Dalam kurun waktu lima tahun,
masyarakat dihadapkan pada berbagai perhelatan politik, apakah itu Pemilihan
Umum untuk memilih Presiden, Wapres, Anggota DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD.
Selain itu ada Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati/ Walikota, hingga pemilihan
Kepala Desa.
Pada dasarnya perhelatan politik
adalah proses ideal menuju terpilihnya pemimpin yang mampu membawa perubahan
mensejahterakan masyarakat dan wakil rakyat yang siap memperjuangkan
terwujudnya harapan masyarakat.
Untuk sebuah proses ideal
tentunya membutuhkan biaya yang besar, jika diakumulasikan berapa ongkos untuk
perhelatan politik mulai dari Pemilihan umum hingga Pilkades, berapa triliun
beban yang ditanggung mulai dari APBN, APBD I, APBD II hingga APBDes. Sebagai
contoh, pada tahun 2010, Komisi Pemilihan Umum menyelenggarakan 244 pilkada, rinciannya,
7 pilkada provinsi, 202 pilkada kabupaten, dan 35 pilkada kota, yang kesemuanya
menghabiskan dana 4 triliun.
Lalu yang menjadi pertanyaan, apa
yang dihasilkan dari biaya 4 triliun untuk aneka perhelatan politik? Apakah
telah melahirkan pemimpin daerah yang membawa perubahan, apakah telah
menghasilkan wakil rakyat yang betul-betul memperjuangkan aspirasi
masyarakat?.Kita buang konteks ideal, karena realitanya pemimpin yang terpilih
adalah mereka yang berhasil dalam pencitraan, ketika tampuk kepemimpinan
dipegang mereka hanya memperjuangkan kepentingan pribadi, keluarga, kolegial
dan partai. Tidak jauh beda dengan wakil rakyat, tujuan terbesarnya malah mengembalikan
biaya politik untuk terpilih, menghimpun pundi-pundi kekayaan, bermain proyek
dan menjadi pengemis di kementrian atau SKPD yang jika tidak diakomodasi,
mengancam tidak merealisasikan anggaran.
Saya hanya mengandai-andai, jika
4 triliun uang dihamburkan tanpa menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang
sehat budi, akal dan pikiran, lebih baik dialihkan untuk menggartiskan biaya
pendidikan, kesehatan atau membangun infrastruktur di daerah atau wilayah
perbatasan, mungkin jauh lebih terasakan manfaatnya. Padahal mantan Wapres
Yusuf Kalla pernah mengajukan ide kecintaannya pada bangsa ini, agar Pemilu
dilaksanakan serentak dengan Pilkada Provinsi dan Kabupaten/ Kota, agar biaya
yang dileluarkan lebih efisien, masyarakat tidak jenuh dalam memilih dan meminimalisir
konflik antar masyarakat.
Kekhawatiran dan perhatian
terbesar sebetulnya tidak hanya pada aspek politik, melainkan pada aspek
sosial. Bagaimana nasib persatuan bangsa, nasib kebhinekaan, nasib tenggang
rasa, nasib toleransi, nasib gotong royong, dan nasib kearifan yang menghiasi
sikap dan tingkah laku masyarakat Indonesia. Tanpa sadar perhelatan politik
telah menggerus kepribadian dan karakter bangsa menjadi pragmatis. Selama lima
tahun masyarakat terpecah dalam pilihan politik, terpecah ideologi, dihadapkan
pada perdebatan-perdebatan tanpa jeda, dilucuti martabatnya oleh politik uang.
Tidak jarang akibat perhelatan politik, telah menghancurkan silaturahmi dalam
dan antar keluarga, menyebabkan konflik dalam kampung, hingga kerusuhan masal.
Politik telah menyamarkan antara hal sakral dan profan, menjadikan sajadah
hingga haram jadah menjadi alat untuk mendapatkan kuasa.
Apa jadinya nasib bangsa ini
ketika kekerabatan sudah tidak ada, kohesifitas sosial menjadi barang langka,
gotong royong dan siskamlingpun harus bayar, karena uang tidak mengenal rasa
saling menjaga. Mungkin beberapa tahun lagi budi baik yang menjadi karakter
masyarakat seperti sopan santun, tenggangrasa, gotong royong, hanya tertinggal
dalam buku pelajaran sekolah, dan akan menjadi prasasti di jaman yang berubah.
Jika dulu kita berkunjung
melakukan penelitian di desa, kita mungkin masih menemukan aparat yang siap
mengantar tanpa berharap imbalan, kepala desa yang tanpa diminta menyediakan
tempat menginap, masyarakat yang terus mengumbar senyum ramah ketika di
wawancara. Namun itu kelak akan menjadi
barang langka, karena politik uang telah merubah karakter masyarakat perkotaan
hingga pedesaan, uang sudah merubah paradigma menolong menjadi transaksional.
Sudah saatnya kita kembali pada
akal budi, singkirkan masa ‘lupa diri’ kita untuk kembali pada hakikat
masyarakat yang berharkat dan bermartabat. Jika memiliki kepentingan politik,
janganlah mengadu domba dan memecah masyarakat dengan politik uang, biarlah
masyarakat memilih dengan hati nurani. Janganlah masyarakat menggadaikan diri
dengan menerima uang dari kandidat siapapun, karena memberi uang dan barang
menunjukkan rendahnya kualitas seseorang. Semoga kohesifitas ini tumbuh
kembali, karena kohesifitas masyarakat inilah yang menjadikan bangsa ini
merdeka. Sebuah pameo sederhana, jika Belanda, jepang, dan Negara manapun
menjajah, sekaranglah saatnya yang tepat, karena tanpa terlihat masyarakat
Indonesia sedang tercerai berai pada titik terendah.***