I.1 Pendahuluan
Dalam konteks pembangunan saat ini, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggungjawab yang berpijak pada aspek keuntungan secara ekonomis semata, yaitu nilai perusahaan yang direfleksikan dalam kondisi keuangan, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya. Perusahaan bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan usahanya, melainkan juga bertanggungjawab terhadap aspek sosial dan lingkungannya. Dasar pemikirannya adalah menggantungkan semata-mata pada kesehatan finansial tidak menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan aspek terkait lainnya, yaitu aspek sosial dan lingkungan (Rudito, Budimanta, Prasetijo: 2004).
Terdapat beberapa contoh kasus, terkait permasalahan yang muncul dikarenakan perusahaan dalam melaksanakan operasinya kurang memperhatikan kondisi lingkungan dan sosial di sekitarnya, hususnya perusahaan yang aktivitasnya berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam (ekstraktif). Sebagai contoh, PT. Freeport Indonesia salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia yang berlokasi di Papua, yang memulai operasinya sejak tahun 1969, sampai dengan saat ini tidak lepas dari konflik berkepanjangan dengan masyarakat lokal, baik terkait dengan tanah ulayat, pelanggaran adat, maupun kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi (Wibisono: 2007). Kasus Pencemaran Teluk Buyat, yaitu pembuangan tailing ke dasar laut laut yang mengakibatkan tercemarnya laut sehingga berkurangnya tangkapan ikan dan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat lokal akibat operasional PT Newmon Minahasia Raya (NMR) tidak hanya menjadi masalah nasional melainkan internasional (Leimona, Fauzi :2008). Begitupula konflik hingga tindak kekerasan terjadi akibat pencemaran lingkungan dan masalah sosial terkait operasional PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) di wilayah Duri Provinsi Riau, dimana masyarakat menuntut kompensasi hingga tingkat DPR pusat terkait dampak negatif operasional perusahaan tersebut terhadap kondisi ekonomi, kesehatan dan lingkungan yang semakin memburuk (Mulyadi: 2003).
Jika dilihat dari beberapa kasus diatas, masalah sosial dan lingkungan yang tidak diatur dengan baik oleh perusahaan ternyata memberikan dampak yang sangat besar, bahkan tujuan meraih keuntungan dalam aspek bisnis malah berbalik menjadi kerugian yang berlipat. Oleh karena itu masalah pengelolaan sosial dan lingkungan untuk saat ini tidak bisa menjadi hal marginal, ditempatkan pada tahap kuratif atau aspek yang tidak dianggap penting dalam beroperasinya perusahaan. Tanggungjawab sosial perusahaan atau dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan aspek penting yang harus dilakukan perusahaan dalam operasionalnya. Hal tersebut bukan semata-mata memenuhi peraturan perundang-undangan sebagaimana untuk perusahaan tambang diatur dalam Undang-undang No 22 tahun 2001, maupun untuk Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam Undang undang No. 40 pasal 74 tahun 2007, melainkan secara logis terdapat hukum sebab akibat, dimana ketika operasional perusahaan memberikan dampak negatif, maka akan muncul respon negatif yang jauh lebih besar dari masyarakat maupun lingkungan yang dirugikan.
Setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa perusahaan harus melaksanakan CSR, khususnya terkait dengan perusahaan ekstraktif (Wibisono: 2007). Pertama, perusahaan merupakan bagan dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan harus menyadari bahwa mereka beroperasi dalam satu tatanan lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial berfungsi sebagai kompensasi atau upaya imbal balik atas penguasaan sumber daya alam atau sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang kadang bersifat ekspansif dan eksploratif, disamping sebagai kompensasi sosial karena timbul ketidaknyamanan (discomfort) pada masyarakat.
Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, setidaknya izin untuk melakukan operasi yang sifatnya kultural. Wajar bila perusahaan juga dituntut untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan.
Ketiga, kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindarkan konflik sosial. Potensi konflik itu bisa berasal akibat dari dampak operasional perusahaan atau akibat kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan.
II. Kerangka Pemikiran
II.1 Perkembangan CSR dan Pembangunan Berkelanjutan
Perkembangan CSR tidak bisa terlepas dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development), definisi pembangunan berkelanjutan menurut The World Commission On Environment and Development yang lebih dikenal dengan The Brundtland Comission, bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka (Solihin: 2009).
The Brundtland Comission dibentuk untuk menanggapai keprihatinan yang semakin meningkat dari para pemimpin dunia terutama menyangkut peningkatan kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang semakin cepat. Selain itu komisi ini juga dibentuk untuk mencermati dampak kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam terhadap ekonomi dan pembangunan sosial. Oleh karenanya, konsep sustainability development dibangun diatas tiga pilar yang berhubungan dan saling mendukung satu dengan lainnya, Ketiga pilar tersebut adalah sosial, ekonomi, dan lingkungan, sebagaimana ditegaskan kembali dalam The United Nation 2005 World Summit Outcome Document (Solihin: 2009).
Pengenalan konsep Sustainability development memberikan dampak kepada perkembangan devinisi dan konsep CSR selanjutnya. Sebagai contoh The Organization for economic cooperation and Development (OECD) merumuskan CSR sebagai “Kontribusi bisnis bagi pembangunan berkelanjutan serta adanya perilaku korporasi yang tidak semata-mata menjamin adanya pengembalian bagi pemegang saham, upah bagi para karyawan, dan pembuatan produk serta jasa bagi para pelanggan, melainkan perusahaan bisnis juga harus meberi perhatian terhadap berbagai hal yang dianggap penting serta nilai-nilai masyarakat”.
Lembaga lain yang memberikan rumusan CSR sejalan dengan konsep sustainability development adalah The World Business Council for Sustainability Development. Menurut organisasi ini CSR adalah komitmen berkelanjutan dari para pelaku bisnis untuk berprilaku secara etis dan memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi, sementara pada saat yang sama meningkatkan kualitas hidup dari para ekerja dan keluarganya demikian pula masyarakat lokal dan masyarakat secara luas (Solihin : 2009).
Menurut World Bank (Fox, Ward dan Howard 2002:1) CSR merupakan komitmen sektor swasta untuk mendukung terciptanya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dukungan sektor swasta dalam hal ini perusahaan untuk melakukan tanggungjawab sosialnya adalah ketika pada tahun 2000, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk UN Global Compact sebagai salah satu lembaga yang merangkai konsep dan kegiatan CSR. Lembaga ini merupakan representasi kerangka kerja sektor swasta untuk mendukung pembanguan yang berkelanjutan dan terciptanya good corporate citizenship (UN Global Compact: 10). Tujuan utama yang ingin dicapainya adalah memberantas kemiskinan, menyelesaikan masalah buta huruf, memperbaiki pelayanan kesehatan, mengurangi angka kematian bayi, memberantas AIDS, menciptakan keberlanjutan dan pengelolaan lingkungan, dan merangsang terciptanya kemitraan dalam proses pembangunan.
II.2 Pandangan Perusahaan Terhadap CSR
Setiap perusahaan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap CSR, dan cara pandang inilah yang bisa dijadikan indikator kesungguhan perusahaan tersebut dalam melaksanakan CSR atau hanya sekedar membuat pencitraan di masyarakat (Wibisono :2007). Setidaknya terdapat tiga kategori paradigma perusahaan dalam menerapkan program CSR, diantaranya:
Pertama, Sekedar basa basi dan keterpaksaan, artinya CSR dipraktekkan lebih karena faktor eksternal, baik karena mengendalikan aspek sosial (social driven) maupun mengendalikan aspek lingkungan (environmental driven). Artinya pemenuhan tanggungjawab sosial lebih karena keterpaksaan akibat tuntutan daripada kesukarelaan. Berikutnya adalah mengendalikan reputasi (reputation driven), yaitu motivasi pelaksanaan CSR untuk mendongkrak citra perusahaan. Banyak korporasi yang sengaja berupaya mendongkrak citra dengan mamanfaatkan peristiwa bencana alam seperti memberi bantuan uang, sembako, medis dan sebagainya, yang kemudian perusahaan berlomba menginformasikan kontribusinya melalui media massa. Tujuannya adalah untuk mengangkat reputasi.
Disatu sisi, hal tersebut memang menggembirakan terutama dikaitkan dengan kebutuhan riel atas bantuan bencana dan rasa solidaritas kemanusiaan. Namun disisi lain, fenomena ini menimbulkan tanda tanya terutama dikaitkan dengan komitmen solidaritas kemanusiaan itu sendiri. Artinya, niatan untuk menyumbang masih diliputi kemauan untuk meraih kesempatan untuk melakukan publikasi positif semisal untuk menjaga atau mendongkrak citra korporasi.
Kedua, Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance). CSR diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum dan aturan yang memaksanya. Misalnya karena ada kendali dalam aspek pasar (market driven).
Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi tren seiring dengan maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial. Seperti saat ini bank-bank di eropa mengatur regulasi dalam masalah pinjaman yang hanya diberikan kepada perusahaan yang mengimplementasikan CSR dengan baik. selain itu beberapa bursa sudah menerapkan indeks yang memasukan kategori saham-saham perusahaan yang telah mengimplemantasikan CSR, seperti New York Stock Exchange saat ini memiliki Dow Jones Sustainability Indeks (DJSI) bagi perusahaan-perusahaan yang dikategorikan memiliki nilai CSR. Bagi perusahaan eksportir CPO saat ini diwajibkan memiliki sertifikat Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO) yang mensyaratkan adanya program pengembangan masyarakat dan pelestarian alam.
Selain market driven, driven lain yang yang sanggup memaksa perusahaan untuk mempraktkan CSR adalah adanya penghargaan-penghargaan (reward) yang diberikan oleh segenap institusi atau lembaga. Misalnya CSR Award baik yang regional maupun global, Padma (Pandu Daya Masyarakat) yang digelar oleh Depsos, dan Proper (Program Perangkat Kinerja Perusahaan) yang dihelat oleh Kementrian Lingkungan Hidup.
Ketiga, Bukan sekedar kewajiban (compliance), tapi lebih dari sekdar kewajiban (beyond compliance) atau (compliance plus). Diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Perusahaan telah menyadari bahwa tanggungjawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggungjawab sosial dan lingkungan. Dasar pemikirannya, menggantungkan semata-mata pada kesehatan finansial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan.
Perusahaan meyakini bahwa program CSR merupakan investasi demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) usaha. Artinya, CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost centre) melainkan sentra laba (profit center) di masa yang akan datang. Logikanya adalah bila CSR diabaikan, kemudian terjadi insiden, maka biaya untuk mengcover resikonya jauh lebih besar ketimbang nilai yang hendak dihemat dari alokasi anggaran CSR itu sendiri. Belum lagi resiko non-finansial yang berpengaruh buruk pada citra korporasi dan kepercayaan masyarakat pada perusahaan.
Dengan demikian, CSR bukan lagi sekedar aktifitas tempelan yang kalau terpaksa bisa dikorbankan demi mencapai efisiensi, namun CSR merupakan nyawa korporasi. CSR telah masuk kedalam jantung strategi korporasi. CSR disikapi secara strategis dengan melakukan inisiatif CSR dengan strategi korporsi. Caranya, inisatif CSR dikonsep untuk memperbaiki konteks kompetitif korporasi yang berupa kualitas bisnis tempat korporasi beroperasi.
II.3 Penerapan CSR
Terdapat tahapan-tahapan yang harus dilakukan ketika perusahaan akan melakukan program CSR, menurut Wibisono (2008), setidaknya terdapat empat tahap, diantaranya:
1. Tahap perencanaan
Perencanaan terdapat tiga langkah utama, yaitu awareness building, CSR Assessment, dan CSR manual building. Awareness building merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran mengenai pentingnya CSR dan komitmen manajemen, Upaya ini dapat dilakukan antara lain melalui seminar, lokakarya, diskusi kelompok, dan lain-lain.
CSR Assessment merupakan upaya untuk memetakan kondisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif.
Langkash selanjutnya adalah membuat CSR manual. Hasil assessment merupakan dasar menyusun manual atau pedoman implementasi CSR. Upaya yang mesti dilakukan antara lain melalui benchmarking, menggali dari referensi atau menggunakan tenaga ahli.
Manual merupakan inti dari perencanaan, karena menjadi panduan atau petunjuk pelaksanaan CSR bagi komponen perusahaan. Penyusunan manual CSR dibuat sebagai acuan, panduan dan pedoman dalam pengelolaan kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu, efektif dan efesien.
2. Tahap Implementasi
Perencanaan sebaik apapun tidak akan berarti dan tidak akan berdampak apapun bila tidak diimplementasikan dengan baik. Akibatnya tujuan CSR secara keseluruhan tidak akan tercapai, dan masyarakat tidak akan merasakan manfaat yang optimal. Padahal anggaran yang telah dikucurkan tidak bisa dibilang kecil. Oleh karena itu perlu disusun strategi untuk menjalankan rencana yang telah dirancang.
Dalam memulai implementasi, pada dasarnya terdapat tiga aspek yang harus disiapkan, yaitu; siapa yang akan menjalankan, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana cara mealakukan impelementasi beserta alat apa yang diperlukan. Dalam istlah manajemen populer, aspek tersebut diterjemahkan kedalam:
- Pengorganisasi, atau sumber daya yang diperlukan
- Penyusunan (staffing) untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis tugas atau pekerjaan yang harus dilakukannya.
- Pengarahan (directing) yang terkait dengan bagaimana cara melakukan tindakan
- Pengawasan atau kontrol terhadap pelaksanaan
- Pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana
- Penilaian (evaluating) untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan
Tahap impelementasi ini terdidri dari tiga langkah utama, yaitu sosialisasi, pelaksanaan dan internalisasi. Sosialisasi diperlukan untuk memperkenalkan kepada komponen perusahaan mengenai berbagai aspek yang terkait degan implementasi CSR khsusnya mengenai pedoman penerapan CSR. Agar efektif, upaya ini perlu dilakukan dengan suatu tim atau divisi khusus yang dibentuk untuk mengelola program CSR, langsung berada dibawah pengawasan salah satu direktur atau CEO. Tujuan utama sosialisasi adalah agar program CSR yang akan diimplementasikan mendapat dukungan penuh dari seluruh komponen perusahaan, sehingga dalam perjalanannya tidak ada kendala serius yang dapat dialami oleh unit penyelenggara.
Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan pada dasarnya harus sejalan dengan pedoman CSR yang ada, berdasarkan roadmap yang telah disusun. Sedangkan internalisasi adalah tahap jangka panjang. Internalisasi mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan CSR di dalam seluruh aspek bisnis perusahaan, misalnya melalui sistem manajemen kinerja, prosedur pengadaan, proses produksi, pemasaran dan proses bisnis lainnya. Dengan upaya ini dapat dinyatakan bahwa penerapan CSR bukan sekedar kosmetik namun telah menjadi strategi perusahaan, bukan lagi sebagai upaya untuk compliance tetapi sudah beyond compliance.
3. Tahap Evaluasi
Setelah program diimplementasikan langkah berikutnya adalah evaluasi program. Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauhmana efektifitas penerapan CSR. Terkadang ada kesan, evaluasi baru dilakukan jika ada program yang gagal. Sedangkan jika program tersebut berhasil, justru tidak dilakukan evaluasi. Padahal evaluasi harus tetap dilakukan, baik saat kegiatan tersebut berhasil atau gagal. Bahkan kegagalan atau keberhasilan baru bisa diketahui setelah program tersebut dievaluasi.
Evaluasi juga bukan tindakan untuk mencari-cari kesalahan. Evaluasi dilakukan sebagai sarana untuk pengambilan keputusan. Misalnya keputusan untuk menghentikan, melanjutkan, memperbaiki atau mengembangkan aspek-aspek tertentu dari program yang telah diimplementasikan.
4. Pelaporan
Pelaporan dilakukan dalam rangka membangun sistem informasi baik untuk keperluan proses pengembalian keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Jadi selain berfungsi untuk keperluan shareholder juga untuk stakeholder yang memerlukan.
II.4 Kebijakan Pemerintah
Terdapat tiga peraturan yang mewajibkan perusahaan pengelola sumber daya alam untuk menjalankan program tanggungjawab sosial perusahaan atau CSR, diantarnya diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (PT) No.40 Tahun 2007. Dalam pasal 74 yang bunyinya adalah:
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan,
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran,
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selain Undang-undang PT, peraturan lain yang sifatnya umum namun terkait dengan kewajiban pelaksanaan Tanggungjawab Sosial Perusahaan adalah UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa: "Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan."
Khusus bagi perusahaan yang operasionalnya mengelola Sumber Daya Alam (SDA), terikat dalam Undang-undang No 22 Tahun 2001, tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 13 ayat 3 (p), yang isinya:
” Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit
ketentuan-ketentuan pokok yaitu :
(p). pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat.”
III. Permasalahan
Gambaran mengenai konsep ideal CSR diatas beserta aturan-aturan yang melingkupinya, tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dalam tataran realisasi, kontroversi terpusat pada masyarakat lokal yang berada di sekitar operasional perusahaan, khususnya perusahaan ekstraktif atau pengelola Sumber Daya Alam (SDA). Perusahaan-perusahaan ekstraktif yang beroperasi di Indonesia diwajibkan untuk melakukan program CSR bagi masyarakat lokal, sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang minyak dan gas bumi mengatur realisasi pengembangan masyarakat sekitar dan jaminan hak-hak masyarakat adat (UU No. 22 tahun 2001).
Namun demikian masalahnya adalah selain implementasinya belum sepenuhnya memenuhi aturan-aturan tersebut, program-program pengembangan masyarakat atau community development (CD), belum menyentuh permasalahan mendasar yang dihadapi masyarakat. Secara umum program tersebut belum memberdayakan masyarakat sehingga mereka siap menghadapi masa pasca penambangan. Ini artinya bahwa perusahaan belum mampu merealisasi program community development dengan baik karena muara dari program community development merupakan pemberdayaan masyarakat (Ife: 2006)
Proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan memberi peluang kerja bagi masyarakat lokal. Terlepas dari jumlahnya, sebagian dari masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan mendapatkan kesempatan bekerja pada perusahaan tersebut. Selain itu, proses produksi merangsang munculnya kegiatan-kagiatan ekonomi di wilayah operasinya. Kondisi seperti ini memungkinkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Namun demikian kondisi ini bisa berubah sebaliknya ketika proses ekstraksi berhenti karena sumber daya alamnya tidak bisa dieksplotasi lagi. Maka masyarakat yang sebelumnya mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan, tidak memiliki kesempatan itu lagi. Hal ini akan menjadi lebih buruk apabila pada waktu perusahaan-perusahaan sudah habis masa kontraknya dan harus meninggalkan daerah operasinya, masih menyisakan masalah kerusakan fisik lingkungan dan pencemaran yang diakibatkan proses produksi yang dilakukannya. Hal ini sangat merugikan masyarakat lokal karena kerusakan lingkungan bisa menimbulkan erosi, banjir, dan tanah longsor. Sementara pencemaran bisa mengganggu kesehatan dan kegiatan ekonomi.
Sebagai contoh kasus sebagaimana dikemukakan Mulyadi (2003), di Provinsi Riau, masyarakat Duri yang hidup di daerah dekat wilayah operasi PT. Caltex Pacific Indonesia (CPI) mengalami kerugian dalam aspek kesehatan dan ekonomis. Ekspansi daerah operasi perusahaan ini membuat jarak daerah pengeboran minyak dengan pemukiman penduduk hanya sekitar 200 meter. Dalam kondisi seperti ini pengeboran minyak menyebabkan sumur-sumur penduduk menjadi kering. Akibatnya konsumsi air bersih menjadi masalah serius. Air bersih menjadi barang yang langka. Untuk memperolehnya masyarakat harus membelinya. Selain sumur menjadi kering, hal yang sama juga terjadi pada kolam ikan yang dikelola penduduk. Usaha rumah tangga ini menjadi tidak bisa dilanjutkan oleh masyarakat. Pada wilayah lain, masyarakat Marangkayu yang tinggal di daerah sekitar lokasi pengolahan PT. Unocal mengeluh karena terjadi pencemaran minyak di sawah dan tambak mereka. Mereka mengklaim bahwa hasil pertanian dan tambak mengalami penurunan karena pencemaran tersebut. Kondisi ini menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan.
Dalam proses penyelesaianya, masyarakat Duri mencoba mengajukan tuntutan untuk mendapatkan kompensasi terhadap kerugian-kerugian yang dideritanya. Penyelesaian dari tuntutan ini tidak sedehana. Setelah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau tidak mampu menyelesaikan masalah ini, isu tersebut dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat dan. Sementara itu kasus Marangkayu bisa diselesaikan di DPRD Kutai Timur.
Konflik tersebut tidak hanya terjadi karena masalah lingkungan hidup saja namun juga karena masalah kepemilikan tanah. Konflik mengenai masalah ini merupakan masalah umum yang terjadi pada perusahaan-perusahaan ektaktif. Sejak tahun 1980an sudah terjadi pertikaian secara sporadis yang disebabkan oleh masalah tanah. Persengketaan tersebut terjadi antara masyarakat adat suku Dayak Benuaq dan Tonyoi yang tinggal di daerah Kalimantan Timur dengan PT Kelian Equatorial Mining (KEM); suku Dayak Siang, Murung, dan Bekumpai di propinsi Kalimantan Tengah dengan PT Indomuro Kencana (Aurora Gold); masyarakat tradisional Amungme di Papua Barat dengan PT Freeport Indonesia; dan masyarakat adat di daerah Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur dengan PT Kideco (Mulyadi: 2003)
Elaborasi di atas menunjukkan bahwa kegiatan CSR yang dilakukan perusahaan belum mampu menyelesaikan permasalahan utama kemiskinan dan lingkungan yang dihadapi masyarakat lokal. Padahal esensi program pengembangan masyarakat mestinya mampu menyelesaikan kedua masalah tersebut dan pada saat yang sama juga menyiapkan masyarakat lokal supaya mandiri pasca ektraksi. Kesulitan-kesulitan secara sosial-ekonomis pasca ekstraksi tidak hanya dihadapi pada tataran keluarga, tetapi juga pada tingkatan pemerintah daerah. Selain tutupnya perusahaan akan mengurangi kontribusi dalam menyelesaikan masalah tenaga kerja, pemerintah daerah juga akan kehilangan sumber pendapatan asli daerahnya (PAD). Kasus yang terjadi di Belitung menunjukkan hal tersebut. Ketika timah sudah tidak bisa ditambang lagi, daerah tersebut menghadapi masalah lingkungan karena cekungan-cekungan bekas penambangan yang tidak direklamasi. Pada sisi yang lain PAD yang diterima pemerintah daerah mengalami penurunan. Ditambah lagi munculnya gejolak-gejolak sosial-ekonomi dari masyarakat yang sebelumnya bekerja di perusahaan yang mengelola penambangan timah.
Pada titik tertentu, kondisi seperti ini menimbulkan penolakan-penolakan baik yang terjadi pada masyarakat maupun pemerintah daerah terhadap keberadaan perusahaan dan terhadap kegiatan-kegiatan CSR. Penolakan-penolakan tersebut terepresentasi dari sinisme, keengganan untuk terlibat kegiatan-kegiatan CSR, atau memprotesnya. Sikap menolak seperti itu merupakan faktor penghambat terciptanya program yang keberlanjutan.
III.1 Stakeholders dalam Program CSR: Peranan dan Kepentingannya
Apabila diurai dengan lebih rinci, sebenarnya peta permasalahan yang terjadi tidak sesederhana seperti yang dijelaskan di atas. Jalinan simpul-simpul yang menjalin konflik relatif rumit. Hal ini karena stakeholders yang terlibat dalam pelayanan-pelayanan sosial yang dilakukan oleh perusahaan cukup kompleks. Stakeholder dalam pelayanan sosial adalah negara, sektor prifat, Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM), dan masyarakat, dalam kasus program CSR keseluruhan entitas tersebut terlibat secara bersama-sama. Sementara mereka memiliki kepentingan berbeda-beda yang satu sama lain bisa saling berseberangan dan sangat mungkin merugikan pihak yang lain.
Keterlibatan perusahaan dalam program CSR dilatarbelakangi dengan beberapa kepentingan. Stidaknya bisa diidentifikasi tiga motif keterlibatan perusahaan yaitu motif menjaga keamanan fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral untuk memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal.
Sebagian besar perusahaan ektraktif berada di daerah pedalaman. Sementara fasilitas produksinya terbentang dalam area yang sangat luas. Secara fisik, kontrol terhadap infrastruktur tersebut tidak mudah. Perusahaan minyak atau gas terletak di daerah terpencil dengan jaringan pipa yang panjang dan kompleks misalnya, sangat rentan dengan kemungkinan-kemungkinan dirusak atau disabotase oleh pihak yang merasa dirugikan oleh keberadaan perusahaan tersebut. Sementara itu banyak kasus menunjukkan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut sarat konfik dengan masyarakat lokal. Baik konflik fisik maupun konflik laten merupakan faktor potensial untuk terjadinya kerusakan-kerusakan fasilitas produksi.
Konflik yang muncul ke permukaan sampai dalam wujud demonstrasi merupakan situasi yang sangat dipertimbangkan oleh perusahaan. PT. Unocal misalnya, yang sudah beroperasi dari tahun 1970an di daerah Marangkayu, Kutai Timur baru menjalankan kegiatan CSR pada tahun 2002 setelah masyarakat Marangkayu melakukan protes dengan mengadakan demonstrasi masal. Demonstrasi itu berjalan di sekitar lokasi pengolahan minyak. Kegiatan ini pada akhirnya sulit dikendalikan dan terjadi konflik fisik yang menyebabkan terjadinya penembakan dengan peluru karet pada salah seorang demonstran oleh aparat keamanan. Akibat dari demonstrasi tersebut dilakukan negosisasi yamg memaksa PT. Unocal untuk melakukan kegiatan-kegiatan filantropis dalam program CSR (Mulyadi: 2003).
Beberapa perusahaan juga merealisasi kegiatan CSR dalam waktu yang tidak jauh berbeda dari waktu ketika PT. Unocal melakukan program CSR yang pertama kali. Sulit mengidentifikasi kapan perusahaan ekstraktif mulai melakukan kegiatan CSR. Namun demikian, sebagian besar persahaan merealisasi program CSR secara intensif setelah dilakukannya otonomi daerah. Dalam era desentralisasi kekuatan masyarakat lokal menjadi lebih besar. Kebebasan mereka untuk menyalurkan aspirasinya manjadi lebih kuat. Ruang mereka untuk menyuarakan tuntutan mereka pada masalah pencemaran, masalah tenaga kerja, dan masalah tanah pada perusahaan menjadi lebih luas. Kecenderungan ini sangat mungkin menyulut konflik.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah perusahaan tidak akan melakukan program CSR apabila masyarakat tidak memprotes masalah pencemaran dan kesenjangan sosial, kemudian menuntut direalisasinya program tersebut. Kemungkinan besar program tersebut akan dilakukan walaupun belum pasti waktu realisasinya karena terkait dengan kondisi perusahaan yang biasanya baru akan melakukan program tanggungjawab sosial jika sudah mendapatkan laba. Hal ini karena secara hukum setiap perusahaan ekstraktif diwajibkan untuk merealisasi program community development, dinyatakan bahwa dalam setiap kontrak kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan pelaksana kegiatan penambangan, perusahaan tersebut diharuskan melakukan program community development. dan Undang-Undang No 40 tahun 2007 bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Untuk menunjukkan bahwa perusahaan sudah melakukan kegiatan-kegiatan CSR perusahaan biasanya mempublikasikan aktivitas tersebut pada publik dengan mempropagandakannya lewat media massa. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa terlihat seolah-olah sebegitu besar biaya yang digunakan untuk merealisasi program CSR. Sedangkan masyarakat lokal merasa bahwa realisasi program tidak menggunakan biaya sebesar seperti yang tertulis pada propaganda. Secara normatif, idealnya tanpa adanya protes dan kewajiban kontrak, perusahaan seharusnya berusaha memberdayakan masyarakat lokal dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Ide mengenai konsep CSR juga dilandasi pemikiran yang demikian (UN Global Compact: 20). Secara filantropi perusahaan seharusnya meredistribusi keuntungannya setelah mereka memanfaatkan resources di lokasi di mana masyarakat berada. Apalagi sebagian besar masyarakat lokal berada dalam keadaan miskin. Hal tersebut sebetulnya merupakan kewajiban moral. Namun motif yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih sebatas wacana dan belum terlihat nyata.
Sementara itu pemerintah daerah mengharapkan agar program-program CSR bisa membantu menyelesaikan permasalahan sosial, seperti masalah pengangguran, kemiskinan, masalah pendidikan, kesehatan, perumahan. Selain itu menyelesaikan masalah lingkungan sebagaimana dihadapi pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan swasta dituntut untuk membantu pemerintah daerah untuk mendukung program pembangunan regional yang diimplementasinya.
Pada sisi yang lain Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), terutama LSM lokal melakukan dua peranan. Peranan yang pertama adalah mengontrol akibat-akibat buruk yang ditimbulkan dari proses produksi yang dilakukan perusahaan dan realisasi program CSR. Sedangkan peranan yang kedua adalah menjadi partner perusahaan untuk menjalankan program-program CSR. Di Kalimantan Timur misalnya, terdapat dua aliansi LSM yaitu Aliansi Lingkar dan Alians Pemantau Pembangunan. Kedua aliansi LSM itu mewakili dua peranan tersebut. Aliansi Lingkar lebih memerankan fungsi yang pertama sedangkan Aliansi Pemantau Pembangunan melakukan peranan yang kedua (Mulyadi: 2003).
Akibat pencemaran dan masalah sengketa tanah menimbulkan konflik yang cukup variatif. Sampai seberapa jauh pencemaran lingkungan menimbulkan masalah dan bagaimana respon yang dilakukan perusahaan terhadap masalah tersebut merupakan salah satu fokus kontrol LSM. Respon perusahaan terhadap keluhan-keluhan masyarakat lokal sering menimbulkan masalah baru karena kadang tidak proporsional. Dalam hal realisasi CSR, LSM mencermati masalah pendekatan yang digunakan. Bagaimana masyarakat dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dianggap isu penting oleh LSM.
Selain itu perhatian LSM juga dicurahkan pada akibat yang ditimbulkan program CSR dalam membantu masyarakat meningkatkan kesejahteraanya. Hal ini terkait dengan kepentingan masyarakat terlibat dalam program CSR. Sebagian besar masyarakat yang hidup di sekitar perusahaan adalah masyarakat miskin yang masih memerlukan pelayanan-pelayanan penguatan kapasitas untuk meningkatkan pendapatan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan pendidikan. Mereka merasa berhak mendapatkan pelayanan-pelayanan itu karena perusahaan sudah mandapatkan banyak keuntungan secara ekonomis sehingga sudah sewajarnya kalau perusahaan meredistribusikan sebagaian kepada mereka. Selain itu, masyarakat merupakan bagian yang rentan terhadap akibatakibat pencemaran yang mungkin muncul sehingga wajar kalau mereka mendapatkan kompensasi tersebut.
Bertemunya kepentingan-kepentingan itu menimbulkan masalah yang cukup serius. Motif perusahaan merealisasi program turut menentukan model realisasi program. Realisasi program yang tidak didasarkan pada semangat untuk melayani masyarakat lokal mengakibatkan perusahaan tidak melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah. Realisasi program cenderung dilakukan secara tertutup dan didesain oleh perusahaan. Sementara itu pemerintah daerah mengharapkan program CSR bisa diintegralisasi dengan program-programnya dalam kerangka pembangunan regional. Dipihak lain masyarakat juga mengharapkan bahwa program tersebut mampu memberdayakan mereka
IV. Analisis
IV.1 Pendekatan Program
Rumitnya hubungan kepentingan di antara stakeholders dan motif perusahaan merealisasi program CSR sebagaiman deskripsi diatas, tidak terlepas dari substansi program serta pendekatan yang diadopsi perusahaan dalam merealisasi program. Beberapa program berusaha meningkatkan kapasitas masyarakat lokal namun secara umum realisasi program lebih berorientasi pada kegiatan-kegiatan derma berupa pendirian infrastruktur fisik dalam bentuk pembagunan fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana air bersih, olah raga, dan tempat peribadatan. Pada konteks ini, kadang yang sulit dipilahkan adalah bahwa pembangunan fasilitas tersebut kadang bukan ditujukan untuk masyarakat lokal namun untuk perusahaan itu sendiri. Pendirian fasilitas transportasi berupa jalan misalnya, pada tingkat tertentu sebenarnya ditujukan untuk mempercepat jalannya proses produksi. Dengan demikian kalaupun bermanfaat bagi masyarakat lokal, hal tersebut merupakan externality yang menguntungkan masyarakat lokal. Secara umum gambaran mengenai program yang seperti dipaparkan oleh tabel di bawah ini.
Tabel 1. Gambaran Umum Program CSR
Sifat | Tipe | Bidang | Karakteristik |
Pilantropis (derma) | Pembangunan infrastruktur fisik, pemberian bantuan alat, dan pemberian bantuan keuangan | Pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana air bersih, olahraga, peningkatan pendapatan, dan tempat peribadatan | - Secara umum program tidak ditujukan untuk mempersiapkan masyarakat pasca ekstraksi. - Koordinasi antara perusahaan dengan pemerintah daerah kurang dilakukan dengan baik. - Implemntasi program bersifat tertutup |
Peningkatan kapasitas | Pendampingan dan training | pertanian dan industri rumah tangga | - Secara umum program dirancang oleh perusahaan. - Secara umum program kurang melibatkan masyarakat secara partisipatoris. - Desain kurang tersusun secara holistik dansistematis |
Tabel di atas mengindikasikan bahwa penekanan substansi program lebih pada usaha menyelesaikan masalah-masalah sosial-ekonomi. Pilihan-pilihan tersebut cukup kontekstual baik pada tingkatan teoritis maupun pada tingkatan fakta yang dihadapi masyarakat. Secara teoritis, salah satu tahap paling mendasar dari pengembangan masyarakat adalah penyelesaian masalah tersebut dengan cara peningkatan pendapatan keluarga. Secara faktual kondisi masyarakat yang hidup di sekitar perusahaan menunjukkan bahwa mereka masih relatif miskin dan sarat dengan masalah-masalah tingkat pendidikan yang rendah, keterbatasan layanan kesehatan, dan menghadapi masalah pengangguran. Namun demikian jika diperhatikan secara lebih detail, program-program tersebut belum mencakup aspek lain yang juga penting, yaitu program penyelesaian masalah lingkungan yang melibatkan peran serta masyarakat. Padahal perusahaan merupakan entitas yang harus bertanggung jawab pada kerusakan lingkungan (Leimona, Fauzi : 2008). Perusahaan perlu memprioritaskan kegiatan-kegiatan untuk melakukan reklamasi dan penyelaesaian masalah pencemaran lingkungan.
Terdapat kesan bahwa perusahaan sangat berhati-hati dalam merespon masalah lingkungan sehingga mereka cenderung tidak melibatkan masyarakat dalam program-program penanganan masalah lingkungan. Padahal isu ini merupakan isu yang cukup serius. Galian-galian bekas penambangan bisa meninggalkan cekungan besar. Apabila tidak dilakukan reklamasi maka akan mengganggu ekosistem. Sementara pencemaran udara, air, dan tanah menimbulkan resiko besar kesehatan masyarakat dalam jangka panjang. Namun perusahaan terlihat kurang memperhatikan aspek ini.
Konflik mengenai masalah lingkungan sebenarnya merupakan produk yang terlihat nyata tentang masalah lingkungan yang terjadi. Kalau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya terdapat simpul-simpul lain yang merajut munculnya konflik tersebut yaitu tertutupnya perusahaan terhadap isu lingkungan dan keterbatasan pengetahuan masyarakat mengenai masalah lingkungan. Dalam hal ini terlihat adanya informasi yang tidak simetris, di mana perusahaan menguasai pengetahuan yang cukup mengenai masalah lingkungan yang ditimbulkan dan respon kebijakan yang dilakukan tetapi masyarakat tidak punya akses yang untuk mengetahuinya. Beberapa kasus menunjukkan pernah terjadi masyarakat melakukan protes karena mengira telah terjadi pencemaran lingkungan namun sebenarnya yang terjadi bukan merupakan masalah pencemaran (Leimona, Fauzi : 2008). Dengan demikian masalahnya adalah keengganan perusahaan untuk melibatkan masyarakat dalam program-program penanggulangan masalah lingkungan. Adalah suatu keharusan perusahaan untuk membuat infrastruktur guna mengurangi efek buruk polutan dan melakukan analisa dampak lingkungan. Namun kegiatan ini bersifat elitis dilakukan oleh perusahaan dan melaporkannya pada lembaga pemerintah yang terkait dengan kebijakan lingkungan. Sifat ekslusif penanganan masalah lingkungan ini mengakitakan resistensi-resistensi masyarakat dalam isu tersebut. Akibatnya adalah ketika terjadi masalah lingkungan maka respon masyarakat cukup keras terhadap masalah tersebut.
Rendahnya keterlibatan masyarakat tidak hanya terjadi pada kegiatan-kegiatan penanganan masalah lingkungan hidup saja tetapi juga terjadi pada realisasi program CSR secara keseluruhan. Program didesain oleh perusahaan dan kurang melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah. Pada tahap realisasinya, program melibatkan kedua entitas tersebut dengan intensitas yang berbeda. Sedangkan pada tahapan evaluasi dan pelaporan terlihat bahwa tahapan itu tidak melibatkan mereka. Akibat yang terjadi adalah bahwa koordinasi dalam merealisasi program antara perusahaan dan pemerintah daerah baik pemerintah daerah propinsi maupun kabupaten berjalan tidak baik. Idealnya program CSR dipraktekan secara integral dengan program pembangunan regional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Namun kenyataan yang terjadi adalah program CSR overlap dengan program pembangunan regional atau berjalan secara terpisah tanpa ada kerangka kerja yang jelas. Secara ekonomis ini menimbulkan ketidakefisienan. Pada sisi yang lain, secara sosial-politis hal ini akan menimbulkan kebingungan-kebingungan dalam masyarakat dan mengakibatkan hubungan pemerintah daerah dengan perusahaan menjadi kurang baik (Mulyadi: 2003)
Hal yang sama juga terjadi pada tingkatan masyarakat. Posisi tawar masyarakat relatif rendah. Sebagian besar program direalisasi tanpa dilakukan need assessment yang melibatkan masyarakat. Selain mengakibatkan ketidaksesuaian antara program dengan kebutuhan masyarakat, hal ini juga menimbulkan partisipasi masyarakat pada program CSR rendah. Padahal, partisipasi merupakan esensi mendasar dalam realisasi programprogram community development (Ife; 2006). Beberapa kasus menunjukkan pelibatan masyarakat pada realisasi program tidak terjadi secara suka rela. Masyarakat ber-”partisipasi” karena perusahaan memberikan imbalan berupa uang. Petani menanami sawahnya bukan karena petani ingin menanami sawahnya tetapi karena petani ingin mendapatkan uang ketika selesai menanami sawahnya. Akibatnya adalah bahwa masyarakat tidak termotivasi untuk mengelola sawahnya sampai menghasilkan panen yang baik.
Apabila dikaji pada tingkatan yang lebih makro, program yang dilakukan terlihat tidak dirancang secara sistematis dalam jangka waktu yang panjang dengan kejelasan capaian yang jelas. Beberapa program terlihat diimplementasikan secara parsial, terpisah satu sama lain. Program CSR yang dilakukan CPI di Riau misalnya, dilaksanakan secara insidental, menunggu pengajuan masyarakat tanpa ada kerangka berpikir yang tersusun secara terencana. Pada kasus yang lain, suatu program terlihat didesain cukup sistematis seperti integrated farming system yang direalisasi oleh PT.Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) misalnya, dalam prakteknya terlihat belum terintegralisasi antara sub-program yang satu dengan yang lain. Dalam tahapan peningkatan hasil produksi pertanian program tersebut mampu melakukannya dengan baik. Namun keberhasilan ini tidak diikuti dengan penyiapan pasar untuk menjual hasil produksi sehingga yang terjadi adalah ketika terjadi produksi yang besar, pasar lokal tidak mampu menampung hasil pertanian tersebut. Sementara RAPP belum menyiapakan alternatif tempat penjualan. Akibatnya merugikan petani (Mulyadi: 2003).
Pendekatan seperti ini tentu saja tidak memberikan kontribusi secara signifikan bagi peningkatan ekonomi rumah tangga. Secara ekonomis masyarakat tidak mengalami peningkatan pendapatan yang berarti. Secara politis mereka tidak terberdayakan. Mereka masih terlihat sebagai penerima program pasif. Masyarakat tidak memiliki ruangan yang cukup untuk berpartisipasi dalam penentuan program dan mengelolany, karena masyarakat belum ditempatkan pada posisi sentral dalam realisasi program. Hal ini bukan mekanisme yang tepat untuk menyiapkan masyarakat pasca ekstraksi. Masa tersebut merupakan masa yang sulit bagi masyarakat karena resources yang selama ini menjadi bagian dalam kehidupannya setiap hari tidak bisa dikelola lagi. Masyarakat lokal yang sarat dengan keterbatasan perlu diberdayakan dan disiapkan untuk menghadapi masa-masa tersebut.
V. Kesimpulan
Deskripsi permasalahan di atas bisa mengancam keberlanjutan program CSR. Keberlanjutan merupakan elemen penting dalam realisasi program CSR, karena aspek keberlanjutan merupakan konsep yang mengerangkai program community development (Ife: 2006). Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, terdapat prasyarat-prasyarat, diantaranya good governance, masyarakat sipil yang sehat, lingkungan yang tidak rusak karena kegiatan-kegiatan ekonomi. Selain itu suasana damai dan adil juga merupakan faktor terciptanya keberlanjutan suatu program.
Kerangka kerja dan mekanisme pengelolaan program yang tidak berbasis pada kepentingan masyarakat menyebabkan program yang diciptakan juga tidak mewakili kebutuhan masyarakat. Program bersifat elitis dan ditujukan untuk kepentingan perusahaanan serta beberapa kelompok kepentingan. Hal ini menimbulkan kecemburuan dan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi. Lebih daripada itu, program CSR menimbulkan penolakan-penolakan terhadap program.
Permasalahan utama yang menyebabkan hal ini adalah bahwa program CSR tidak berbasis pada masyarakat. Motif perusahaan merealisasi program yang tidak dilandasi pada keinginan melayani masyarakat dan manajemen yang tidak transaparan mengakibatkan realisasi program bersifat eksklusif. Hal ini tidak merangsang munculnya partisipasi.
Daftar Pustaka
James, Ife (2006). Community Development: Community Based Alternatifes in on age globalization. Australia, Pearson.
Leimona, Beria& Fauzi, Aunul (2008). CSR dan Pelestarian Lingkungan Mengelola Dampak: Positif dan negatif. Jakarta, IBL
Mulyadi (2003): Pengelolan Program Corporate Social Responsibility: Pendekatan, Keberpihakan dan Keberlanjutannya. Center for Populaton Studies, UGM
Rudito, bambang&, Budimanta, Arif (2003). Metode dan Teknik Pengelolaan Community Development. Jakarta: ICSD
Rudito, Bambang& Budimanta, Arif & Prasetijo, Adi (2004). Corporate Social Responsibility: Jawaban Bagi Modal Pembangunan Indonesia Masa Kini. Jakarta, ICSD
Solihin, Ismail, (2009). Corporate Social Responsibility; From Charity to Sustainability. Jakarta: Salemba Empat
Suharto, Edi (2005). Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat. Bandung, Refika Aditama.
Wibisono, Yusuf (2007). Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik. Fascho Publishing.
Terima kasih untuk posting ini, berguna sekali
love love love :p
thank's i like this :)
mantap.......... mohon saran program csr untuk masyarakat di sekitar areal konsesi HTI di Kaltara
Saya membutuhkan gambaran Pak tentang Profil CSR HTI, profil masyarakat& ekspektasi yang ingin diwujudkan dari CSR perusahaan. Mungkin darisana bisa memberikan pandangan.
bagaimana tanggapannya tentang csr pt vale indonesia
Terimakasih telah diijinkan meng copi. dan saya melinkkan dgn tugas untuk contoh bagi mahasiswa saya. http://elina.narotama.ac.id/mod/forum/view.php?id=2154
Dipersilahkan, semoga bermanfaat
Pagi pak rahmat, sy hisyam teman kuliah anda dulu waktu di FISIP UNPAD. saat ini saya koordinator pengelolaan CSR pendidikan di 9 provinsi. mohon bantuan sarannya dr pak rahmat
Konsep CSR yang bagus adalah mengangkat potensi lokal, oleh sebab itu alangkah lebih baiknya di lakukan mapping potensi desa dan ada data base penduduk terupdate. tapi tergantung bidang yang mau di kembangkan ?
Strategi apa yg dipakai untuk merubah program CSR yg orientasinya donasi (charity) ke CD ?
Mas Mohamad Fauzi, yang harus dikuatkan sebelum melaksanakan bahkan menentukan kegiatan CSR adalah melakukan tahapan-tahapan dalam tulisan berikut: http://www.rahmatullah.net/2018/01/tahapan-pelaksanaan-csr.html. Hal yang paling vital adalah assessment, sehingga bisa diketahui apa yang sesungguhnya menjadi kebutuhan masyarakat, bukan keinginan.
Artikel ini memberikan wawasan yang sangat penting tentang tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan program corporate. Terutama mengenai bagaimana strategi yang tepat dapat membantu dalam mengatasi hambatan dan meningkatkan efektivitas program. Saya setuju bahwa perencanaan yang matang dan koordinasi antar tim merupakan kunci suksesnya program-program ini. Semoga lebih banyak perusahaan yang bisa belajar dari artikel ini dan mengimplementasikan solusi-solusi yang telah dibahas. Terima kasih atas informasinya!
Salam dari sewa proyektor terdekat