Kali ini saya hanya menyoroti salah satu aspek penting kepemimpinan,
yaitu kreatif. Namun kita sepakati bersama kreatif dalam arti positif, bukan
kreatif mengakali.
Tulisan ini terinspirasi pasca mengikuti apel peringatan HUT
Kemerdekaan RI ke-68 di sebuah kota. Sungguh acara yang sangat membosankan
karena hanya berbungkus ritual/ rutinitas yang hampa makna, yang mana peserta
apel sangat sibuk ‘ngobrol’ dan ‘otak-atik gadget’, jauh dari khidmat. Semangat
45 hanya ditunjukkan peserta apel saat pasukan dibubarkan. Mungkin wajar jika
apresiasi terhadap 17 agustus datar saja, karena memang tiap tahun sekedar
apel, tidak ada rangkaian kegiatan atau acara yang dikemas menarik, sehingga
peserta apel hanya sekedar menggugurkan kewajiban dan isi absensi saja.
Lepas dari itu, sepulang apel saat membuka portal berita
online saya berdecak kagum dengan kreatifitas-kreatifitas peringatan 17 agustus
di daerah lain. Di Jakarta, pasca apel, jokowi langsung terjun meresmikan taman
waduk pluit, waduk yang dulunya tempat sampah raksasa, kini sudah menjadi taman
sekaligus ruang publik (public sphere), dimana ia wasiatkan jika taman ini
adalah milik rakyat jakarta yang harus di rawat bersama. Lain halnya di Nusa
Tenggara Barat (NTB), masing-masing dinas (SKPD) menyumbangkan 1 buah panjat pinang, sehingga dalam satu
lapangan terhimpun puluhan panjat pinang yang dielaborasikan menjadi pesta
rakyat. Lain halnya di Jawa Tengah saya lupa di Kabupaten mana, karena selintas
melihat berita di TV, di satu kampung diselenggarakan lomba mirip Bung Karno,
penilaian didasarkan atas gesture, kemiripan wajah& kostum, pemaknaan
proklamasi dan UUD 45, walaupun dikemas jenaka namun kental atmosfir
kemerdekaan, ‘Sukarno’ terpilih kemudian diarak sekitar kampung.
Saat mengajar Perencanaan Pembangunan Daerah (PPD) saya
sering mengingatkan kepada mahasiswa, agar saat pemilihan pemimpin dalam level
apapun, jangan sampai memilih pemimpin ‘turut munding’ (red-bahas sunda ikut
kerbau). Karakter kerbau adalah jika dicocok hidung ia akan mengikui kemanapun.
Kepemimpinan ‘turut munding’ ini sangat berbahaya karena sangat monoton, semata-mata
menggugurkan kewajiban, sekedar rutinitas, dan tidak ada perubahan. Sebagian
besar kepemimpinan di negeri ini model ‘turut munding’.
Kepemimpinan yang memang dikehendaki adalah Pemimpin
keratif, keratif dalam melihat momentum, kretaif dalam membaca situasi, kreatif
dalam menghimpun sumber (potensi), kreatif dalam mengelaborasi, kreatif dalam
mencari solusi, kreatif dalam membalikan situasi, dan banyak lagi.
Banyak pemimpin yang tidak lepas berkeluh kesah, mulai dari
PAD terbatas, SDM terbatas, SDA terbatas, sehingga dalam kepemimpinannya tidak
memiliki energi, ada tak ada tak memberi pengaruh. Pemimpin model ini tidak
akan menghasilkan apapun terlebih masyarakat yang sejahtera. Berbeda dengan pemimpin
kreatif, sebagai contoh, di Kabupaten Kanyong Utara, yang merupakan salah satu
Kabupaten termiskin dan terpencil di Kalimantan Barat, karena kepemimpinan
kreatif, sang Bupati berhasil menggratiskan biaya kesehatan, karena anggaran
yang ada ia fokuskan untuk menata kesehatan. Di Surabaya, walikota perempuan
berhasil menutup lokalisasi-lokalisasi yang era-era sebelumnya angka tangan
berkat pendekatan humanis dan penyediaan UPT-UPT PMKS, selain membangun taman
kota hingga sudut kampung hasil partisispasi perusahaan seputaran surabaya.
Walikota Cilegon selain menggratiskan biaya pendidikan 12 tahun juga mengratiskan
buku pelajaran sampai tingkat SMA atas sponsor Bank swasta, dan banyak contoh
lainnya. Sesungguhnya kunci kepemimpinan
adalah kreatif dalam menghimpun masalah menjadi potensi yang tak terhingga.
Jika sampai saat ini masih ada orang yang menganggap apa
yang dilakukan Jokowi adalah pencitraan, dalam pandangan saya hal tersebut
adalah kekeliruan besar. Dalam disiplin ilmu kepemimpinan yang namanya
pencitraan sifatnya instan, pudar, tidak bertahan lama, dan jenuh. Sedangkan
apapun tingkah polah yang dilakukan Jokowi adalah sebuah sikap (attitude) yang
telah menjadi karakter lahiriah, dimana setiap perilakunya secara natural akan
menumbuhkan citra, bukan sebuah rekayasa citra. Dalam kurun 300 hari ia mampu
memanfaatkan sumber (perusahaan) melalui CSR untuk berpartisipasi dalam
membersihkan dan menata waduk pluit, memuncukan partisipasi salah seorang warga
solo untuk menyumbang lebih dari 300 kursi untuk taman di seputaran jakarta,
merelokasi warga ke rusun yang bertahun-tahun dibiarkan kosong, merelokasi PKL
tanah abang yang pemimpin sebelumnya angkat tangan. Jika seseorang belajar
psikologi akan mampu membedakan antara citra rekayasa dan citra faktor nature.
Kembali lagi ke pemimpin kreatif, sesungguhnya keberhasilan
pemimpin ditentukan oleh kreatifitasnya, seterbatas apapun akan terkikis habis
oleh kreatifitas. Indikator sederhana, jika pemimpin monoton bisa dilihat dari
peringatan 17 agustus yang pasti ‘gitu-gitu aja’, jika pemimpin itu kreatif,
pasti ia akan memberikan nilai lebih (value added) pada peringatan 17
agustusnya sebagai pembeda yang menunjukkan ia memang berkualitas. ***
gambar : http://fokus.teknologiotak.biz/gambar/kreatif.jpg