Diberdayakan oleh Blogger.

Estetika dan Pemborosan


posted by rahmatullah on , , ,

3 comments


Hari ini kebetulan saya harus pergi ke salah satu Bank swasta untuk pembayaran asuransi bulanan. Ketika sampai pintu masuk Bank, tersungging senyum hangat dari Satpam untuk mempersilahkan masuk, sambil memberikan kertas antrian. Sambil menungu panggilan teller, saya duduk di sofa, terasa sejuk dan nyaman, ditambah memang ruangan berpendingin udara.

Saat duduk, melepas penat, wajah saya tengadah keatas langit-langit, memandangi lampu yang menerangi ruangan. Sambil iseng saya hitung jumlah lampu yang ada dalam ruangan tersebut, ternyata berjumlah 20 buah, untuk ukuran ruangan kurang lebih 7X 12 meter. Kenyamanan duduk saya terusik setelah keisengan menghitung jumlah lampu, ukuran ruangan, ditambah ketika melihat kaca menembus ke luar gedung, cuaca begitu cerah, artinya cahaya matahari dari luar gedung sebetulnya cukup untuk menerangi ruangan.

Sepulang dari bank, pikiran saya tak berhenti termenung karena lampu-lampu yang menerangi ruangan bank. Sebetulnya apa untungnya saya ambil pusing, tapi memang otak ini sedang mau ambil pusing, saya pikir semua Bank saat ini sedang berlomba memberikan service exellence, membuat nasabah senyaman mungkin, dengan mendekor ruanganseindah mungkin, kursi/ sofa yang bagus, pendingin udara, penerangan yang cukup. Ditambah sekarang go green menjadi bahan jualan bank. Yang tidak saya habis pikir semangat go green yang identik dengan penghijauan, daur ulang dan hemat energi, hanyalah kelatahan semata. Apa relefansinya ruangan bank berukuran 7X12 m, mengkonsumsi lampu 20 buah. Demi sebuah estetika lampu yang dipasang berada dalam tempat yang cekung, sehingga bukan lampu bersinar optimal, malah terperangkap dalam tempat yang cekung.

Coba amati ketika saudara ke Bank manapun, rata-rata kondisinya seperti itu, dalam ruangan yang kecil dipasang lampu yang jumlahnya tidak proporsional, walaupun matahari terik, tidak ada lampu yang dimatikan atau dikurangi, hampir semuanya dinyalakan. Entah, apakah substansinya adalah estetika sehingga memboroskan energi, yang saya pahami penghematan energi adalah bagian dari estetika. Karena estetika adalah keramahan dan keindahan substantif, bukan keindahan yang artifisial.

Ingatan saya luruh kebelakang, ketika bekerja di pedalaman kalimantan Selatan, sebegitu parahnya krisis listrik, sebagian wilayah Desa di Kabupaten Tanah Bumbu gelap gulita. Masyarakat berinisatif menyediakan genset dan kontribusi beberapa perusahaan tambang memberikan bantuan panel surya. Mati lampu sudah menjadi hal lumrah di Ibu Kota Kabupaten, dan masyarakat sudah jenuh untuk mengeluh dan protes. Bagi saya kondisi ini menjadi kesenjangan/ disparitas luar biasa, dimana pada beberapa bagian di Indonesia, seperti perumahan elit, apartemen, perkantoran, bank, dll mengkonsumsi listrik dengan sangat boros, sedangkan pada bagian lain di beberapa wilayah Pulau Jawa, sebagia pulau sumatera, sebagian besar Pulau Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara dan Papua masih gelap gulita. Manamungin dengan kondisi tersebut kualitas pendidikan meningkat, pertumbuhan usaha berkembang baik.

Dalam satu tulisan Prof. Mudrajat Kuncoro, bahwa Kapasitas terpasang pembangkit listrik saat ini sebesar 29.705 MW. Kapasitas tersebut berasal dari pembangkit PLN sebesar 24.925 MW atau 83,3% dari total kapasitas terpasang, pembangkit swasta (IPP) sebesar 3.984 MW atau 13,4%, dan pembangkit terintegrasi (PPU) sebesar 796 MW atau 3,3%. Hampir 67% dari total pelanggan yang menggunakan kapasitas tersebut berdomisili di Area Jawa dan Bali. Artinya coverage listrik di Indonesia baru 67%, itupun masih belum stabil. Bagaimana dengan nasib sisanya 33 %.

Banyak kebijakan diberlakukan terkait kondisi istrik di Inonesia, mulai dari pemadaman bergilir, penghematan listrik, pengurangan konsumsi listrik pada saat jam beban, penghematan penggunaan pendingin udara, penghematan listrik di perkantoran, sampai ke pembuatan bangunan hemat energi.

Namun kembali Indonesia adalah negara preliminer, negara simbol. Dimana apapun yang dilakukan hanyalah simbolisasi, tanpa pemaknaan. Semangat go green hanyalah semboyan semata, bayangkan jika dalam satu kota kecil terdapat 5 unit bank yang menggunakan lampu 20 buah untuk ruangan 7 X 12 m, berapa pemborosan energi dilakukan jika itu terjadi di seluruh Indonesia. Padahal jika dirunut lebih dalam listrik di Indonesia sebagian besar mengunakan batubara sebagai stimulan pembangitan listrik, yang merupakan sumber daya alam tidak terbarukan, ekspansi pertambangan batubara semakin mengeksploitasi alam sumatera dan kalimantan. Pemborosan energi pada satu sisi akan berefek domino pada kerusakan lingkungan, pemanasan global dan hilangnya sumber daya alam untuk generasi cucu dan cicit kita kelak. Sehingga maka keberlanjutan di negeri ini hanyalah omong kosong.

Saya terenyuh jika mengingat lokasi saya bekerja dulu di Kalsel, namanya Desa Mangkalapi di Kabupaten Tanah Bumbu. Jika malam gelap gulita, padahal merupakan wilayah penghasil batubara yang ternyata batubara tersebut dikirim ke Pembangkit PT. Indonesia Power di Suralaya, Cilegon Banten, untuk menerangi interkoneksi Jawa-Bali. Memang jangan heran jika di negeri ini ada istilah  ayam mati di Lumbung padi.*

3 comments

Leave a Reply

Sketsa