Diberdayakan oleh Blogger.

ADA YANG KELIRU DARI PROGRAM CSR


posted by rahmatullah on

No comments


Proses Meeting Villagers 
Untuk menyambung kerinduan dengan teman-teman kuliah dulu terkadang saya lakukan kontak walaupun sekedar via SMS. Hari minggu lalu tepatnya tanggal 26 september 2010, saya sapa teman yang sedang bekerja di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat yang mengelola program CSR pada salah satu perusahaan tambang. Kebetulan pertautan emosi saya dengan teman tersebut sangat erat karena sama-sama mendalami dunia pengembangan masyarakat dan kebetulan saya rekomendasaikan teman tersebut untuk bekerja di tempatnya saat ini.
Padamulanya lewat SMS saya sekedar menyapa “gimana kabarnya? Oia ada kamera DSLR murah, lumayan buat di lapangan”.  Tidak lama berselang muncul jawaban “kabar buruk!, sementara gw cukup kamera pocket aja”.  SMS yang awalnya merekomendasikan teman untuk melengkapi kamera DSLR teralihkan oleh jawaban “Kabar buruk!”. Bagi yang pernah bekerja di Kalimantan dan mengelola program CSR, memiliki pemaknaan tersendiri ketika mendengar “kabar buruk!”, berarti ada sebuah problem besar, bercermin dari pengalaman saya setahun lalu saat mengelola program CSR di perusahaan palm oil, saat harus diancam dibunuh preman kampung, saat menyaksikan dan mengevakuasi  asisten humas yang dipukul warga, saat alat berat disandera warga, dll.
Benar saja tidak lama berselang teman tersebut menyambung obrolan via telpon dan menceritakan berbagai problem dilapangan, kurang lebih satu jam teman tersebut menuturkan pergulatannya di lapangan. Terdapat beberapa bagian cerita yang mungkin akan lebih baik jika saya share-kan dalam tulisan ini.
Teman ini menuturkan bahwa sudah tiga hari perusahaan tidak beroperasi karena pintu akses ke lokasi eksplorasi di portal warga, jika satu portal berhasil di negosiasi untuk dibuka, maka akses jalan lain gantian di portal. Masyarakat menagih realiasi program CD yang dijanjikan manajer sebelumnya yang kebetulan sudah resignation, lalu dipolitisasi sehingga menjadi tuntutan pembagian kompensasi Rp 50 juta/warga untuk 300 kk, yang jika dikalkulasi mencapai angka 15 miliar. Teman tersebut menuturkan jika rapat dengan warga selalu diadampingi kapolsek demi keamanan, karena dihadiri ratusan warga, namun selalu berujung deadlock. Pihak Humas warga yang dibentuk perusahaan malah balik memprovokasi warga, bukan menjelaskan titik persoalan, Kepala Desa sudah kehilangan wibawa, oknum dalam masyarakat setiap akan rapat mengkonsumsi minuman keras terlebih dahulu, sehingga yang hadir dalam tapat adalah “atmosfir emosi”, bukan akal sehat. Dalam sebuah pertemuan teman tersebut sempat mendapat ancaman jika hati teman ini akan dimakan, keluar nada ‘kesukuan’ yang sifatnya sara. Yang pasti menurutnya pasca lebaran ini pikirannya selalu berhalusinasi dan susah tidur, sedangkan esok sudah menghadapi persoalan yang sama.
Saya sangat memahami kegalauan teman ini, karena  pernah menghadapi permasalahan serupa tapi tak sama, karena lain lokasi beda karakter masyarakat dan persoalan. Tapi masih bersyukur sambil menuturkan permaslahannya masih terdengar tawa renyah dari teman ini, karena mungkin problem besar sedikit tercurahkan lewat cerita, walaupun dengan bercerita belum tentu menuntaskan persoalan, sekedar membagi beban di bahu.
Dibalik cerita ada nomena yang harus kita pikirkan besama dalam konteks perubahan masyarakat, intervensi sosial, dalam bingkai program pengembangan masyarakat yang tercakup dalam program CSR. Saya memahami jika teman yang saya ceritakan terjebak pada beberapa persoalan: sudah ada masalah sebelumnya yang dibuat perusahaan, dampak dari perusahaan disekitar wilayah tersebut yang mempraktikan ‘CSR salah kaprah’, adanya oknum yang menjanjikan ini itu ke masyarakat mengatasnamakan perusahaan untuk sebuah kepentingan, provokasi yang dilakukan tipe LSM pragmatis, atau program pengembangan masyarakat yang dilakukan selama ini ‘dikerjakan’  oleh mereka yang tidak memahami dasar keilmuan sosial, dll.
Hal yang paling menghawatirkan dan tentunya menjadi api dalam sekam, menyimak contoh permasalahan diatas yaitu rusaknya sosial kapital pada masyarakat lokal. Sikap-sikap yang dicontohkan diatas merupakan pergeseran dari sikap arif masyarakat lokal, sebagai contoh : tidak ada nilai dalam masyarakat lokal tidak menghormati lurah atau kepala desa, mabuk sebelum memulai rapat, mengancam dan mengintimidasi, menuntut hal-hal yang irasional, merendahkan maratabat sesama manusia terlebih terkait sara, menghitung sesuatu dengan nilai uang, dan aneka contoh lain. Yang pasti sangat tidak layak jika menyalahkan masyarakat setempat, karena mereka berubah, pasti ada sebab, muncul karena kekecewaan yang mendalam, banyaknya janji palsu, karena sumber daya alamnya dihabiskan, atau secara mendasar habisnya tanah bagi mereka untuk bercocok tanam.
Proses Assessment
Teringat ketika awal saya bekerja di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, saat melakukan assessment, didapatkanlah informasi yang mencengangkan, bahwa masyarakat setempat sudah tahu apa itu CSR sesuai ‘definisi mereka’ dari apa yang mereka rasakan, dimana mereka mengidentikan jika CSR adalah pembagian jatah bibit tanaman karet, pembagian perabotan masjid, pembagian bingkisan lebaran, yang semuanya tidak jauh dari “pemberian materi”, setelah saya telursuri ternyata yang menyebabkan pemaknaan keliru akan CSR adalah, aktivitas perusahaan tambang batu bara yang memang selalu melakukan praktik ‘charity’ atau bagi-bagi sumbangan baik dalam bentuk barang dan uang sebagai bentuk “program CSR”. Yang terkena dampak besar adalah perusahaan tempat saya bekerja, yang baru melakukan tahap land development, namun masyarakat sudah menuntut perusahaan melakukan program CSR sebagaimana perusahaan tambang lakukan. Bukankah kondisi ini membuat pusing bukan kepalang, karena dalam praktiknya butuh waktu setengah tahun bagi saya untuk meluruskan pemahaman CSR/ CD yang berkembang di masyarakat dan berupaya mempraktikan CD yang sebenarnya harus dilakukan.
Borderless: Membaur dengan masyarakt lokal
Pernah satu kali saya diminta sebuah lembaga zakat memberikan pelatihan mengenai ‘membangun partisipasi’, berdasarkan informasi bahwa lembaga zakat tersebut banyak mendapat amanah mengelola program CSR perusahaan-perusahaan besar dijakarta, yang nilai dana programnya dalam kisaran angka miliar rupiah. Peserta pelathan tersebut sebagian besar pendamping lapangan. Setelah mengeksplorasi peserta, surprise bagi saya ketika mengetahui jika sebagian besar belum memahami makna partsisipasi, jika assessment yang dilakukan pada umumnya didasarkan pada data sekunder (profil desa), waktu untuk assessment hanya tiga hari sampai seminggu, penentuan program sebagian besar berdasarkan core lembaga yang sudah ditentukan pusat, bukan berdasarkan hasil assessment dan bottom up. Yang menjadi pertanyaan besar, bagaimana dengan implementasinya dilapangan? Bukankah intervensi yang keliru malah merusak tatanan kearifan masyarakat yang sudah ada. Pada akhirnya tafsiran memberdayakan masyarakat bisa berubah menjadi “memperdayai masyarakat” karena proses yang keliru.
Dalam sebuah perkuliahan Sosial Kapital, Prof. Robert Lawang, menyampaikan bahwa “Keliru jika kita bertamu maka tuan rumah harus menyesuaikan dengan tamu, sebagaimana istilah ‘tamu adalah raja’”, dalam konteks sosiologi, justru tamu-lah yang harus menyesuaikan dengan kondisi tuan rumah, bukan sebagaimana mental penajajah yang memaksakan tuan rumah untuk menyesuaikan dengan tamu. Inilah yang terjadi dengan kondisi kita, dimana saat melakukan intervensi sosial, masyarakat pedalaman ‘dipakasa’ untuk berubah sebagaimana kita yang mengintervensi, padahal setiap tempat memiliki paradigma, kearifan, norma yang berbeda. Secara hakikat Robert Lawang menekankan bahwa “Perubahan sosial memerlukan intervensi sosial yang sesuai dengan keinginan masyarakat, dan intervensi yang baik adalah intervensi yang sesedikit mungkin”.
Sungguh prihatin dengan kondisi masyarakat saat ini yang pada akhirnya harus berubah dari akarnya, karena tekanan-tekanan kepentingan pihak luar, dan sesungguhnya pengeksploitasian sumber daya alam, khususnya di pedalaman Sumatera, Kalimantan dan Papua telah banyak merubah tatanan kehidupan masyarakat setempat, terjadi pergeseran nilai, memandang hubungan sebagai transaksional, semua terjadi karena intervensi sosial yang keliru, program CSR yang asal jadi.
Sebelum menutup telpon teman ini menyampaikan “Gua sadar bagaimana seharusnya program CSR dilakukan, karena hampir lima tahun gua kuliah kesejahteraan sosial, tapi situasi yang menjebak gua untuk sedikit pragmatis, gua datang ke sini dengan setumpuk persoalan yang ditinggalkan orang lama dan kondisi masyarakat lokal yang sudah berubah”. Saya sangat faham keluhan teman ini, karena dalam konteks lapangan semua teori bisa berubah, terlebih jika kondisinya sudah ‘rusak’, idealisme terkadang dalam kondisi tertentu memang harus diadaptasikan.
Beberapa cerita terkait pengalaman mengelola program CSR ada di link ini:

Leave a Reply

Sketsa