Betapa tidak menyenangkan, ketika kita mengantri di ATM, di kasir, di apotik, di loket atau ditempat-tempat lain yang membutuhkan kesabaran menunggu, tiba-tiba ada yang menyerobot memotong antrian. Sudah tentu rasa kesal menyelimuti, jika tidak sabar mungkin emosi meletup. Terkadang kita memaklumi jika yang menyerobot adalah orang yang sudah sepuh, atau dalam kondisi darurat dengan menghaturkan permintaan maaf terlebih dahulu, namun tidak jarang ada yang menyerobot petantang petenteng tanpa terlihat ekspresi merasa bersalah, atau yang paling sering terjadi ketika pejabat enggan mengantri karena gengsi jabatannya.
Tanpa kita sadari mengantri merupakan salah satu indikator kepribadian seseorang yang jika diakumulasi bisa menjadi ceriminan karakter bangsa. Jangan heran jika setiap hari kita memaki kemacetan jakarta yang makin menjadi, memaki pasar tradisional yang semrawut, memaki konser yang berjalan ricuh, memaki pedagang yang menggunakan badan jalan, memaki sampah yang menggunung, memaki pengemis di lampu merah, memaki KRL yang penuh sesak dan tidak ada hari tanpa aneka makian walaupun itu dalam hati.
Padahal kitapun punya kontribusi yang besar terhadap kekacauan yang terjadi di negeri ini. Tanpa sadar kita sering ugal-ugalan berkendaraan, menyerobot kanan kiri, trotoar sebagai hak pejalan kaki kita rampas. Tidak jarang kita membuang sampah sembarangan yang pada akhirnya berakumulasi menjadikan banjir, tidak jarang kita juga belanja di badan jalan yang menjadikan pedagang sulit ditertibkan, terkadang dengan dalih empati kita beri pengemis di lampu merah, padahal berkontribusi membuat orang menjadi malas. Dan banyak sikap kita yang mendarahdaging rupanya besar sumbangsihnya bagi kesemrawutan.
Konon salah satu hal yang membedakan antara negara maju dan terbelakang dikarenakan keteraturan dan kedisiplinannya. Karakter bangsa yang teratur berkontribusi terhadap kemajuan bangsa tersebut. Kita tengok Jepang, bagi mereka memotong antrian adalah sesuatu yang paling memalukan, harga Surat Izin Mengemudi (SIM) lebih mahal daripada harga mobil, dan tidak jarang seseorang baru lulus ujian SIM setelah 10 kali gagal, selain itu pelajar tidak diizinkan mengendarai kendaraan bermotor. Kondisi ini berdampak pada rendahnya tingkat kecelakaan, dan secara tidak langsung terbatasinya penambahan kendaraan, karena masyarakat berpikir untuk apa beli mobil toh ujian SIMnya saja sulit.
Kondisi tersebut bertolak belakang di Indonesia, SIM mudah di dapat, umur bisa diatur, setiap hari ratusan kendaraan terjual dengan kredit yang murah, tidak ada penambahan jalan baru, transportasi massal sering tidak tepat waktu ditambah kumuh. Bukankah kondisi ini berkontribusi pada kesemrawutan lalu lintas dan meningkatnya angka kematian akibat kecelakaan. Ditambah kedisiplinan berkendaraan seperti menggunakan helm, menggunakan sabuk pengaman, berhenti di lampu merah, tidak ugal-ugalan hanya kita lakukan ketika ada polisi. Padahal ketertiban berkendara adalah kebutuhan kita untuk selamat, bukan karena takut pada polisi.
Baru satu aspek ketidakteraturan berkendara yang kita bahas, banyak ketidakteraturan lain terjadi di negeri ini yang asal muasalnya adalah karakter buruk masyarakatnya. Dalam dimensi yang lebih luas bencana yang terjadi diakibatkan pribadi buruk masyarakat, seperti banjir bandang, tanah longsor, akibat sampah yang menyumbat sungai, gunung yang digunduli dan ketidakpatuhan industri kehutanan pada regulasi.
Yang dibutuhkan oleh bangsa ini saat ini adalah kesadaran untuk teratur. Tidak akan ada kemacetan parah walau badan jalan sempit jika pengendara teratur, tidak ada kericuhan dalam antrian pembagian zakat jika penerima zakat mengantri dengan tertib, tidak akan ada banjir parah jika kita teratur dan disiplin membuang sampah. Sungguh energi dan produktifitas bangsa ini habis terkuras karena ketidakteraturan yang terus dipelihara, karena keegoan warganya. Saya yakin tidak akan maju bangsa ini walaupun sedemikian banyaknya kekayaan alam dan kecanggihan tekhnologi ini jika tidak ada kehendak diri warganya untuk teratur.***