posted by rahmatullah on Humaniora
Pada saat akan memulai
perkuliahan Teori Pembangunan dua hari lalu, ada seorang mahasiswa yang
bertanya “Mengapa Pak, Bangunan pada zaman belanda walapupun sudah berusia
lebih dari seratus tahun masih berdiri kokoh dan masih bisa kita saksikan saat
ini, baik itu berupa gedung, jembatan, benteng, bahkan bendungan. Sangat
berbeda dengan bangunan yang ada saat ini, walaupun umurnya belum satu tahun,
bangunannya sudah retak, kusennya keropos dan tidak jarang juga yang plafonnya
runtuh. Apa perbedaan dan letak permasalahannya Pak?”.
Dalam dimensi yang sederhana, mudah
menjawab pertanyaan tersebut, karena terkait dengan teknis dan kualitas bahan baku
suatu bangunan. Namun sebagai pengajar saya harus menarik pertanyaan tersebut
mulai dari filosofi pembangunan, kualitas SDM yang membangun, mentalitas
manusianya, hingga kualitas bahan baku yang digunakan dalam membangun sebuah
bangunan.
Entah bagaimana selanjutnya yang
pasti perkuliahan kemarin saya habiskan untuk menjawab pertanyaan tersebut dan
tidak menyentuh bahan perkuliahan yang sudah saya siapkan sebelumnya,
terkecuali Need of Achievman-nya Mc
Lelland sebagai bagian dari Teori Modernisasi Pembangunan, sebagai bahan
mempertajam analisis mengapa pembangunan fisik di negeri ini tidak berumur
panjang.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa
VOC yang merupakan kamar dagang belanda dalam internalnya terjadi korupsi,
namun mereka tidak mengkorupsi dalam aspek pembangunan, baik gedung, jembatan,
benteng dan lainnya. Mereka menjaga kualitas bangunan, karena terkait identitas
bangsa mereka. Kita semua tahu bahwa bangsa belanda terkenal akan arsitektur
dan kualitas bangunannya, walaupun sedang menjajah di negeri lain identitas
kekuatan bangunan tidak akan mereka lepaskan, oleh karena itu orang belanda
menjaga betul kualitas bahan baku bangunan dan untuk mewujudkannya semua tenaga
dicurahkan termasuk dengan melakukan kerja paksa (rodi) demi terwujudnya
bangunan yang terjaga umurnya.
Berbanding terbalik dengan bangunan
di Indonesia saat ini. Nilai anggaran tidak sesuai dengan realisasi, rata-rata
yang terealisasi hanyalah ¼ dari anggaran. Saya masih teringat ketika dulu
bekerja di konsultan, nilai satu proyek kementrian adalah 2 miliar, sukses fee
pemberi proyek 10 %, biaya maintenance berbagai pihak 10 %, dipotong keuntungan
yang harus didapatkan konsultan 20%, baru sisanya 60% realisasi, itupun tidak
menutup kemungkinan kembali berkurang jika proyek tersebut dilaksanakan oleh
Pemerintah daerah dan Pemborong.
Maka, jangan heran jika tujuan
pembangunan adalah meningkatkan kualitas hidup, perubahan kearah lebih baik, akan
semakin sulit terwujud jika pembangunan fisiknya pun tidak sempurna. Jangan
heran jika ada siswa yang tertimpa bangunan sekolah saat kegiatan belajar
mengajar padahal bangunan sekolah tersebut belum mencapai setengah umur pakai,
atau jembatan runtuh, bendungan jebol, jalan rusak padahal belum mencapai
setengah usia pakainya.
Banyak pihak yang berkepentingan akan
pembangunan fisik di Indonesia, penguasa anggaran berkepentingan bangunan
berumur pendek, agar mendapatkan proyek kembali pada tahun berikutnya, jika
membuat bangunan yang awet, maka tidak aka nada lagi proyek. Pada sisi lain
semua pihak bermutasi menjadi perampok yang amat dzalim, DPR/D sebagai pihak
yang mengatur anggaran dan lokasi berkepentingan akan suksess fee, begitu pula
kementrian yang membidangi berkepentingan akan prosentasi nilai proyek,
selanjutnya pemda yang dituju baik kepala daerah maupun dinas yang membidangi
mengaharapkan tetesan dari proyek yang ada di wilayah mereka. Ujungnya adalah
pihak kontraktor yang membangun, tentunya tidak ada kontraktor yang berharap
impas, apalagi rugi, mereka betul-betul melakukan motif ekonomi mengambil keuntungan
sebesar-besarnya menghindari kerugian sebesar-besarnya juga. Sudah anggaran
terpotong dari hulu sampai hilir, sisa yang adapun masih terus dikurangi oleh
kontraktor pelaksana. Maka jangan heran jika komposisi pasir lebih banyak dari
semen, batu kali diganti batu bilah, kayu Kampar diganti albasiah, ketebalan
coran dikurangi, lebar jalan dipersempit, genteng kualitas satu diganti oleh
kualitas tiga, dan banyak hal lain yang tentunya mengamputasi usia guna
bangunan.
Bagi saya ada hal yang jauh lebih
besar dari sekedar bangunan yang tidak berumur panjang, yaitu hilangnya jati
diri masyarakat kita. Entah bagaimana ceritanya ketika dari hulu hingga hilir,
manusia-manusi di negeri ini menjadi perampok, merampok negerinya sendiri. Jika
dulu kita dijajah portugis, belanda, dan jepang, sangat jelas siapa lawan dan
dibawa kemana hasil kekayaan bangsa kita. Jauh berbeda jika yang menjajah
adalah sebangsa sendiri atas dasar menumpuk kekayaan. Tanpa sadar ada sebagian
orang di negeri ini yang sedang menghisap darah saudaranya, ada sebagian orang
di negeri ini tega mengamputasi anggaran bangunan sekolah, padahal disana
anaknya bersekolah. Ada yang tega mengamputasi pembangunan jembatan dan jalan
padahal keluarganya yang menjadi nelayan atau petani yang melintasi jembatan
atau jalan tersebut unuk mendistribusikan hasil usahanya. Ada hak penyandang
cacat, lanjut usia, masyarakat miskin yang dirampok oleh mereka yang sudah kaya
demi melanggengkan kekayaan mereka, tanpa sedikitpun memiliki hati nurani.
Padahal pada dasarnya tidak ada
yang dirugikan jika tidak ada anggaran yang dikorupsi, masyarakat bisa
menikmati infrastruktur terbaik, perekonomian akan bergulir dengan baik, distribusi
barang semakin lancer, kualitas SDM akan semakin baik karena siswa akan
bersekolah dengan tenang, dan banyak kebaikan-kebaikan lain. Tapi entah mengapa
banyak pihak di negeri ini tega merusak harmoni yang seharusnya terwujud. Entah
hilang kemana need of achievement (N ach) di negeri ini. Ada yang tidak bangga
jika negeri ini maju, ada yang tidak happy jika pembangunan berjalan optimal,
dan ada yang terganggu jika masyarakat maju. Padahal Jepang maju karena kaizen
dan agama Tokugawa, eropa maju karena etika protestan, sedangkan kian hari kita
kehilangan jati diri dan tidak merasa sedih kehilangan harga diri sebagai harta
yang paling bernilai.
Tengoklah bangsa lain yang begitu
mencintai negerinya sehingga masing-masing warga memberikan kontribusi dengan
menjadi warga negara yang baik, tidak berani mengkorupsi dana-dana pembangunan
terkait khalayak umum karena mereka sadar toh mereka sendiri yang rugi, mereka
bekerja di pemerintahan dengan menjadi pelayan masyarakat, mereka menjaga
bangunan yang ada tanpa harus menunggu tindakan pemerintah. Tidak membuang
sampah sembarangan, tidak melanggar lalu lintas, membayar pajak tanpa
mengakali, menjaga sungai, hutan dan dan harmonis dengan alam.
Harusnya kita berkabung dengan jati
diri yang hilang, kehilangan jati diri yang meng-kolektif dari pusat hingga
daerah, kita lebih senang menghisap darah saudara dan tetangga sendiri, pejabat
lebih senang melihat rakyatnya dalam kesusahan dan balutan tangisan. Mari kita
akhiri, raih kembali jati diri yang memudar dengan menjadi bangsa yang beradab,
bangsa yang memanusiakan manusia lainnya.***