Ketika kami kuliah di bilangan
Jatinangor, kami sempat mendirikan bimbingan belajar dan SMP Terbuka gratis
bagi pelajar yang kurang mampu. Alasan kami, keberadaan kampus yang besar di
Jatinangor rupanya ibarat menara gading, hanya terhitung jari putra daerah yang
bisa berkuliah di sana, entah karena seleksi masuk yang sulit, ketidakmampuan
biaya atau memang motivasi rendah.
Kami coba telusuri lebih jauh,
rupanya memang faktor ekonomi dan motivasi yang rendah penyebab utama mengapa
banyak pelajar yang putus sekolah di Jatinangor. Kami terenyuh, rupanya
keberadaan kampus tidak berdampak lebih hanya semakin membangun jarak antara dosen,
mahasiswa sebagai pendatang dengan segala gaya hidup wah-nya dan warga setempat
yang seolah menjadi tamu di kampung halamannya.
Dalam kesibukan kuliah dan
beraktivitas di kampus, bersama beberapa teman kami mendirikan bimbel dan SMP
Terbuka. Salah satu murid kami bernama Omah, seorang anak perempuan yang berperawakan
besar dan berpotongan tomboy. Omah adalah salah satu siswa kami yang tidak
mampu melanjutkan sekolah ke SMP reguler karena harus membantu orang tuanya
mencari nafkah, kadang mengembalakan kambing, kadang membantu mengasuh lima
adiknya, dan kadang membantu ibunya menjadi buruh cuci. Semangat dan keceriaan Omah
bersekolah di SMP terbuka menjadi energi tersendiri bagi kami. Terkadang jika
Omah tidak masuk, kami tanyakan ke temannya atau kami cari, rupanya Omah sedang
sibuk membantu orang tuanya.
Ayah Omah hanyalah seorang
pemulung, berperawakan kecil dan diuji kecacatan, hanya memiliki tangan satu. Dalam
segala keterbatasan dengan satu tangan Ayah Omah berkeliling memanggul karung
dengan satu tangan mencari sampah-sampah yang masih bisa dimanfaatkan atau di
jual demi menyambung hidup keluarganya. Dalam
salah satu silaturahmi Ayah Omah bilang pantang baginya meminta-minta walaupun
cacat, beliau yakin bahwa rizki dari Allah selalu ada dan cukup baginya. Salah
satu hal yang menarik untuk kami tanyakan, belum pernah kami melihat Ayah Omah
bekerja memulung sampah pada hari Jumat. Rupanya ketika kami tanyakan, Ayah
Omah menjawab “Saya meliburkan diri kalau hari jumat, sengaja biar bisa fokus
ibadah dan menggunakan pakaian bersih dengan kondisi badan bersih”. Ayah Omah
tidak pernah takut kehilangan nafkah setiap jumat walau tidak kerja. Beliau
memiliki cara memuliakan Tuhannya dengan meliburkan satu hari kerjanya.
Seorang kepala keluarga cacat, dengan kondisi ekonomi
pas-pasan, memiliki tanggungan hidup anggota keluarga lumayan banyak. Namun
sungguh menjadi oase, ketika dia komitmen memuliakan Tuhannya di hari jumat,
walaupun setiap harinya dia telah menunaikan kewajiban akan TuhanNya. Banyak
orang yang khawatir kehilangan rizkinya ketika tidak bekerja, banyak orang yang
lebih takut kehilangan pekerjaan lalu meninggalkan kewajiban pada Tuhannya. Tapi tidak bagi Ayah Omah, beliau
dalam segala keterbatasan memiliki keyakinan akan porsi Rizki yang telah
dicukupkanNya. Bagaimana dengan kita, shalat tepat waktupun kita jarang karena
takut mengganggu waktu kerja, puasa wajibpun terkadang kalah oleh letih
bekerja. Banyak pakaian bagus dan bersih yang kita punya, namun sangat jarang
kita kenakan untuk menghadapNya. Sering kita lebih rapi menghadap atasan dan alakadarnya
ketika menghadap Tuhan.
Sudah lebih dari empat tahun
belum bertemu Ayah Omah, semoga Allah memuliakan dan menganugerahkan kesehatan.***