Diberdayakan oleh Blogger.

GERAK RITMIS MAMANG ODONG-ODONG


posted by rahmatullah on

1 comment

Semalam, dalam perjalanan pulang dari Serang menuju Pandeglang, sepanjang jalan diguyur hujan rintik-rintik, saya pacu sepeda motor tak lebih dari 50 km/jam. Saya memang menyukai perjalanan malam diiringi hujan rintik, menikmati temaram lampu dan hiruk pikuk orang-orang menjemput rizki sepanjang jalan. 

Namun ada hal menarik ketika perjalanan melewati alun-alun Pandeglang, hujan rintik mulai membesar, didepan saya ada Mamang odong-odong mengayuh gerobaknya agak cepat, layaknya odong-odong dilengkapi sound system untuk memutar lagu anak-anak, entah itu lagu Ambilkan Bulan, Balonku, Paman Datang, Naik Kereta api,  dll. Sambil membuntuti di belakang sayup-sayup terdengar lagu Ari Laso, yang berjudul “Badai Pasti Berlalu”, rasanya kurang yakin jika yang terdengar dari odong-odong itu lagu “Badai Pasti Berlalu”, saya coba dekati, ternyata benar, lagu itu yang diputar, diikuti gerak ritmis badan Sang Mamang meliuk-liukan kepala, dan sambil memukul-mukulkan tangan ke setang seakan menabuh drum. Saya coba lewati, rupanya mulutnya terlihat menggumamkan lagu, ternyata Si Mamang sedang bersenandung”.

Setelah melewati Sang Mamang dan gerobak odong-odongnya, pikiran saya terbawa hanyut, melamunkan gerak ritmis mamang odong-odong sambil memutar dan menyenandungkan lagu “Badai Pasti Berlalu”, dalam benak saya, mungkin pola dan tingkahnya adalah sebentuk ekspresi rasa syukur, mungkin karena hari ini dapat rizki besar, dapat rizki sebagaimana hari kemarin, atau malah sedang rugi, mungkin juga karena malam ini diguyur hujan, atau memang sebentuk sugesti akan optimisme hidup dimana “badai pasti berlalu”.

Entahlah suatu kebiasaan saya ketika berhadapan dengan masalah, pelariannya dan usaha mengobatinya kadang dengan menyaksikan geliat “Pengusaha kecil” merengkuh rizki, memang mungkin tidak nyambung, tapi ketika melihat masyarakat kecil gigih berusaha  menjemput rizki, optimis memulai hari, seakan menjadi energi tak terkira. Setiap pagi menyaksikan Bapak Tua penjual Koran keliling dari satu kantor ke kantor lain, siangnya ibu sepuh menjajakan makan siang dengan bakul di punggung, selepas magrib tukang bajigur mendorong gerobak, dan banyak profesi lainnya, yang menjadi oase penyemangat dan penyadar hidup, jika masalah kita tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dihadapai mereka.

Mereka adalah orang-orang yang dihadapkan pada segala ketidakpastian namun tetap optimis menjalani hidup, bagi mereka masalah bukan lagi untuk dikeluhkan tapi ditelan dan disyukuri. Bagi mereka hujan sudah menjadi sahabat, barang jualan tidak laku adalah hal biasa, tidak ada yang membeli juga sudah hal lumrah, harga-harga melambung tinggi juga sudah warna hidup, dimaki-maki dan ditawar dengan harga tidak wajar oleh pembeli adalah ‘makanan sehari-hari’. Ketika ditanya tentang kehidupan, jawaban mereka rata-rata sama “Mau gimana lagi, kalau gak dijalani dan disyukuri”.

Ketika coba menyelami keseharian mereka, rata-rata mereka hidup di kontrakan yang pengap, bisa jadi sepanjang hidup mereka mengontrak, keluarga berjejalan dalam rumah, pendapatan hari ini hanya cukup untuk kehidupan hari besoknya, makan tidaknya mereka esok hari, ditentukan dengan apa yang mereka dapat hari ini. Tapi dirumah atau di tempat mereka mangkal, mereka tetap bergurau, tersenyum, seakan tidak ada masalah apa-apa. Mereka sebenarnya adalah Master Of Trainner (MOT) sejati, yang mengajarkan motivasi pada hakikatnya, bukan MOT-MOT yang memberikan training instan berasa sambel.

Tapi mengapa geliat-geliat kecil ini tidak menjadi oase bagi pemerintah, tidak menjadi oase bagi orang-orang kaya, tidak menjadi oase bagi pengusaha, apalgi bagi para koruptor. Coba bayangkan masyarakat kecil yang selalu dirugikan oleh kebijakan pemerintah, yang selalu dirampas hak-hak dasarnya melakukan revolusi sosial, maka negara ini akan lumpuh, jika mereka frustasi maka betapa besar angka kriminalitas, jika mereka marah akan terjadi penjarahan besar-besaran. Tapi mereka tidak melakukan itu, meraka mensyukuri irama hidup mereka, mau sebesar apapaun mereka dizalimi pemerintah yang tidak bisa menjamin apa-apa, atau dijadikan “bahan jualan” praktisi dan wakil rakyat, yang hanya pandai berakrobat wacana.

Coba renungkan, apa jaminan pemerintah dengan hak pendidikan, hak kesehatan, hak mendapatkan pekerjaan, hak atas kemakmuran sebagai dampak kekayaan sumber daya, hak hidup layak, dan hak-hak lainnya. Semuanya hanya bualan, yang ada adalah pemerintah tanpa beban membagi masalah pada rakyat, isu reshuffle, isu kenaikan harga BBM, isu Bank Century, isu PSSI, isu Presiden sakit, isu selingkuh pejabat, dll yang sebetulnya beban itu tidak perlu dibagi kepada masyarakat.

Sebetulnya tidak layak jika menyebutkan mereka sebagai masyarakat kecil, orang-orang pinggiran, masyarakat lemah, kaum marginal dan sebutan lain yang kesannya merendahkan, Karena pada dasarnya mereka adalaha “Malaikat”, karena mereka yang menjaga agar Tuhan tidak murka, kesabaran, ketabahan dan rasa syukur mereka yang  mampu meredam amarah bumi. Mereka tidak punya hasrat untuk korupsi, hasrat mencuri, hasrat mengambil hak orang lain. Jikapun mereka mengambil keuntungan hanyalah sedikit sekedar untuk makan esok hari, jikapun mereka menjual buah yang rasanya masam, atau baso yang kurang garam, pada dasany tidak ada pedagang manapun yang ingin mengecewakan konsumen.

Semangat selalu mamang odong-odong, rasa syukurmu menyenandungkan lagu “Badai Pasti Berlalu” adalah inspirsi yang tidak terkira, semoga energi optimis yang terpancar berbuah kemurahan Tuhan menganugerahkan rizki lebih baik dan berkah.***

1 comment

Leave a Reply

Sketsa