Diberdayakan oleh Blogger.

MENYOAL PEMBUATAN RAPERDA CSR


posted by rahmatullah on

2 comments


Terdapat fenomena menarik dengan apa yang dilakukan saat ini oleh Dewan Perwakina Rakyat Daerah (DPRD), baik tingkat I (satu) maupun tingkat II (dua), khususnya pada daerah-daerah yang memiliki kawasan industri terpadu dan cadangan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah, baik industri tersebut dikelola oleh perusahaan berbentuk BUMN, BUMD maupun swasta, yaitu dengan adanya penggodokan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang mengatur mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau lebih familiar dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Beberapa daerah yang saat ini diketahui sedang membahas pembuatan Raperda CSR adalah DPRD Kabupaten Serang, DPRD Kota Serang, DPRD Kota Cilegon, DPRD Kota Bandung,  DPRD Kabupaten Tangerang, DPRD Otorita Batam, DPRD Kota Bogor, dan DPRD Kalimantan Timur.
Berbagai hal yang melatarbelakangi dibuatnya Raperda CSR oleh masing-masing DPRD, mulai dari perwujudan pengingatan sekaligus peringatan kepada perusahaan agar konsisten melakukan program CSR sebagai bentuk kompensasi akibat dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan dan sosial, motif lainnya adalah menghimpun dana CSR perusahaan oleh pemerintah daerah (Pemda) sehingga program CSR dilakukan satu atap dan pelaksananya oleh Pemda, hingga ada upaya beberapa daerah dalam rangka meningkatkan perolehan dana APBD dengan menghimpun dana  yang bersumber dari anggaran CSR perusahaan.
Terdapat beberapa bias ketika Raperda CSR pada akhirnya menjadi sebuah Perda; pertama, ada kesan Pemda berupaya membagi beban tanggungjawab pembangunan kepada perusahaan. kedua, ada upaya meraup dana untuk pembangunan daerah yang bersumber dari pihak ketiga sehingga klaim APBD meningkat. Ketiga, Pemda berupaya mengelola program CSR satu atap di koordinir oleh Pemda, walaupun belum jelas pola dan pelaksanaannya seperti apa.
Jika melihat Peraturan yang melingkupi mengenai CSR atau Program Kemitran dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN, Pada dasarnya baru terdapat tiga landasan hukum,  Pertama, Peraturan Menteri Negara BUMN No: Per-05/MBU/2007,  isinya adalah Pasal 1 ayat (6), bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN, dan pada pasal 1 ayat (7) dijelaskan bahwa Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL, adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan ruang lingkup bantuan Program BL BUMN, sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) huruf e meliputi: Bantuan korban bencana alam; Bantuan pendidikan dan atau pelatihan; Bantuan peningkatan kesehatan; Bantuan pengembangan prasarana dan atau sarana umum; Bantuan sarana ibadah; dan Bantuan pelestarian alam.
Kedua, Peraturan yang mengikat Perseroan Terbatas (PT) adalah Undang-undang No.40 Tahun 2007. Dalam pasal 74 diatur bahwa : (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, (2)Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketiga, Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa "Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan." Meskipun UU ini telah mengatur sanksi-sanksi secara terperinci terhadap badan usaha atau usaha perseorangan yang mengabaikan CSR (Pasal 34), UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur secara tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional.
Pada dasarnya peraturan yang melingkupi CSR adalah peraturan yang masih dalam proses penyempurnaan. Peraturan Menteri BUMN sebetulnya lebih detail membahas mengenai apa saja yang termasuk dalam program kemitraan dan bina lingkungan dibanding  UU PT maupun UU penanaman modal. Undang-Undang PT seakan berlaku diskrimintaif, karena hanya mengatur perusahaan ekstraktif (terkait SDA), tidak mengikat perusahaan lain yang sama-sama berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial. Selain itu sampai dengan saat ini sudah hampir tiga tahun Peraturan pemerintah (PP) mengenai turunan dari Undang-undang PT belum selesai dibahas. Setali tiga uang Undang-undang Penanaman modal hanya mengatur CSR bagi investor asing.
Jika melihat tata aturan hukum yang melingkupi-pun masih belum sempurna, lantas bagaimana dengan Raperda CSR? Tidakkah nantinya ketika PP diterbitkan beresiko akan tumpang tindih. Seharusnya pemerintah daerah banyak belajar dari pengalaman dimana Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ratusan Perda karena tumpang tindih dengan aturan diatasnya, dan berapakah anggaran yang harus dikeluarkan untuk terbitnya sebuah perda yang kesannya hanya untuk kebutuhan pragmatis.
Satu hal yang tidak boleh dinafikan dalam membuat Raperda CSR adalah harus menggunakan juga logika perusahaan. Akan menjadi sebuah kontradiktif ketika daerah banyak menarik investor dari luar untuk membuka industrinya di daerah, namun dengan terlalu banyaknya aturan dan biaya maintenance yang dikeluarkan apakah malah tidak akan membuat investor hengkang. Logika sederhana, biaya perizinan usaha di Indonesia sangat besar dan itu pun belum menjamin izin tersebut tuntas dari hulu sampai hilir. Izin formal dan pajak lumayan besar, belum lagi perizinan di tingkat provinsi, kabupaten hingga kecamatan. Ditambah yang informal ”biaya bawah meja” untuk mempercepat proses, upeti, jatah preman, proposal-proposal pembangunan masjid, sekolah dan lain-lain. Apa jadinya jika ditambah lagi beban perusahaan dengan adanya Perda yang mengatur CSR, dimana substansinya lebih pada menghimpun anggaran CSR dari perusahaan.
Alangkah lebih baik pemerintah daerah memperjuangkan hak-hak buruh, peningkatan UMK, dan lain sebagainya, tanpa harus dipusingkan kewajiban sosial perusahaan yang sebetulnya sudah diatur dalam RKP dan RKL Analisi Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (Amdalsos), sebetulnya keseriusan perusahaan dalam penerapan CSR tingga dievaluasi pada level itu, karena dalam Amdalsos sudah ada indikator sosial dan lingkungannya, jika perusahaan melanggar maka pemerintah tinggal mencabut Amdalnya. Kondisi yang terjadi adalah Amdalsos sendiri mulai dari permohonan hingga haslnya bisa ”diatur” pemerintah dan perusahaan, dan yang dirugikan adalah masyarakat setempat.
Secara hakikat berbicara CSR bukan hal yang mudah dalam arti menetapkan program asal jalan, asal sumbang, asal ada anggaran, yang ada pada akhirnya malah merusak social capital masyarakat. CSR dilakukan berdasarkan pertimbangan yang matang didasarkan pada “kebutuhan masyarakat”  bukan “keinginan masyarakat”.  Minimal terdapat empat tahapan dalam melakukannya CSR yaitu need assessment (kajian kebutuhan), plan of treatment (perencanaan program), treatment action (aplikasi program), termination (pemutusan bantuan) dan evaluation (evaluasi), kesemua rangkaian proses ini memerlukan proses panjang, membutuh mereka yang ahli dan memiliki kapasitas dalam menjalankannya, karena program tersebut berkaitan dengan lokalitas, kebermanfaatan, keberdayaan, hubungan mutualisme, kepentingan stakeholder. Apakah pemerintah daerah ketika mengajukan dirinya mengelola program CSR sanggup mengerjakan detail program diatas, sedangkan peran pemerintah sendiri merupakan bagian dari stakeholder yang memiliki fungsi kontrol terhadap pelaksanaan CSR perusahaan. Tidak ada logika yang membenarkan fungsi kontrol malah nantinya harus dikontrol.
Alangkah lebih baik jika pembuatan Raperda CSR bukan menjadi sebuah euphoria atau budaya ikut-ikutan antar daerah didasarkan pada matematika anggaran semata, melainkan perlu pengkajian secara mendalam. CSR memang merupakan bentuk keharusan bagi perusahaan tapi harus dilihat dahulu aturan apa yang melingkupinya. Jauh lebih baik jika pemerintah daerah melihat dahulu kondisi ‘kesehatan perusahaan’ jangankan mengatur CSR, gaji buruh pun misalnya masih dibawah UMK. Lebih baik memperkuat kontrol pelaksanaan RKP dan RKL Amdalsos, jikapun ingin membenahi, adalah melakukan kontrol sejauhmana pelaksanaan CSR yang sudah ada apakah memberdayakan masyarakat lokal atau malah membuat dependensi baru, lalu Pemda memberikan rekomendasinya.

2 comments

  1. dhiet

Leave a Reply

Sketsa