Pendekatan Fisik Penanggulangan Kemiskinan
Jika kita perhatikan tingkat keberhasilan program penanggulangan kemiskinan, terkait penyediaan infrastruktur, baik yang dilakukan pemerintah, swasta maupun lembaga donor, banyak ditemukan keterbengkalaian sarana yang merupakan indikator kegagalan program. Hal yang terlihat kasat mata adalah banyaknya sarana yang ‘mangkrak’ atau tidak berfungsi, baik di desa maupun perkotaan, yang hanya meninggalkan bangunan tanpa pemanfaatan. Jika kita amati, bangunan tersebut baik berupa pasar, Posyandu, Kantor Desa, penampungan air, irigasi, sekolah, koperasi dan sebagainya, usianya terbilang pendek, ada yang hanya dimanfaatkan tiga bulan, satu tahun dan maksimal lima tahun. Padahal dalam perencanaannya, pembangunan fasilitas sebagai akses penanggulangan kemiskinan, didesain untuk aktivitas berkelanjutan.
Terdapat berbagai keluhan masyarakat terkait kemiskinan dan keterbatasan infrastruktur. Mulai dari rendahnya penghasilan, kerusakan jalan, kesulitan air, kualitas kesehatan, gagal panen dan sebagainya. Sebagai contoh, ketika medio 2009 melakukan social mapping di Desa Sungai Baru, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, masyarakat mengeluhkan kesulitan air bersih, karena sumber air yang ada tidak layak konsumsi akibat intrusi air laut. Padahal disetiap depan rumah, terdapat torn air bertuliskan Community Water Services and Health Project (CWSHP), Asian Development Bank (ADB) yang sudah tidak berfungsi. Pada torn tertulis tahun program 2008, artinya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, program penyediaan air bersih sudah tidak berjalan.
Contoh lain, di Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pihak dinas kesehatan setempat mengungkapkan bahwa wilayahnya termasuk endemik disentri, karena kebiasaan masyarakat buang air besar di kebun dan kolam ikan. Yang menjadi ironi, ketika mengunjungi desa setempat, terdapat bangunan MCK umum bantuan pemda setempat yang berumur kurang dari setahun, tidak dimanfaatkan masyarakat, malah ditumbuhi rerumputan dan nyaris roboh.
Terkait program pengentasan kemiskinan dan pemberian dukungan Usaha Kecil Menengah (UKM), diseluruh desa Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan, didirikan Lembaga Keuangan Mikro berbentuk micro banking, dengan nama BMT Bersujud. Tujuannya menjadi lembaga simpan pinjam yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, namun yang terjadi, aktivitas BMT rata-rata hanya berjalan tiga bulan, yang tersisa hanyalah bangunannya saja, sama sekali tidak terdapat aktifitas simpan pinjam, dan dana yang digulirkan tidak pernah kembali.
Begitupula di Desa Mangkalapi, masih di Kabupaten Tanah Bumbu, dalam rangka penguatan ekonomi masyarakat lokal, yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai penambang emas ilegal, salah satu perusahaan tambang batubara melaksanakan program Corporate Social Responsibility (CSR), dengan memberikan bantuan bibit tanaman karet dan ternak sapi, namun setelah realisasi, bibit yang dibagikan sebagaian besar mati, karena masyarakat tidak menanamnya, dan sapi yang disumbangkan dijual.
Banyak lagi contoh kegagalan lain terkait upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan berbagai pihak pada akhirnya hanya menyisakan bangunan fisik semata, tanpa merubah kemiskinan secara substansi. Tidak jarang program pemerintah, swasta maupun donor, hanya berjalan saat peresmian dan setelahnya saja, tidak berkelanjutan. Kegagalan dalam upaya penanggulangan kemiskinan pada dasarnya disebabkan paradigma keliru, yang mengedepankan pendekatan fisik, bukan pembangunan yang berpusat pada manusia.
Pembangunan yang Berpusat Pada Manusia
Terdapat perbedaan antara program penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan pembangunan sarana atau fasilitas fisik, dengan pendekatan penanggulangan kemiskinan berpusat pada manusia. Pendekatan pembanguan sosial lebih memfokuskan pada populasi sebagai suatu kesatuan yang bersifat inklusif dan universalistik. Pendekatan ini tidak hanya memfokuskan pada orang-orang yang membutuhkan (needy individuals), akan tetapi lebih memfokuskan pada mereka (komunitas) yang ditelantarkan oleh pembangunan ekonomi yang terjadi selama ini, seperti kelompok miskin yang ada di perkotaan dan pedesaan, serta kelompok minoritas. (Adi, 2008).
Pendekatan pembangunan sosial merupakan koreksi terhadap kecendrungan pembanguan yang berfokus pada sektor ekonomi dan fisik semata. Hal itu tidak berarti bahwa proses pembangunan sosial akan meninggalkan proses pembangunan ekonomi dan pembangunan fisik. Justru upaya pembangunan sosial, baik langsung maupun tidak langsung harus tetap memperhatikan dan melibatkan aspek pembangunan fisik dan ekonomi. (Adi, 2008).
Sebagai contoh, untuk mengembangkan pola hidup sehat pada masyarakat, setidaknya harus tersedia sarana dan prasarana terkait aspek fisik, seperti penyediaan air bersih, saluran pembuangan, tempat sampah, fasilitas MCK, serta perangkat pembersih terkait personal hygiene (seperti sabun, odol, dan handuk). Selain itu, tidak hanya aspek fisik terkait MCK yang diperhatikan, hal yang tidak kalah penting adalah upaya memasyarakatkan pola hidup sehat. Tidak akan berarti adanya MCK tanpa disertai peningkatan pengetahunan masyarakat mengenai kesehatan, penggunaan MCK, penggunaan personal hygine, serta rasa memiliki masyarakat terhadap fasilitas MCK itu sendiri. Karena sering sekali kita jumpai, MCK yang berada pada daerah kumuh baik di perdesaan maupun perkotaan pada akhirnya terbengkalai tidak digunakan oleh masyarakat, karena tidak disertai proses penyadaran terhadap pentingnya penggunaan dan pemeliharaan fasilitas.
Intervensi yang dilakukan dalam kaitannya dengan pembangunan sosial sesuai contoh diatas, antara lain diarahakan pada munculnya perubahan dalam aspek pengetahuan (knowledge), keyakinan (belief), sikap (attitude), dan niat individu (intention). Urutan perubahan dari aspek pengetahuan hingga niat individu merupakan proses penyadaran terhadap kelompok sasaran dalam kerangka pembangunan sosial, sehingga ketika seorang community worker ingin mengubah perilaku kelompok masyarakat terkait personal hygine (perawatan kesehatan diri), harus diterapkan bersamaan dengan pembangunan fisik. Jika hal tersebut dilakukan, maka besar kemungkinan tujuan program penanggulangan kemiskinan akan berkelanjutan, dan sarana fisik terpelihara, karena di dalamnya tumbuh partisipasi dan kesadaran masyarakat. Dengan demikian tidak akan ada lagi fasilitas sebagai akses yang diharapkan berdampak langsung terhadap penanggulangan kemiskinan ,hanya sekedar menjadi ‘fosil’ yang nyaris tidak membawa kebermanfaatan apapun.
Kalau saya bisa menyimpulkan secara sederhana, utamanya dalam pembangunan Indonesia yang berdasarkan bantuan (baca utang),
sesungguhnya pembangunan di Indonesia tsb didisain berdasarkan kepentingan/keperluan pihak pemodal yang hanya memikirkan bagaimana mendapat keuntungan dari sistem pinjam dengan bunga.
Dan pembangunan itu tdk didasarkan pada kebutuhan mendasar bangsa Indonesia sendiri.
Sejatinya World Bank dan ADB adalah lembaga bisnis semata yang mencari keuntungan dari berputarnya uang mereka, begitu bukan?
Jadi 2 jargon yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia dalam hubungannya dengan pembangunan dan kepemimpinan adalah:
1. Tidak ada Pembangunan Indonesia, yang ada hanya Pembangunan DI indonesia ....
2. Kita tidak punya leader yang ada hanya DEALER ....
Mengapa VOC dan Belanda bisa menjajah Indonesia hingga 3,5 abad? Sesungguhnya lembaga Swasta VOC itu tdk menjajah bangsa Indonesia, mereka hanya melakukan Praktik Monpoloi dagang dan Menguasai Perdagangan dengan para Raja-Raja.
Yang sesungguhnya menjajah rakyat kecil,
ya para penguasa dan Raja2x tsb yang telah mendapat keuntungan dan kemewahan yang banyak dari Rekan Bisnisnya tsb (yang berasal dari Menjarah Rakyat dan hasil bumi).
Bukankah keadaan tsb relatif sama dengan yang dilakukan oleh PEMERINTAH indonesia kini?
Dan mengapa istilah GOVERNMENT diterjemahkan menjadi PEMERINTAH dalam bahasa Indonesia?
Serta mengapa hal tsb terus dipertahankan hingga kini, apakah istilah PEMERINTAH memang tepat?
Ini karena PEMERINTAH punya alasan, filosofi, sejarah dan makna yang dalam agar mereka bisa menguasai para rakyatnya yang menyandang predikat WAJIB PAJAK.
Cukup sampai disin sahaja dulu,
nanti kita sambung diskusi ini.
Sepakat sekali mas...
saya selalu teringat perkataan Syafii Maarif kalau bangsa kita adalah bangsa yang tergadai. Atau ungkapan Romo Mudji bahwa negara kita kehilangan dasar filosofis. Yang ada adalah bangsa kastatrof. Kita tidak pernah bercermin dari sejarah kegagalan dan sejarah keberhasilan.
Satu yang saya kritik dalam tulisan ini, adalah pendekatan yang dari zaman orde lama sampai sekarang dalam peanggulangan kemiskinan selalu pendekatan fisik, bukan pada manusianya. Ujung-ujungnya tidak ada rasa memiliki, tidak tumbuh partisipasi, yang ada malah buang-buang APBN yang sumbernya dari pajak.Gak ada yang berkelanjutan.
Tapi semoga ada waktu, akses dan kuasa yang bisa merubah. Yang terpenting kita gak fatalis aja.
Trimakasih mas atas advisenya.
Tulisan yang sangat menggugah hati sekaligus menyentil pikiran siapapun yang peduli tentang kondisi masyarakat Indonesia. Saya sebetulnya awam tentang masalah yang mas Rahmat uraikan, tapi saya bisa ambil beberapa point penting yakni:
1. akar masalah yang sangat mendasar adalah kemiskinan..baik miskin secara fisik maupun miskin mental.. pada rakyat miskin fisik erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-harinya..Maslow dalam teori hirarkinya pun menjelaskan bahwa selama individu masih berkutat dalam pemenuhan kebutuhan mendasarnya, jangan harap mereka akan peduli tentang hal-hal lainnya diluar kebutuhan mendasar mereka (sandang, pangan, papan)
2. Bahwasanya kebijakan yang diambil pemerintah bukanlah sebuah healthy public policy... Sejatinya kebijakan yang diambil harus kebijakan yang diambil dalam pengentasan kemiskinan adalah kebijakan berwawasan kesehatan, tak hanya sehat fisik tapi sehat mental dan spiritual
Sebenarnya kalo diurai lagi, masih panjang..saya mohon maaf kalo komennya apa adanya dan mohon koreksinya bila ada kesalahan
Wassalam..
note: Mas Rahmat, saya izin jadi followernya ya :)
Terimakasih mas Todi atas komentarnya...saya justru bahagia punya ruang diskusi seperti ini. Betul sekali jika pemerintah tidak memiliki fokus dalam pengentasan kemiskinan masih berkutat pada fisik bukan bagaimana memulai dari manusianya.
Tulisan-tulisan ini merupakan kompilasi antara praktik dan akdemik, kebetulan tema kemiskinan asimetrik adalah buah dari perjalanan saya ke bebraa wilayah mulai dari pedalaman sukabumi, hingga kabar dan kalsel...dimana miris melihat kegagalan dalam penanggulangan kemiskinan.
Kemudian contoh keberhasilan penanggulangan kemiskinan itu terjadi di Argentina, uraiannya ada dalam blog ini juga judulnya belajar dari Kichner. Intinya selama pemerintah tidak fokus dan tidak punya desain sebagaimana american dream, atau kebangkitan Malaysia 2020 yang digagas Mahatir Mohammad..maka negeri kita gak akan beranjak.
Hehe saya senang Mas Todi jadi followers, Met bergabunng..saya tunggu kontribusi tulisannya:)