Dalam
kajian teori pembangunan, terdapat dua kutub teori besar, yaitu teori
modernisasi dan teori struktural. Kedua teori ini membahas mengenai
faktor-faktor penghambat dan pendukung pembangunan suatu negara. Ibarat sebuah
tubuh, teori modernisasi membahas faktor-faktor bawaan atau penyebab dari dalam
yang mempengarhi pembangunan suatu negara. Begitu sebaliknya, teori struktural
membahas faktor-faktor luar yang mempengaruhi maju mundurnya pembangunan suatu
negara.
Mencari
sebab mengapa sebuah negara bisa maju atau terbelakang, bisa diibaratkan pada
tubuh yang terkena penyakit. Sesorang yang sakit karena faktor bawaan,
ketidaksempurnaan gen, motivasi yang rendah, diibaratkan sebagaimana teori
modernisasi. Sedangkan sesorang yang sakit akibat sumber-sumber dari luar,
seperti terpapar virus, tertular, terinfeksi akibat perubahan cuaca dan
sebagainya, diibaratkan sebagai teori struktural.
Jangan
berkerut jidat, tulisan ini tidaklah berat sebagaimana kita memandang sebuah
teori. Hanya sekedar mengantarkan pemahaman apa yang sebenarnya terjadi di
negeri ini. Tulisan ini coba membatasi pada teori modernisasi. Dalam teori
modernisasi terdapat dua pandangan mengenai nilai sebuah spirit, semangat,
etos, kerja keras, dan moral yang mengantarkan beberapa negara di eropa, USA dan
Asia menjadi negara besar.
Pertama,
Max Webber yang lebih dikenal dengan pandangan Etika Protestan, menyebutkan
bahwa keberhasilan Eropa dan AS karena lahirnya agama Protestan (Calvin) yang
antara lain beranggapan bahwa keberhasilan di dunia menentukan keberhasilannya
di akhirat. Konsep yang amat sederhana, dan sebenarnya diajarkan dalam agama
manupun, yakni mengenai konsep berbuat baik. Rupanya pada zamannya konsep berbuat
baik ini menjadi spirit masyarakat eropa dan amerika untuk melakukan hal terbaik
bagi bangsanya, demi mencapai imbalan kebahagiaan di akherat. Kejujuran,
keikhlasan, dan kerja keras menjadi dasar masyarakat yang ternyata berakumulasi
pada kemajuan bangsa-bangsa eropa dan amerika.
Spirit
etika protestan ini rupanya menular pada bangsa jepang dengan aliran Tokugawa,
sama percis nilai yang tertanam adalah semangat memperbaharui diri, bekerja keras,
bertanggungjawab, disiplin dan menjaga ketaraturan menjadi dasar berbuat warga
negara yang terakumulasi pada kemajuan bangsa jepang.
Baik
etika protestan maupun tokugawa, menanamkan nilai-nilai moral, sehingga
menjauhkan warga negara dari sifat licik, acuh, korupsi, kolusi, nepotisme, Asal
Bapak Senang (ABS), munafik dan segala nilai tercela lainnya yang bisa
merugikan negaranya.
Kedua,
MC Lelland yang lebih dikenal dengan pandangan Need Of Achievement (N’ach) menyebutkan bahwa seorang yang berhasil
itu karena punya dorongan besar untuk mencapai keinginannya, bukan karena ia
mendapat imbalan tetapi karena ia mendapat kepuasan batin, sebagai pengaruh
dari paradigma yang ia miliki. Dalam pandangan ini terang sudah bahwa motivasi dan
ketulusan adalah ruh kemajuan suatu bangsa. Tanpa motivasi yang kuat dan
ketulusan sebuah negara tidak akan maju. Bagi masyarakat yang menganut konsep
ini berkeyakinan bahwa motivasi tertanam dalam lubuk hati masyarakat, bukan
pada mulut motivator atau siapapun. Karena jika motivasi datang dari mulut motivator
hanya berdampak sesaat, dan mudah lupa. Oleh karena itu profesi motivator tidak
laku di negara-negara yang menganut konsep N’ach.
Jika
kita tengok pada apa yang terjadi di negeri kita, nampak seperti republik minus…
Kita minus semangar berbuat baik, bertanggungjawab, disiplin, bekerja keras,
berbuat ikhlas. Yang nampak adalah kecacatan moral dan tumbuh berkembang segala
sifat licik acuh, korupsi, kolusi, nepotisme, Asal Bapak Senang (ABS), munafik
dan segala nilai tercela lainnya yang bisa merugikan negaranya.
Media
membeberkan segala macam kecacatan moral bangsa ini, dan sepertinya bukan efek
jera yang didapat dari segala tontonan, malah telah berubah menjadi tuntunan
untuk di-copy paste diterapkan dibagian
negeri yang lain. Mengapa profesi motivator bergitu mendapatkan tempat, karena
masyarakat kita memang sakit, tidak percaya diri. Padahal efek motivasi yang bersumber
dari luar ibarat sambal yang pedasnya sesaat, selepas itu orang-orang kembali
pada habitat atau kebiasaannya seperi semula. Berapa ribu orang lulus ESQ dan
segala pelatihan lainnya yang dampaknya tidak lama. Masalahnya motivasi dan ketulusan
bukan berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Inilah kita sedang menjadi
republik minus… Jawabannya hanya dua, menjalankan agama dengan baik dan
senantiasa berbuat baik, sebagaimana konsep etika protestan, dan kedua memiliki
motivasi dan ketulusan dalam berbuat. JS Mill bilang keberhasilan suatu bangsa
dikarenakan akumulasi keberhasilan warga negaranya, dan sebaliknya kegagalan
suatu bangsa adalah akibat akumulasi kegagalan warga negaranya. Bagaimana
dengan kita?***