Beberapa hari ini, selepas shalat
subuh terdengar suara kaleng dibentur-benturkan diikuti teriakan “Hoaaa” di
sekitar rumah. Pada awalnya saya kira tukang rongsokan atau ada kegaduhan di
rumah tetangga, rupanya suara bersumber dari sawah depan rumah. Saya kebetulan
tinggal di rumah ‘mewah’ (mepet sawah), berada di perumahan yang developernya
bangkrut, satu keuntungan belum banyak rumah terbangun, masih ada lapangan
sepak bola mini dan juga sawah terhampar. Bagi saya masih melihat hamparan sawah
dan sepoy-sepoy angin segar di tengah panasnya Kota Serang adalah rileksasi
tersendiri.
Suara kaleng dan teriakan “Hoaaa”
rupanya salah satu upaya petani untuk mengusir kawanan burung dikala padi mulai
menguning. Terkadang sambil menyeruput kopi dan sarapan pagi, saya sengaja
menyaksikan petani yang sedang mengusir kawanan burung, sambil mereka
berkeliling sedari subuh hingga petang.
Bagi petani, membunyikan kaleng
dan berteriak mengusir burung adalah salah satu ujian yang meraka alami dalam
siklus bertani, dari banyak ujian lainnya. Jika berpikir nasib, seorang petani
mungkin tidak akan memilih profesinya menjadi petani, karena tidak ada hal yang
menjanjikan akan perbaikan nasib mereka. Hanya mungkin sudah menjadi garis
nasib, dan tidak ada pilihan lain yang menjadikan mereka tetap bertahan.
Ketika akan menanam, petani mulai
berpikir keras kapan ‘waktu baik’ menanam, atas pertimbangan kapan musim hujan
dan musim kemarau. Ibarat bermain judi cuaca saat ini tidak bisa diprediksi
sebagaimana masa dulu, bisa jadi saat menanam diiringi penghujan dan tidak
taunya selepas itu kemarau panjang, atau sebaliknya kemarau panjang tidak ada
tanda-tanda akan musim hujan. Menanam padi ibarat berspekulasi tiada akhir,
tidak bisa diprediksi apakah padi akan tumbuh normal atau puso. Jikapun normal
mereka akan berhitung berapa biaya pupuk, biaya solar untuk pompa menaikan air
dari sungai, dan aneka perhitungan lainnya.
Selepas padi ditanam dan tumbuh
dengan baik, bukan berarti berhenti
persoalan, karena akan bermunculan masalah-masalah baru, harga pupuk
yang mahal karena mata rantai distribusi yang panjang atau terjadi kelangkaan.
Selepas pupuk datang berbagai hama, mulai dari pengerat hingga serangga. Hal
yang juga tidak bisa diprediksi adalah cuaca, karena hujan dan kemarau
menentukan nasib padi. JIka tidak ada hujan, mengakibatkan sawah mengering,
jika terlalu banyak hujan, batang padi membusuk. Tidak jarang antar petani
berselisih hingga mengakat parang saat kemarau untuk memperebutkan jalur air.
Mengusir sekawanan burung adalah
masalah diakhir siklus menanam padi. Padi yang menguning hanyalah sisa dari
padi-padi yang bertahan tumbuh setelah berhasil melewati banyak ujian. Jika
dulu tidak terlalu banyak kawanan burung yang mencuri padi, karena masih
luasnya hamparan padi. Yang jadi masalah, ketika hanya sebagian padi yang menguning
dan terhindar dari puso, maka kawanan burung dengan jumlah ratusan akan
berlomba mencuri padi pada satu titik tanam.
Ujian petani tidak otomatis
berhenti saat panen. Selepas itu petani dihadapkan pada penjualan. Tidak jarang
tengkulak mendatangi petani ketika padi menguning, harga ditawar
serendah-rendahnya. Para petani hanya
berpikir sederhana, padi mereka jual ke tengkulak, yang penting bisa kembali
modal tanam, daripada mengeluarkan ongkos sekian besar untuk menggiling dan
menjual ke pasar dengan hitungan biaya yang tidak jauh beda dengan menjual ke
tengkulak. Bagi mereka tertutup utang untuk membayar pupuk sudahlah cukup,
mereka tidak memikirkan jerih payah, keringat dan segala kesakitan mereka
terbayar. Ibarat kita kaum pekerja di kantor setiap tenaga kita dibayar dengan
uang, yang masuk dalam akumulasi gaji bulanan. Semakin banyak proyek yang kita
kerjakan ada harapan terkumpulnya pundi-pundi uang di akhir bulan. Tapi tidak berlaku bagi petani, tenaga mereka yang
terhempas menanam, mencangkul, mengatur jalur air selama siklus menanam padi
tidak pernah terbayar.
Mereka memilih mengikuti garis
nasib, karena tidak ada pilihan lain kecuali menjadi petani. Jika terdesak,
sawah kesayangan mereka jual, karena cuaca tidak mendukung kapan harus menanam.
Setiap petani tidak pernah berharap anaknya menjadi petani, karena bertani
tidak membuat nasib mereka membaik, tidak membuat mereka naik kelas, apalagi membual
menjadi orang kaya.
Terlebih pemerintah dalam segenap
kebijakannya tidak mendukung dan mendudukan petani pada posisi yang
bermartabat, petani identik dengan kemiskinan, petani identik dengan kaum
marjinal yang tidak pernah bisa naik kelas. Kelak, tidak akan lahir generasi petani,
karena anak-anak muda kini tidak melihat bertani sebagai profesi yang
menggiurkan.
Sekawanan burung hanyalah salah
satu bagian ujian dari runtutan ujian yang mereka harus hadapi dengan tabah,
moga kelak petani bisa naik kelas, jika tidak, maka akan hilang generasi
petani, swa sembada beras tinggal sejarah, dan Indonesia akan menjadi importir
beras terbesar di dunia.***