya laptop akan segera menyelesaikan skripsinya, begitu juga jika dibelikan kendaraan akan pulang tepat waktu, ketika membeli Blackbary akan menambah jaringan kerja, ketika membeli Ipad akan lebih banyak membaca buku elektronik, ketika membeli buku akan produktif menulis atau menuntaskan tugas, ketika membeli panci akan semakin giat memasak, ketika beli mesin jahit tidak akan pergi ke tukang jait dan banyak jani-janji lain saat sebelum kita membeli barang.

Namun perhatikan dan sadari apa yang terjadi saat ini. Saya yakin hanya sedikit orang yang komitmen dan mampu mewujudkan mimpi dari barang yang dimilikinya. Bukannya barang yang kita beli menjadi alat produksi, alih-alih menjadi barang konsumsi yang sama sekali tidak menghasilkan. Skripsi tidak ada progres karena laptop lebih intens dipakai untum menonton film atau berinternet ria, sama halnya dengan ipad yang lebih sering digunakan untuk games. Panci hanya menjadi hiasan dapur, begitu juga mesin jahit, buku pun hanya menumpuk dan semakin giat dibaca kutu buku. Mungkin kita baru tersadar, rupanya barang yang kita beli bukan merupakan hal yang kita butuhkan, melainkan sekedar memenuhi hasrat kita. Hasrat dekat irisannya dengan nafsu, ingin dilihat orang, ingin bisa diterima dalam komunitas tertentu, sangat artifisal dan jauh dari substansi karena kita telah gagal memberikan nilai lebih atas apa yang kita miliki.

Coba kita maknai pada dimensi yang lebih luas, pada apa yang terjadi di negara ini. Dari dulu saya mengamini pernyataan John Stuart Mill “Keberhasilan suatu bangsa adalah akumulasi keberhasilan individu warga negara, kegagalan suatu bangsa adalah akumulasi kegagalan individu dari warga negara”. Kemacetan yang terjadi di Jakarta adalah kontribusi dari seseorang yang memiliki lebih dari satu kendaraan, korupsi yang mewabah dan membudaya dikarenakan keinginan-keinginan sesorang meraup kemewahan hidup, bukan karena kebutuhan hidup, begitu juga kegagalan pemerintah dalam menanggulangan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan dikarenakan kesalahan fatal dalam mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, karena yang terjadi hanyalah menjawab keinginan-keinginan masyarakat yang sifatnya sesaat. Namun yang paling parah adalah program pemerintah hanya menjawab kepentingan pencitraan penguasa dan atau demi keuntungan pengusaha.

Selayaknya kita bijak dalam memilah antara keinginan (hasrat) dengan kebutuhan. Apa yang kita miliki atas dasar keinginan mungkin hanya akan melahirkan sesuatu yang berlebihan (mubazir). Sungguh ironis di negeri ini ada orang yang memiliki hobi mengoleksi mobil mewah, membeli gadget terbaru tiap bulan, mengoleksi pakaian, yang mungkin hanya sekedar memenuhi kepuasan pribadi. Disisi lain masih banyak masyarakat yang membutuhkan uluran tangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam Agama Islam sesuatu yang berlebihan disebut mubazir, dan seseorang memiliki sesuatu yang mubazir adalah sahabatnya setan. Pemaknaan setan tidaklah sederhana, melainkan mengarahkan pada sesuatu yang tidak memebrikan nilai manfaat, untuk apa kita mengoleksi banyak pakaian yang pada akhirnya tidak pernah kita pakai, untuk apa kita punya banyak alat elektronik yang hanya menjejali isi gudang, untuk apa kita memiliki makanan yang melimpah ruang yang pada akhirnya dibuang.

Islam mengajarkan persaudaraan, mengayomi, dan saling merasakan melalui empati dan simpati. Jangan sampai keinginan kita berbuah kesenjangan ekonomi dan sosial yang tentunya tanpa sadar telah menyakiti saudara kita yang belum berkemampuan.***

Leave a Reply

Sketsa