Diberdayakan oleh Blogger.

Lukman


posted by rahmatullah on , , ,

2 comments


Dua hari lalu saya kedatangan seorang sahabat, boleh dibilang sahabat lawas, karena kami memadu pertemanan semenjak Sekolah Dasar (SD). Namanya Lukman, kami memang bertetangga kampung. Bedanya Lukman adalah warga asli, sedangkan saya pendatang walau sama-sama berada di Kabupaten Pandeglang.

Lukman adalah siswa berprestasi, ketekunannya akan hobi melukis membawanya langganan juara sejak SD di tingkat Kabupaten, namun selalu gagal di tingkat Provinsi. Saya anggap wajar, dengan bakat yang luar biasa tidak ada artinya jika tanpa dukungan fasilitas. Karena bagaimanapun Kabupaten Pandeglang jauh terbelakang dalam segala hal jika dibandingkan Kabupaten/ Kota lain di Jawa Barat (waktu itu)

Sejak SD saya membayangkan kelak Lukman akan menjadi maestro lukis Indonesia. Karena guratan hasil tangannya baik lewat pinsil, pulpen, cat air maupun cat minyak selalu membuat kagum mata yang memandang, dan membuat tidak percaya jika yang menggoreskannya masih SD. Namun keterbatasan fasilitas tersebut, tidak jarang menjadikannya jeda melukis barang beberapa saat.

Pertemanan kami berlanjut dan kian erat ketika SMP, Lukman menjadi anggota regu Pramuka yang saya pimpin. Sering kami menjuarai lomba kepramukaan tingkat kabupaten hingga menjadi yang terbaik di tingkat provinsi Jawa Barat, karena kontribusi Lukman di dalamnya. Lukman ahli dalam sandi, tali temali, pengukuran dan peta-pita. Jari jemari Lukman seperti bertuah, karena nilai terbaik melaluinyalah membawa kami juara.

Pertemanan kami sementara putus ketika kami Sekolah ke tingkat lanjutan, saya masuk ke SMA Sedangkan Lukman melanjutkan ke STM. Sejak dulu saya berpikir jika Lukman adalah aset, mutiara yang tinggal diasah agar menemukan bentuknya yang indah. Hanya mungkin keterbatasan ekonomi keluarga Lukman yang mengantarkannya pada kondisi saat ini. Orang tuanya tidak memungkinkan membelikannya meja gambar, alat lukis, kanvas, apalagi papan arsitek, karena hanya bekerja sebagai penyepuh emas. Tanpa sepengetahuan saya, sejak ia masuk STM, rupanya memutuskan gantung kuas.

semenjak SMA kami berpisah kurang lebih delapan tahun, karena saya melanjutkan kuliah di Jatinangor, Sumedang, bekerja di Bandung, kemudian bertualang ke Kalimantan Selatan. Sepulang cuti bekerja di Kalsel saya mendapatkan kabar jika Lukman mengalami kecelakaan, kondisi rahang bawah retak dan tangan kanan nyaris patah. Saya sempatkan menjenguknya dan mengharu biru melihat perubahan fisik Lukman pasca kecelakaan. Tapi Lukman tetaplah Lukman, keyakinan, semangat dan ketekunannya dalam segala keterbatasan membawanya beranjak. beliau bercerita selama delapan tahun kami berpisah.

Selepas lulus STM beliau tidak melanjutkan kuliah karena ketidakmampuan ekonomi keluarga, masih terdapat 4 adiknya yang harus sekolah. Lukman kemudaian bekerja di perusahaan minuman kemasan, berpindah menjadi montir bengkel, dan terakhir bertemu ia menjadi sales furnitur.

Dua hari lalu, Lukman yang datang ke rumah adalah sebagaimana Lukman yang saya kenal ketika SD, tepatnya 21 tahun lalu… hanya bedanya ketekunannya pasca menggantung kuas, dialihkan dalam pekerjaannya kini. Setelah kecelakaan, tangannya kelu dan sudah tidak mampu menggoreskan kedalam kertas atau kanvas. Lukman sekarang menjadi freelance, “Saya jenuh bekerja di pabrik seperti mekanis, hidup terbatasi, pulang kerja letih bukan kepalang, waktu untuk keluarga terenggut”. Lukman giat dengan aktivitasnya barunya dalam dunia Multi Level Marketing (MLM) obat-obatan, kosmetik dan suplemen, menurutnya “Karena saya tidak mampu kuliah, kuliah sesungguhnya saya dapatkan ketika bertemu dengan masyarakat memprospek produk”. Baginya tidak masalah jika presentasinya tidak didengarkan dan produknya tidak dibeli, yang penting masyarakat walaupun sedikit bisa paham tentang pentingnya kesehatan, dan ia bisa mengambil banyak ilmu dari beragamnya individu yang ia temui.

Satu yang saya kagum dari lukman dan hal itu sedikitpun tidak berkurang, dalam segala keterbatasan, semangat membaca buku selalu ia jaga, tercermin dari caranya berbicara  sarat ilmu dan  kaya makna, seakan bukan lulusan SMA. Kenekatannya mengakhiri kerja di pabrik demi terlepas dari keterkungkungan adalah luar biasa, walaupun sempat disebut bodoh anggota keluarga dan tetangganya. Karena di kampung saya bekerja di pabrik adalah sebuah prestise dan kedudukan terhormat.

Keyakinan Lukman berbuah hasil, ketika sebagian besar pemuda seusianya di Kampung saya menganggur, menarik ojek, menikah namun tetap menggantungkan hidup pada orang tua, memaksakan diri mengantri menyuap untuk bisa bekerja di Pabrik. Lukman adalah satu yang mandiri, ia berhasil membangkitkan kondisi ekonomi keluarganya. Lukman berbeda dengan warga di kampung saya lainnya, tidak pernah berhenti ia memotivasi tetangga dan warga lainnya untuk maju dan beranjak. Bagi saya seakan tidak bermakan jika pulang ke rumah tidak bertemu Lukman. Ia adalah sumber inspirasi dan motivasi, jikapun pendidikannya terbatas hanya STM, namun keilmuan dan sikap bijaknya jauh melebihi batas bangku pendidikan. Darinya saya banyak dapatkan ilmu kehidupan tak terkira. ***

2 comments

Leave a Reply

Sketsa