Ini hanya soal putaran waktu, karena pada saatnya kita akan menjadi orang tua. Namun kalau
dipikirkan menjalankan peran orang tua bukan main beratnya.
Kita yang saat ini diamanahkan anak, entah itu masih bayi maupun beranjak dewasa, akan merasakan takjub pada apa yang telah dilakukan ayah dan ibu kita dengan segala kesabaran, pengorbanan dan perjuangan mereka masa lalu.
Saat ini saya diamanahkan
anak, aiman (6 tahun), aisyah (3 tahun) dan isteri sedang mengandung insyAllah
anak ke-3. Kadang saya bermenung rupanya menjadi orang tua gak bisa asal, gak
begitu saja, gak juga bisa pake prinsip air mengalir atau apa adanya. Omong
kosong jika kita mau keturunanan menjadi anak yang soleh, pinter, disiplin, hafiz, berbakti, rajin menabung dan segala mimpi
setinggi langit hanya dengan ilmu ujug-ujug. Rupanya membutuhkan seni dan ilmu menjadi orang tua yang sangat banyak. Ilmu tersebut idealnya kita dapatkan sebelum menikah, bukan setelah menikah baru kepikiran seperti saya
ini.
Rupanya model saya yang pas-pasan
dengan ‘ilmu orang tua’ kian hari kian terasakan beratnya 'membesarkan' anak. Berharap anak menjadi
soleh, toh solat saya juga masih telat-telat, jarang berjamaah, sholat sunah males-malesan,
qiyamul lail juga boro-boro. Ngarep anak hafiz 30 juz, ngapal juz 30 saja belum
kelar-kelar. Ngarep anak disiplin, saya paling sering gak tepat waktu. Apalagi
ngarep anak juara kelas, dia belajar saya jojong main HP.
Semua butuh ilmu, dan jikalau
saat ini kita sudah 'terlanjur' menjadi orang tua, maka kita yang harus melakukan revolusi mental atas diri kita agar anak anggun kepribadiannya dan berakhlak
mulia, revolusi gaya ibadah kita agar anak punya prototype soleh itu seperti
bapak ibunya, revolusi pekerjaan dan pendapatan agar anak mudah tercukupi
kebutuhannya hingga terwujud cita-citanya.
Bagaimanapun saat ini cermin yang terdekat
pada anak adalah orang tuanya. Maka omong kosong jika kita berharap banyak pada
anak, sedangkan tidak ada yang bisa diharapkan anak pada sosok orang tuanya.
Ilmu lain mengenai getaran hati, ilmu ini ternyata lebih tinggi dan dalam lagi jika kita mau memaknai. Mulai sekarang buang
jauh-jauh segala penyakit hati dan aneka jenis kenakalan. Jikalau kita
hanya menyuruh-nyuruh anak, tanpa membersamai entah itu dalam hal ibadah, saat
belajar, saat membereskan rumah, yakin anak gak akan menjadi sesuai harapan
kita, karena frekuensi batinnya gak sama. Maka jika anak berperangai berhati keras, menentang orang tua, sulit diajak berbuat baik, maka raba hati kita karena mungkin ada perilaku kita yang kurang pantas atau sumber rizki yang kurang halal sehingga berefleksi pada perangai anak. Terkadang dalam berumah tangga kita bermain sinetron memainkan peran menjadi orang tua super ideal, super soleh padahal
belangnya gak karu-karuan di luar rumah, maka sudah pasti akan tertolak dengan batin
anak. Bagaimanapun anak adalah buah hati, yang sebagian hatinya datang dari orang tua, frekuensi batinnya akan sejalan atau bertolak seiring
dengan suasana batin orang tuanya.
Namun memang anak adalah Kuasa Allah, berbagai fenomena anak-anak tumbuh menjadi soleh, dan sukses berangkat dari ketidakhadiran sosok orang tua, keluarga yang ideal, terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Mungkin sumbernya adalah kekuatan doa diantara orang tua yang menggetarkan langit.
Namun memang anak adalah Kuasa Allah, berbagai fenomena anak-anak tumbuh menjadi soleh, dan sukses berangkat dari ketidakhadiran sosok orang tua, keluarga yang ideal, terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Mungkin sumbernya adalah kekuatan doa diantara orang tua yang menggetarkan langit.
Sebetulnya ini refleksi saya atas kelemahan ilmu dalam membersamai anak
umur 6 tahun dan 3 tahun, rupanya menjadi orang tua tidak bisa pas-pasan, apalagi kian bertambah
umur anak, maka butuh ilmu yang lebih kompleks lagi agar apa yang kita harapkan
pada keturunan tercapai.
Semoga sedikit curhat ini bermanfaat bagi yang belum
atau akan menjadi orang tua… Yang utama dapatkan dulu ilmunya, amalkan dan
jadilah orang tua hqq sebagaimana orang-orang tua kita terdahulu.
“Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu akan ditanya tentang kepemimpinanmu. Orang laki-laki (suami) adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Isteri adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. (HR Bukhari juz 1, hal. 215).***
“Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu akan ditanya tentang kepemimpinanmu. Orang laki-laki (suami) adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Isteri adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. (HR Bukhari juz 1, hal. 215).***