Diberdayakan oleh Blogger.

Orang Miskin Dilarang Merokok


posted by rahmatullah on ,

No comments



Tulisan ini komparasi dua tulisan yang sudah dipublikasikan sebelumnya:

Saya bukanlah seorang perokok, tapi tertarik mengamati dunia pe-roko-an, karena memang dari dulu menjadi korban lingkungan yang sebagian besar perokok, mulai dari SMA, kampus sampai dengan sekarang di lingkungan kerja. Entah kenapa jika dihitung presentasi kawan yang merokok dalam komunitas yang pernah saya ikuti sebagain besar merokok dan sisanya terpaksa menjadi pesakitan karena menampung buangan asap para perokok. Tidak jarang teman yang merokok menyindir mereka yang tidak merokok “Daripada lu jadi perokok pasif, nyedot asep orang lewat idung, mendingan lu ngerokok sekalian”. Saya tidak terjebak dengan sindiran itu, gak ada alasan rasional untuk merokok, sekali gak ngerokok ya gak ngerokok, soalnya saya pikir, lebih baik anggaran merokok digantikan untuk membeli susu, membeli makanan yang lebih bergizi atau di sedekahkan agar nilainya ‘memberdayakan’. Namun yang menjadi paradoks mayoritas penduduk Indonesia adalah miskin tapi kok merokok mampu, atau menganggur tapi merokok jalan terus, puasa makan bisa tapi puasa merokok gak bisa.

Satu kali saya sempat membuat merah wajah kawan, diawali obrolan keluh kesah kawan tersebut mengenai gaji yang kecil, sedangkan anak sudah tiga, istri tidak bekerja, disisi lain kebutuhan bulanan terus bertambah, beliau bercerita sambil merokok yang gak ada putusnya. Lalu saya jawab “Bapak gak takut sakit? kalau Bapak sakit terbayangkah biaya rumah sakit berapa?”, beliau seperti bingung mendengar respon saya yang gak nyambung “Lho kok malah nanya sakit, saya memang gak mau sakit, apa kaitannya dengan kondisi saya!”. Saya sambung lagi “Bukan begitu Pak, coba bayangkan kalau tiba-tiba Bapak sakit dan harus dirawat gara-gara sesak nafas misalnya, sedangkan resiko terkena penyakit akibat rokok bukan jenis sakit ringan, gimana istri dan anak bapak nanti. Nah saya Tanya sehari Bapak merokok berapa bungkus?”. Beliau menjawab “Ya biasanya dua bungkus” saya tanggapi lagi “Bapak merokok merek xxxx, harga sebungkusnya sekitar Rp.10.000, coba bapak kali sebulan, total Bapak bisa habiskan uang dalam satu bulan untuk rokok saja sekitar Rp. 600.000, dan andai uang sejumlah itu Bapak masukan ke anggaran makan keluarga, setiap hari anak Bapak bisa minum susu, makan daging, atau mungkin jika ditabung, hitung berapa jumlahnya setelah satu tahun”. Tiba-tiba Bapak itu terdiam, lalu mematikan rokoknya kemudain menjawab “Iya ya… kenapa kok saya gak mikir kesana”. Tapi herannya sampai sekarang asap rokok masih mengepul dari mulutnya, walaupun beliau gak berani merokok di depan saya. Saya pikir wajib hukumnya bagi orang yang kesulitan ekonomi berhenti merokok biar gak sakit asma sesungguhnya, juga gak terjepit asma kantong kempis.

Namun diantara berbagai macam alasan merokok, ada satu tipe perokok yang saya anggap wajar, yaitu jenis perokok sosial. Rokok sosial biasanya digunakan oleh pekerja sosial atau pekerja survey dalam rangka melakukan pendekatan, penelitian atau assesmen terhadap masyarakat, karena bisanya setelah berbagi rokok kepada narasumber atau ketika narasumber yang kebetulan laki-laki merokok dan kita temani, biasanya wawancara menjadi lebih mengalir, data bisa di dapat dan terbentuk kedekatan dengan narasumber. Hebatnya perokok sosial adalah mereka yang bukan candu, ketika wawancara selesai merokoknyapun selesai dan baru akan meroko lagi ketika menemukan narasumber perokok atau yang sedang merokok. Tapi Hamdulillah setahun saya menjadi pengelola CSR perusahaan, bisa dipercaya masyarakat dan mendapatkan data akurat tanpa harus merokok.

Sebetulnya pembahasan awal diatas sudah jauh dari judul, tapi gak apalah rokok begitu membekas dalam benak saya karena wasilah meninggalnya Bapak saya dikarenakan beliau perokok berat, maklum karena seorang nelayan butuh kehangatan badan ketika berada di tengah lautan. Kembali ke judul diatas, saya sebetulnya ingin bercerita mengenai keunikan rokok di lokasi saya bekerja di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Dilokasi saya bekerja tidak ada yang menjual rokok batangan atau eceran, gak hanya warung besar begitu juga di warung kecil, rokok yang ada dijual perbungkus, dan memang pada dasarnya gak ada juga warga yang membeli rokok perbatang. Hal tersebut pernah saya tanyakan ke kawan yang asli orang sampit, dia bilang “Mana ada di kalimantan ini orang jual rokok batangan, yang ada perbungkus, bapak ni becanda”. Dasar beliau menyampaikan hal tersebut karena gak percaya kalau dijawa rokok dijual eceran, berapa batang pun kita beli pasti ada yang jual. Apalagi sering kita lihat spanduk yang menginformasikan rook xxxx Rp 1000 dapat tiga batang. Bisa jadi kondisi ini terjadi karena rendahnya nilai uang di pulau Kalimantan atau mungkin tingginya daya beli masyarakat.

Ada satu keunikan juga, dimana banyak rokok-rokok bermerek “aneh” di Kalimantan, tidak hanya rokok pada umumnya yang kita kenal beredar, justru yang lebih banyak mendominasi pasar adalah rokok mereknya unik, yang mungkin jarang orang-orang mengenalnya. Ada yang bermerek gudang jati, nes, win, golden gate, up mild, filo, bokormas, 345, gulden, dll. Selidik punya selidik ternyata hampir semua rokok ini tidak memiliki cukai atau biaya pajak, harga jual perbungkusnya-pun murah, berkisar antara Rp 3000 - Rp 6.000. Ternyata asumsi saya keliru, kenapa gak ada yang jual rokok eceran, bukan karena daya beli yang tinggi atau rendahnya nilai uang di Kalimantan, justru karena banyaknya rokok merek “aneh” itulah yang merusak harga rokok resmi, makanya warga lebih memilih rokok yang harganya Rp 3000 sebungkus daripada Rp 1.000 yang jumlahnya tiga batang.

Namun demikian jika dikaitkan dengan kesehatan ukurannya bukan kuantitatif atau kualitatif lagi. Seorang kawan satu group perusahaan yang kebetulan sedang melakukan pendampingan tim peneliti IPB ketika meninjau perusahaan, sempat tergiur mersakan rokok yang bermerek aneh, maka belilah si kawan tersebut tiga bungkus rokok dengan merek sama dengan rasa yang berbeda, ketika dicoba dan dihirupnya beberapa kali sedotan, kawan tersebut langsung memejamkan mata lalu bilang “Haduh, pusing benar kepala ni, ni rokok apa racun bikin pening kepala”. Mungkin karena rokok “aneh” ini tidak ada penelitian berapa kadar nokotin, tar dan sebagainya, sehingga konsumen dicocok dengan rokok yang tidak jelas apa kandungan di dalamnya. Sebetulnya gak ada istilah keracunan dengan rokok, mau jenis apapun rokok ya rokok tetap racun, apalagi rokok yang aneh mereknya semakin parah lagi racunnya. Selamat “merokok”…

Oia ada satu Pamfelet yang pernah saya buat tentang dampak rokok terhadap kesejahteraan, bisa jadi bahan pertimbangan para perokok.

Leave a Reply

Sketsa