Peristiwa politik di tanah air tidak jarang melahirkan kata atau kalimat yang pada saat tertentu begitu familiar dan di saat yang lain berkurang ketenarannya. Hampir satu bulan kebelakang, istilah atau kata yang paling ngtrend adalah ‘lupa’, entah lupa sebagai murni penyakit atau lupa sebagai sikap mental penakut. Lupa pada dasarnya bisa dikategorikan kedalam dua bagian, pertama, lupa dimaknai sebagai bentuk kepikunan akibat degenerasi otak yang dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk berpikir, daya ingat, dan fungsi berbahasa atau disebut alzheimer. Kedua, lupa yang merupakan sikap mental dibuat-buat atau disengaja mengenai suatu kejadian, dimana orang tersebut pernah merasakan, mengetahui atau menyaksikan suatu peristiwa, akan tetapi sengaja menyangkal tidak mengetahui agar terhindar dari pertanggungjawaban. Sampai pada akhirnya muncul julukan “Ratu Lupa” kepada seseorang yang terindikasikan kuat menjadi perantara dalam pembagian cek pelawat dalam kasus pemilihat deputi gubernur Bank Indonesia (BI). Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah, mengapa terkait dengan masalah pemberian cek pelawat, seperti koor hampir semua pihak yang diperkirakan terlibat mengunakan kata sakti “lupa” dalam setiap menjawab pertanyaan hakim sidang.
Tulisan ini bukan membahas mengenai kasus suap dalam pemilihan deputi gubernur BI, melainkan mencoba berkaca dari satu peristiwa politik tersebut. Rupanya membahas lupa tipe kedua sangat menarik, karena jika dimaknai secara mendalam mengenai kata lupa, tanpa disadari akan melahirkan urutan masalah yang mengakibatkan orang lain menanggung derita. Andai ada satu orang lupa, maka yang akan terkena dampak dari lupa tersebut bisa dua orang, bisa satu keluarga, satu kampung, satu kecamatan, satu kabupaten, bahkan satu negara. Terbayang jika penyakit lupa tersebut mendera orang-orang secara kolektif, misalnya satu perangkat desa tiba-tiba terkena lupa, atau para pejabat menjadi pelupa atau pikun tiba-tiba. Dampaknya adalah sebagaimana dirasakan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, yaitu aneka bencana dengan beragam rupa terjadi.
Sering kita dengar dalam satu berita Kriminal, misalnya telah terjadi kecelakaan yang menewaskan satu keluarga yang disebabkan oleh rem mobil yang blong, atau telah terjadi kebakaran di pemukiman padat penduduk yang disebabkan satu warga yang tidak mematikan kompor, sehingga mengakibatkan kebakaran satu Rukun Warga (RW). Kita sadar bahwa kedua bencana tersebut tidak akan mungkin terjadi, jika orang-orang yang bersangkutan tidak lupa mengecek rem mobil sebelum berkendara atau mengecek kompor sebelum meninggalkan rumahnya. Musibah tersebut yang mengakibatkan banyak korban disebabkan hanya oleh satu orang yang lupa.
Namun yang paling berbahaya adalah ketika penyakit lupa tersebut mendera masyarakat secara kolektif. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa aneka musibah muncul karena ‘lupa’ yang sifatnya berjamaah. Contohnya, banjir yang melanda Kabupaten Bandung, khususnya Kecamatan Dayeuhkolot, Baleendah dan sekitarnya, dimana berminggu-minggu lamanya air menggenangi kawasan tersebut, padahal tahun-tahun sebelumnya-pun banjir pernah terjadi dan menjadi rutinitas tahunan. penyebabnya adalah secara berjamaah masyarakat membuang sampah ke sungai, secara berjamaah mendirikan bangunan di pinggiran sungai, dan secara berjamaah pula merambah hutan di wilayah hulu sungai.
Begitupula yang terjadi di Jakarta, Banjir yang terjadi dengan intensitas yang jauh lebih besar beberapa pekan terakhir, penyebabnya adalah semata-mata karena lupa yang diderita masyarakat kita, jika banjir yang terjadi setiap tahun masalahnya adalah sama, jika bukan karena sampah, maka karena semakin habisnya wilayah resapan air. Tidak lepas dari ingatan kita ketika tiga tahun kebelakang, Tol Sediyatmo yang menghubungkan Jakarta dengan Bandara Soekarno Hatta terkepung banjir, ternyata dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat pengguna bandara Soekarno Hatta semata, melainkan juga Bandara seluruh Indonesia bahkan dunia sebagai tempat tujuan penerbangan, yang nilai kerugiannya tidak hanya materi, melainkan juga rasa malu yang sulit ditebus, karena Bandara Soekarno Hatta sebagai ikon bangsa Indonesia dimata dunia harus mengalami kelumpuhan yang tidak perlu.
Lain pula penyakit lupa di bidang olah raga sepak bola, karena tidak kunjung sembuhnya manajemen PSSI akibat ketuanya selalu merasa Percaya Diri (PD) untuk terus memipin, padahal statusnya pernah jadi tersangka, lima tahun memimpin nyaris tanpa prestasi bahkan baru kali ini tidak lolos Pra Piala Asia, bahkan terus menerus mendapatkan surat teguran dari FIFA, namun sang pemimpin tetap tidak bergeming, jauh dari sikap ksatria untuk mengundurkan diri memberikan kesempatan kepada warga negara Indonesia lain yang jumlahnya lebih dari 230 jiwa untuk menggantikan. Ironisnya, Justru Pengda PSSI selalu membela ketuanya dibalik argumen harus patuh pada AD ART. Haruskah karena kepentingan pragmatis segelintir orang, mengorbankan kualitas sepakbola Indonesia yang berasas sportifitas dan fair play. Sampai kapan seorang pemimpin membuat masyarakat skeptis terhadap masa depan sepak bola negeri ini. Jika para pemimpin PSSI tidak ‘lupa’, pasti mereka kan berpikir, karena sikap mereka hari inilah akan berdampak negatif pada prestasi sepakbola Indonesia 5 (lima), 10, atau bahkan 20 tahun kedepan. Namun sayang mereka selalu lupa.
Lupa mungkin sudah lumrah dan amat dianggap biasa oleh masyarkat kita, ada orang yang lupa jika kepala desa mengkorupsi beras raskin yang dirugikan adalah warga satu desa, ada seorang warga negara yang lupa, lalu menggelapkan pajak puluhan miliar, yang terkena dampak adalah adalah wajib pajak satu Negara Indonesia. Ada masyarakat yang lupa ketika Pilkada, karena diberi uang dan beras, pada akhirnya memilih pemimpin yang bejat dan korup, dan ternyata dampak kezalimannya dirasakan oleh satu daerah, tidak hanya sehari atau dua hari, melainkan hingga satu periode kepemimpinan. Belum lagi jika si pemimpin daerah tersebut dipenjara, maka daerah tersebut dijamin akan mengalami kelumpuhan. Dan aneka lupa-lupa lainnya silih berganti terjadi di negeri ini dengan segala motifnya.
Sudahlah, saatnya kita melawan segala lupa ini, walaupun sangat sulit karena membudaya dan mendarah daging. Kita yakin bangsa ini bisa untuk tidak lupa, karena sebegitu besar kerugiannya. Kerugian yang tidak hanya ditanggung hari ini dan generasi kini, melainkan akan di derita bertahun tahun bahkan puluhan tahun, atau mungkin tidak akan tuntas hingga tujuh generasi. Karena bagaimanapun juga kita tidak rela ketika lahir anak cucu kita harus menanggung hutang akibat korupsi, harus menanggung aneka penyakit karena polusi, harus terus menerus mengungsi karena banjir, dan yang tidak terperi adalah ketika kita dan anak cucu kita harus menanggung malu karena bangsanya tidak dipandang oleh bangsa lain. Mari bangkit bangsa ini, minimal dengan melawan ‘lupa’ dengan nurani kejujuran.
Rahmatullah Elmusri
Periset Bidang CSR pada Banten Institute
Tulisan ini dimuat di detik.com