Diberdayakan oleh Blogger.

Archive for 01/03/11 - 01/04/11

GERAK RITMIS MAMANG ODONG-ODONG


posted by rahmatullah on

1 comment

Semalam, dalam perjalanan pulang dari Serang menuju Pandeglang, sepanjang jalan diguyur hujan rintik-rintik, saya pacu sepeda motor tak lebih dari 50 km/jam. Saya memang menyukai perjalanan malam diiringi hujan rintik, menikmati temaram lampu dan hiruk pikuk orang-orang menjemput rizki sepanjang jalan. 

Namun ada hal menarik ketika perjalanan melewati alun-alun Pandeglang, hujan rintik mulai membesar, didepan saya ada Mamang odong-odong mengayuh gerobaknya agak cepat, layaknya odong-odong dilengkapi sound system untuk memutar lagu anak-anak, entah itu lagu Ambilkan Bulan, Balonku, Paman Datang, Naik Kereta api,  dll. Sambil membuntuti di belakang sayup-sayup terdengar lagu Ari Laso, yang berjudul “Badai Pasti Berlalu”, rasanya kurang yakin jika yang terdengar dari odong-odong itu lagu “Badai Pasti Berlalu”, saya coba dekati, ternyata benar, lagu itu yang diputar, diikuti gerak ritmis badan Sang Mamang meliuk-liukan kepala, dan sambil memukul-mukulkan tangan ke setang seakan menabuh drum. Saya coba lewati, rupanya mulutnya terlihat menggumamkan lagu, ternyata Si Mamang sedang bersenandung”.

Setelah melewati Sang Mamang dan gerobak odong-odongnya, pikiran saya terbawa hanyut, melamunkan gerak ritmis mamang odong-odong sambil memutar dan menyenandungkan lagu “Badai Pasti Berlalu”, dalam benak saya, mungkin pola dan tingkahnya adalah sebentuk ekspresi rasa syukur, mungkin karena hari ini dapat rizki besar, dapat rizki sebagaimana hari kemarin, atau malah sedang rugi, mungkin juga karena malam ini diguyur hujan, atau memang sebentuk sugesti akan optimisme hidup dimana “badai pasti berlalu”.

Entahlah suatu kebiasaan saya ketika berhadapan dengan masalah, pelariannya dan usaha mengobatinya kadang dengan menyaksikan geliat “Pengusaha kecil” merengkuh rizki, memang mungkin tidak nyambung, tapi ketika melihat masyarakat kecil gigih berusaha  menjemput rizki, optimis memulai hari, seakan menjadi energi tak terkira. Setiap pagi menyaksikan Bapak Tua penjual Koran keliling dari satu kantor ke kantor lain, siangnya ibu sepuh menjajakan makan siang dengan bakul di punggung, selepas magrib tukang bajigur mendorong gerobak, dan banyak profesi lainnya, yang menjadi oase penyemangat dan penyadar hidup, jika masalah kita tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dihadapai mereka.

Mereka adalah orang-orang yang dihadapkan pada segala ketidakpastian namun tetap optimis menjalani hidup, bagi mereka masalah bukan lagi untuk dikeluhkan tapi ditelan dan disyukuri. Bagi mereka hujan sudah menjadi sahabat, barang jualan tidak laku adalah hal biasa, tidak ada yang membeli juga sudah hal lumrah, harga-harga melambung tinggi juga sudah warna hidup, dimaki-maki dan ditawar dengan harga tidak wajar oleh pembeli adalah ‘makanan sehari-hari’. Ketika ditanya tentang kehidupan, jawaban mereka rata-rata sama “Mau gimana lagi, kalau gak dijalani dan disyukuri”.

Ketika coba menyelami keseharian mereka, rata-rata mereka hidup di kontrakan yang pengap, bisa jadi sepanjang hidup mereka mengontrak, keluarga berjejalan dalam rumah, pendapatan hari ini hanya cukup untuk kehidupan hari besoknya, makan tidaknya mereka esok hari, ditentukan dengan apa yang mereka dapat hari ini. Tapi dirumah atau di tempat mereka mangkal, mereka tetap bergurau, tersenyum, seakan tidak ada masalah apa-apa. Mereka sebenarnya adalah Master Of Trainner (MOT) sejati, yang mengajarkan motivasi pada hakikatnya, bukan MOT-MOT yang memberikan training instan berasa sambel.

Tapi mengapa geliat-geliat kecil ini tidak menjadi oase bagi pemerintah, tidak menjadi oase bagi orang-orang kaya, tidak menjadi oase bagi pengusaha, apalgi bagi para koruptor. Coba bayangkan masyarakat kecil yang selalu dirugikan oleh kebijakan pemerintah, yang selalu dirampas hak-hak dasarnya melakukan revolusi sosial, maka negara ini akan lumpuh, jika mereka frustasi maka betapa besar angka kriminalitas, jika mereka marah akan terjadi penjarahan besar-besaran. Tapi mereka tidak melakukan itu, meraka mensyukuri irama hidup mereka, mau sebesar apapaun mereka dizalimi pemerintah yang tidak bisa menjamin apa-apa, atau dijadikan “bahan jualan” praktisi dan wakil rakyat, yang hanya pandai berakrobat wacana.

Coba renungkan, apa jaminan pemerintah dengan hak pendidikan, hak kesehatan, hak mendapatkan pekerjaan, hak atas kemakmuran sebagai dampak kekayaan sumber daya, hak hidup layak, dan hak-hak lainnya. Semuanya hanya bualan, yang ada adalah pemerintah tanpa beban membagi masalah pada rakyat, isu reshuffle, isu kenaikan harga BBM, isu Bank Century, isu PSSI, isu Presiden sakit, isu selingkuh pejabat, dll yang sebetulnya beban itu tidak perlu dibagi kepada masyarakat.

Sebetulnya tidak layak jika menyebutkan mereka sebagai masyarakat kecil, orang-orang pinggiran, masyarakat lemah, kaum marginal dan sebutan lain yang kesannya merendahkan, Karena pada dasarnya mereka adalaha “Malaikat”, karena mereka yang menjaga agar Tuhan tidak murka, kesabaran, ketabahan dan rasa syukur mereka yang  mampu meredam amarah bumi. Mereka tidak punya hasrat untuk korupsi, hasrat mencuri, hasrat mengambil hak orang lain. Jikapun mereka mengambil keuntungan hanyalah sedikit sekedar untuk makan esok hari, jikapun mereka menjual buah yang rasanya masam, atau baso yang kurang garam, pada dasany tidak ada pedagang manapun yang ingin mengecewakan konsumen.

Semangat selalu mamang odong-odong, rasa syukurmu menyenandungkan lagu “Badai Pasti Berlalu” adalah inspirsi yang tidak terkira, semoga energi optimis yang terpancar berbuah kemurahan Tuhan menganugerahkan rizki lebih baik dan berkah.***

NABI SOSIAL


posted by rahmatullah on

2 comments

Hari ini teringat cerita Ibu tentang Almarhum Bapak. Sederhananya Ibu bertutur tentang bagaimana Bapak menjaga kehalalan sumber rizki. Mungkin bahasa kekiniannya, bagaimana ikhtiar Bapak dalam bekerja dan mengidupi keluarganya agar terhindar dari praktik Korupsi,Kolusi dan Nepotisme (KKN). Bapak pensiun sebagai guru Madrasah Aliyah (MA) Cihideung, sekolah yang berada di pinggiran Kota Pandeglang, Provinsi Banten. Menjadi guru adalah opsi terakhir yang sama sekali tidak pernah Bapak sesali hingga akhir hayatnya. Pada mulanya Bapak diangkat menjadi pegawai di Departemen Agama Kabupaten yang menangani urusan haji, setiap orang yang bekerja di Departemen Agama berebut untuk menjadi staf urusan haji karena memang ranah yang ‘basah’. Entah bukan rasa nyaman berkesempatan memperkaya diri, justru rasa gelisah yang terus menerus menghinggapi Bapak.

Sampai pada akhirnya Bapak mengajukan perpindahan (mutasi) ke Kabupaten Bogor, masih di Departemen yang sama dan urusan yang sama, harapannya ada situasi yang berbeda, mendapatkan rizki yang halal dan juga lingkungan yang terjaga. Namun ternyata hijrahnya Bapak berbuah kecewa karena kondsi di Bogor jauh lebih parah. Tidak sampai sebulan Bapak ’pulang  kampung’, mengadukan kepada atasannya dan menuturkan kegelisahannya. Namun jawaban yang didapat adalah jawaban yang jauh dari harapan, atasan bapak bilang “Kalau ingin rizki yang bener-bener halal dan lingkungan yang bersih, pindah saja ke pulau Popole”, sebentuk sarkasme karena maksud pimpinan adalah supaya bapak mengasingkan diri ke pulau popole (pulau kosong yang terletak dekat Ujung Kulon). Harapan ingin mendapat dukungan untuk sama-sama bekerja secara bersih dan memperbaiki sistem malah dijatuhkan. Sampai pada akhirnya Bapak memilih mutasi, mengajukan pindah kerja menjadi Guru Madrasah Aliyah di Cihideung.

Pilihan Bapak jauh dari populis, malah bersebrangan dengan arus pada umumnya, disaat guru-guru mengajukan promosi menjadi pegawai Departemen Agama, dan di dalam Departemen Agama sendiri berlomba-lomba mengajukan pindah ke urusan haji, Bapak malah memilih hijrah menjadi Umar Bakri, dengan sebuah mimpi yang sederhana, ingin rizki yang halal. Setting waktu itu adalah tahun 1980an disaat Bapak dan Ibu harus membesarkan 8 (delapan) orang anak,yang tentunya kebutuhan ekonomi, pendidikan sangat besar dan mendesak, pindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain. Padahal jika mau mudah saja Bapak tidak perlu mutasi dan tetap berada dalam tempat kerja yang ‘basah’, lalu memperkaya diri.

Satu prinsip bapak yang terus terngiang dan lekang dalam ingatan saya, “Sesusah apapun kondisi, Bapak ingin rizki yang kalian makan dari sumber yang halal, karena apa yang kalian makan, akan menjadi darah dan menjadi gerak hidup. Jika itu halal, maka apa yang dilakukan, dihasilkan akan menjadi baik dan bernilai ibadah, jika itu haram maka selamanya akan berbekas haram, selama tidak bertaubat”. Bapak hanya berharap pada darah kami mengalir rizki dan ‘kehidupan yang halal’. Sambil menghidupi  delapan orang anak, diluar mengajar Bapak menyambi menjadi nelayan, bertani, menjual hasil alam dan berternak ayam Bangkok.

Cerita diatas hanyalah sebuah ilustrasi sederhana tentang ujian ‘hasrat korupsi’ dan pendidikan karakter. Bahwa  ujian KKN tidak hanya saat ini melainkan dari zaman dahulu, hasrat korupsi tumbuh karena kebutuhan ekonomi keluarga. Tidak jarang korupsi yang dilakukan seorang ayah, dikarenakan desakan istri yang konsumtif, atau kebutuhan gaya hidup anak. Seorang pekerja yang pada mulanya aktifis kampus, memiliki profil pegiat anti korupsi sejak mahasiswa, bisa jadi berubah ketika berada dalam lingkungan yang sudah memiliki kultur koruptif, juga didukung oleh istri yang konsumstif serta anak yang selalu mengikuti trend gaya hidup dan tidak diwariskan pendidikan karakter.

Disaat Almarhum Bapak mengalami kegalauannya 31 tahun yang lalu, saat ini saya mengalami kegalauan yang sama setelah melewati jenis pekerjaan berbeda, baik saat menjadi wartawan, konsultan, perusahaan swasta, dan di pemerintahan. Entahlah, sudah tiga jenis pekerjaan yang karena kondisi itu pada akhirnya saya hindari dan ‘pergi’, saat ini dipemerintahan mungkin yang terparah, karena terdapat beragam macam ‘perkecualian’. Ingin kembali pergi tapi inilah sebuah kenyataan yang harus ‘ditelan’. Tidak mungkin saya harus seperti Bapak dulu disarankan pergi ke Pulau Popole. Teringat jika tidak salah Hadist Nabi “Lebih baik berda’wah di pasar yang penuh keramaian, daripada menjadi rahib di puncak gunung”. 

Memang berat menghadapi lingkungan yang sudah tertancap kultur koruptif puluhan dan mungkin ratusan tahun, yang kini tidak bisa kita pungkiri dan rubah dengan mudah, malah beberapa pemimpin daerah di negeri ini yang memiliki good will dan kebijakan sistemik memberantas korupsi, dijebloskan ke penjara oleh pihak-pihak yang terusik karena zona nyamannya terganggu. Kembali kepada tesis Mukhtar Lubis dalam Manusia Indonesia, jika masyarakat Indonesia adalah Masyarakat yang koruptif, hipokrit dan Asal Bapak Senang (ABS), adalah karakter asli yang terbuktikan era kini dan tidak bisa dibantah!.

Pada akhirnya menghadapi kenyataan adalah sebuah opsi dimana kita harus siap menjadi peribadi terasing, terpinggirkan atau bahkan autis (memiliki dunia sendiri). Yang terpenting saat ini dengan ke-warasan yang ada, tidak perlu banyak bicara, lakasanakan tanggungjawab yang diberikan sebaik-baiknya, tolak segala ketidakbaikan dengan ‘bahasa yang santun’, lakukanlah revousi sunyi (perubahan dengan pewarisan dan menebar karakter), dan tetaplah optimis, bahwa Gusti Ora Sare (Allah tidak pernah tidur). Memang yang dibutuhkan saat ini adalah nabi-nabi sosial, mereka yang menjalankan amanah sebaik-baiknya, siap menjadi terasing dan melakukan perubahan pada lini masing-masing, yang kelak suatu saat akan terakumulasi pada zaman yang tepat. Terimakasih Bapak atas ‘warisannya’ yang kelak insAllah akan saya turunkan.***

Bedah Buku Membaca Banten Membaca Indonesia (2)


posted by rahmatullah on

No comments

Berbicara Banten adalah berbicara keunikan, juga berbicara miniatur Indonesia. Banyak dimensi ke-banten-an yang menarik dikaji, mulai aspek politik dengan kekhasan kekuasaan kolegial, aspek ekonomi dengan potensi industri dan jasa yang luar biasa, aspek sosial dengan disparitas antara si kaya dan si miskin yang amat kentara, aspek pendidikan yang juga masih sebatas formalisasi, dan aneka aspek lainnya.

Buku Membaca Banten Membaca Indonesia; Membangun Karakter Menebar Pemikiran, coba mengangkat sebagian aspek diatas, berdasarkan paradigma keilmuan masing-masing penulis yang kental latar belakang pendidikannya. Tulisan-tulisan yang ada merupakan kumpulan artikel di berbagai media lokal maupun nasional yang coba dikumpulkan dan dibukukuan, agar catatan/ rekaman sejarah ke-Banten-an era kekinian tetap terjaga, sebagai sarana pembelajaran masyarakat Banten. Semoga Buku yang akan dibedah kedua kalinya ini membawa semangat konstruktif terhadap Banten dan Indonesia. Buku hanyalah partikel kecil dalam sebuah perubahan, semoga dari ikhtiar yang kecil menjadikan gerak langkah sinergis perubahan.***



Sketsa