Diberdayakan oleh Blogger.

NEGERI PRELIMINER


posted by rahmatullah on , ,

No comments


Tulisan ini sudah lama dibuat dan telah dimuat dalam harian lokal, tepatnya 3 tahun lalu, tapi konteksnya tidak berubah terkait dengan "Budaya Seremoni". Memang ironi, idak ada yang berubah dari negeri ini...Moga bermanfaat.

Menarik, ketika membaca sebuah berita harian Ibu kota mengenai pelantikan dua pejabat, yaitu pejabat wali kota Serang dan pejabat bupati Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung, yang dilangsungkan pada waktu yang sama 2 november 2007, bertempat di kantor menteri dalam negeri. Yang menarik bukan pada siapa yang melantik atau dilantik, atau nilai historis perjuangan dua daerah tersebut hingga berhasil dimekarkan. Melainkan mengapa pelantikannya di langsungkan di kantor Mendagri di waktu yang bersamaan, bukan di daerah masing-masing seperti tradisi yang menggejala berpuluh tahun di negeri ini, atau mungkin di Ibu kota provinsi jika memang belum ada tempat yang representatif di kota dan kabupaten baru tersebut.
            Bagi orang-orang yang berasal dari daerah yang memperjuangkan pemekaran wilayah, biasanya mereka akan mengungkapkan rasa kekecewaan, mengapa pelantikan tersebut tidak di langsungkan di daerah asal mereka sebagai bentuk penghargaan. Sebuah kewajaran jika masyarakat punya anggapan demikian, dikarenakan sebagai sebuah babak baru sejarah yang nilainya sakral, karena pelantikan pejabat yang daerahnya baru dimekarkan mungkin hanya sekali sepanjang sejarah.
            Namun menjadi sebuah fenomena baru untuk kita cermati, ketika mendengar alasan yang dikemukakan juru bicara Depdagri yang menyatakan bahwa alasan pelantikan pejabat daerah dilakukan di kantor Depdagri, bukan di daerah masing-masing adalah dalam rangka efektifitas dan efisiensi. Efektifitas yang dimaksud adalah agar tidak banyak waktu yang terbuang, andai Menteri harus berkunjung ke daerah disaat bertumpuknya kewajiban menuntaskan berbagai agenda di waktu yang sama, daripada waktunya dihabiskan di perjalanan atau dalam acara prosesi yang biasanya membuang waktu dan banyak biaya.
            Sedangkan Efisiensi yang diupayakan adalah agar tidak banyak anggaran yang dihamburkan daerah baru hanya sekedar untuk pelantikan. Jika pelantikan dilakukan di pusat, maka pejabat dan rombongan daerah hanya mengeluarkan anggaran sekedar untuk transportasi, coba dihitung berapa besar biaya yang bisa dihemat? Sebuah kebiasaan tidak mau bercermin pada kenyataan prihatin kondisi bangsa saat ini, yang dilakukan pemerintahan di daerah dari dulu hingga sekarang, jika ada pejabat melakukan peresmian, pelantikan, atau pencanangan yang sifatnya kunjungan dari pusat ke daerah akan terjadi kemubaziran dana diluar anggaran yang pada akhirnya akan membebani APBD, APBN atau mungkin rangkap anggaran, karena bagaimanapun juga daerah bisanya mengadakan prosesi penyambutan yang sifatnya “wah”, menunjukkan kemewahan yang bukan merupakan wujud asli kondisi wilayahnya. Belum lagi pendayagunaan aparatur negara dalam satu prosesi kedatangan pejabat negara akan mengakibatkan macetnya produktifitas aparatur negara hingga masyarakat, karena mulai dari siswa sekolah dalam berbagai tingkatan disibukkan dengan gladiresik dan tidak jarang  instansi dan sekolah diliburkan.
            Perbaikan sarana dan prasarana dilakukan dalam watu singkat, setidaknya dengan mengecat gedung, trotoar, pagar, operasi semut hingga operasi Pedagang Kaki Lima (PKL) hanya sekedar untuk citra yang sifatnya sementara, tega mengeluarkan anggaran puluhan hingga ratusan juta. Roky Gerung, Dosen Filsafat UI mengungkapkan bahwa “Kelemahan masayarakat kita adalah terseret kedalam arus politik citra, hingga terbuai fatamorgana cover, seakan-akan semua bagus diluar, tidak ada protes dan sebagainya. Masyarakat kini tidak melihat substansi makna yang terkandung di dalam, tapi hanya melihat topeng yang terkiaskan bagus”.
            Sebuah sikap sederhana yang dilakukan Mendagi namun memiliki dampak yang besar dengan semangat efisiensi dimulai dari pelantikan pejabat daerah tingkat II. Hal terebut menjadi penting, karena selama ini negera kita sangat dikenal sebagai negeri preliminer, negeri yang selalu tersibukan oleh kegiatan ritual-ritual peresmian, pencanangan, penandatangan, upacara, penyambutan, dan sebagainya yang banyak menguras energi dan biaya hanya sekedar kepuasan pembangunan citra di awal. Hal ini terjadi karena kita adalah bangsa yang dari zaman dulunya terbiasakan oleh semangat hanya di awal dalam mengerjakan atau memprogramkan apapun dengan anggaran yang tidak pernah proporsional, dengan acara yang asal gebyar di awal saja.
            Ada suatu pameo yang kita sendiri tanpa sadar sudah hapal, bisanya dengan adanya seremoni pembukaaan, peresmian, atau pencanangan seakan-akan pada waktu yang bersamaan program tersebut juga berakhir, bukan malah menjadi spirit untuk mengawali langkah perjuangan terlaksananya program yang diharapkan, karena semuanya sudah sama-sama kita ketahui hanya mengejar sukses di awal saja. Setelah peresmian selesai, biasanya tenaga yang terhimpun pada saat akan berlangsungnya persemian mulai mengendur, dan pada akhirnya rencana tinggalah rencana tanpa ada program yang terimplementasikan. Parameter-parameter yang telah tersusun dengan rapi dan tingkat presisi keberhasilan yang telah diukur pada saat perencanaan, hanyalah menjadi formalitas sebuah syarat adanya program atau proyek, yang hingga selesainya kegiatan tidak pernah digunakan.
             Kerepotan-kerepotan sebagaimana terjadi pada saat akan meresmikan suatu program atau pencanangan di suatu daerah, akan terjadi kembali ketika mulai adanya proses pemantauan, dan evalusi. Yang dipikirkan oleh pelaksana program atau proyek di daerah adalah bukan bagaimana caranya supaya program yang dilaksanakan di daerah di nilai baik oleh pengawas, melainkan berupaya supaya pihak yang akan melakukan evaluasi bisa “terpuaskan” dengan pelayanan mereka, tanpa mengenal substansi apa yang akan di pantau atau di evaluasi. Yang diperbuat adalah membuat rekayasa seolah-olah program yang dilaksanakan berjalan dengan baik, setelah itu disibukkan oleh kegiatan mencari buah tangan, asumsinya adalah dengan diberikannya buah tangan disertai mutu “pelayanan” yang di jamin memuaskan kepada para pemantau, maka proses evaluasi yang dilakukan tidak akan menjadi masalah walaupun pelaksanaan kegiatannya bermasalah. Biasanya para pementau juga setali tiga uang, mereka hanya akan mencatat dan melaporkan hal yang bagus-bagus saja.
Hal diatas merupan sebuah kebiasaan yang menggejala. Bagi mereka yang berbuat demikian adalah lumrah dan bagi kita juga yang menyaksikan, akan lumrah juga karena di dasarkan oleh rasa tau sama tau. Makanya sebuah kewajaran jika lembaga donor tingkat dunia pun jarang memberikan proyek pada pihak pemerintah, karena sudah tau birokratnya tidak bisa dipercaya. Mereka lebih percaya kepada pihak swasta yang di dalamnya terdapat orang-orang yang memiliki keluasan kapasitas dan integritas.
Apa yang bisa kita rubah untuk saat ini adalah bagaimana supaya negeri ini tidak hanya menjadi negeri cover, yang selalu habis-habisan diawal, piawai dalam membuat kesan atau citra, tersibukan oleh pemubaziran anggaran untuk sebuah formalitas. Kita kadang terasosiasikan oleh program dunia. Jika sekarang ramai misalnya oleh MDG’s atau Global Warming maka semua tersibukan oleh perhelatan euphoria pencanangan ini dan itu, tanpa jelas tindak lanjutnya. Saat ini trend lembaga dunia terfokus pada program penghijauan, maka seperti lemmings, semua instansi, perusahaan, pemerintah pusat dan daerah sibuk menanam berjuta pohon tanpa pernah tau akan bagaimana kelanjutannya, tanpa pernah peduli kondisi pohon setelah satu bulan, satu tahun. Baru semua saling menyalahkan ketika program dinyatakan gagal.
Saatnya kita berbenah, jangan sampai uang negara dihabiskan oleh pembukaan-pembukaan, seremoni-seremoni, peresmian-peresmian, dan pencananagan-pencanangan, sebagai sarana penunaian kewajiban semata, tanpa jelas tindak lanjutnya, tanpa ada yang tahu perkembangannya, tanpa ada yang tahu sejauh mana tingkat efektifitas sekaligus keberhasilannya. Kadang masyarakat terlalu sabar untuk selalu dijadikan korban try and error, ajang coba-coba bukan untuk berhasil, tapi jadi ajang dicoba lantas gagal.

Leave a Reply

Sketsa