Terkadang saya terenyuh ketika
melihat bangunan yang dibuat oleh pemerintah dalam kondisi ‘mangkrak’. Kita
tengok tempat sampah sepanjang jalan yang terbuat dari besi atau fiber glass
hanya menyisakan tutup atau besi penyangganya. Selokan yang dibangun untuk
menanggulangi banjir terisi sampah atau digenangi air lindi. Trotoar yang
dibangun untuk pejalan kaki jika tidak ditumbuhi ilalang, dipancang aneka tiang
atau menjadi tempat usaha pedagang. WC umum mungkin hanya dibandara saja yang
senantiasa bersih dan wangi, di terminal bis, WC Kolektif di pemukiman padat
atau pun desa hanya menyisakan kekumuhan dan sarang berbagai sumber penyakit.
Jika kita telisik mungkin bangunan yang saat ini mangkrak usianya kurang dari
satu tahun,padahal daya guna bangunan lebih dari satu tahun.
Berbagai kemungkinan kenapa
sebuah bangunan menjadi mangkrak. Pertama, nilai realisasi bangunan
tidak sesuai dengan nilai yang dianggarkan. Banyak sekolah roboh, jembatan
runtuh, bendungan jebol bukan karena
sudah tua, melainkan oleh kualitas bahan bangunan yang disusutkan oleh
pihak-pihak yang ingin mengeruk keuntungan. Kedua, Apa yang dibangun
tidak sesuai kebutuhan atau kemampuan masyarakat. Pemerintah menyediakan perahu
penyebrangan, tapi kenyataanya tidak digunakan masyarakat bukan karena masyarakat
tidak butuh, tapi bentuk perahu yang disediakan tidak sesuai karakteristik
ombak, atau mesin yang tidak bertenaga. Ada di sebuah pulau yang belum memiliki
listrik, pemerintah setempat menyediakan Pembangkit Listrik Tenaga Solar, satu
dua bulan berjalan namun bulan berikutnya kampung tersebut gelap gulita, karena
ketidakmampuan masyarakat membeli solar.
Ketiga, Rendahnya
kesadaran merawat. Pada dasarnya inilah
masalah terbesar masyarakat Indonesia. Kesenangan kita adalah membangun bukan
menjaga apa yang sudah ada. Anggaran negara baik APBN, APBD, hingga APBDes
habis terkuras untuk membangun apa yang sebelumnya sudah dibangun, bukan untuk
memelihara. Padahal biaya memelihara
jauh berlipat lebih murah dibanding membangun. Kita adalah masyarakat konsumtif
yang hanya pandai menggunakan tanpa pandai memelihara. Selokan di depan rumah
kita jdikan tempat sampah dan abai untuk dibersihkan, WC Umum yang dibangun
pemerintah hanya kita pakai tanpa mau kita bersihkan, seolah semua aspek adalah
tanggungjawab pemerintah. Jalan yang ada, sudah kualitasnya rendah kita
perparah dengan tonase (bobot) kendaraan yang berlebih. Irigasi yang retak dibiarkan
jebol yang pada akhirnya mengakibatkan sawah kering tak terairi. Dan banyak hal
lain yang menunjukkan betapa abainya kita. Padahal sumber-sumber pembangunan berasal
dari uang kita, dari berbagai pajak, retribusi, ptongan gaji. Padahal abai
samahalnya kita tidak menghargai peluh keringat kita.
Ketika saya melakukan penelitian di Kabupaten
Sambas, Kalimantan Barat. Banyak masyarakat mengeluh dengan air tanah yang
berasa asin tidak layak untuk diminum, lalu menyalahkan pemerintah yang mereka
anggap tidak peduli. Namun yang saya heran di depan setiap rumah penduduk
terdapat torn penampungan air yang
dibangun pemerintah dan ADB dalam kondisi mangkrak. Ketika saya tanyakan
mengapa tidak digunakan, jawaban warga sederhana “pipanya rusak dan tidak ada
pasokan air”. Padahal jika mau sedikit berkorban, masyarakat mampu mengganti
pipa tanpa harus ini itu minta dibantu pemerintah. Sama halnya ketika
mengunjungi pantai tanjung lesung, pada satu sisi pantai terdapat satu menara
pemantauan air laut yang fungsinya untuk peringatan jika terjadi Tsunami, namun
pos tersebut berbalut karat dan menunggu roboh disapu ombak, padahal pada
dinding tertulis bangunan tersebut didirikan pada tahun 2010.
Apa makna pembangunan jika tanpa
diiringi semangat memelihara. Jika kebiasaan ini terus berlanjut, maka
pembangunan tidak akan berubah menjadi pengembangan. Karena yang ada hanyalah
melakukan rutinitas pembangunan yang sama dan pada titik yang sama. Membangun
tanpa mau merawat sama dengan tidak mensyukuri. Banjir tidak akan pernah surut
jika sungai tetap menjadi tempat sampah kolektif, selokan kita biarkan mampat,
bantaran sungai dijadikan pemukiman. Upaya membangun kanal-kanal di Jakarta
tidak akan berhasil menanggulangi banjir jika tidak ada partisipasi warganya
dalam memelihara saluran-saliran air.
Ketertinggalan kita dari
negara-negara asia seperti malaysia, thailand, singapura dan juga korea yang
pada 1998 lalu dihinggapi krisis yang sama namun saat ini kemajuannya berbeda,
hanyalah karena masyarakat kita tidak memiliki semangat merawat. Semua negara
sama membangun, tapi tidak semua negara pandai merawat hasil pembangunan.
Negara lain sudah beralih pembangunannya pada sektor lain, sedang negara kita
berkutat pada sektor yang sama. Negara singapura dan Jepang tumbuh dan menjadi besar
karena karakter warga negaranya. Mereka disiplin, berpartsipasi dan memelihara
apa yang sudah negara mereka bangun sebagai bentuk rasa cintanya terhadap tanah
air. Sedangkan cinta tanah air di negeri ini bukan di hati dan perilaku
warganya, melainkan hanya tertera di spanduk dan baligho.
Jika ingin berpartisipasi dalam
pembangunan mudah saja, kita jaga apa yang dekat dan tampak, bisa memulai
dengan membersihkan selokan depan rumah, tidak sembarang membuang sampah, dan
tentunya banyak lagi.***