Diberdayakan oleh Blogger.

Peka(k)


posted by rahmatullah on

No comments


Hanya beda satu huruf, rupanya memiliki arti yang berlawanan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), Peka memiliki arti mudah merasa, tidak lalai atau mudah bergerak. Sedangkan salah satu arti Pekak, yaitu kurang baik pendengaran , pura-pura tuli atau sengaja tidak mau mendengarkan. 

Dalam konsep kepemimpinan, salah satu pra syarat seseorang layak disebut sebagai pemimpin adalah memiliki kepekaan, mudah merasa, atau turut merasakan. Namun prasyarat ini sudah jauh ditinggalkan, karena profil kepemimpinan masa kini malah sebaliknya pura-pura tidak tahu, tidak mau mendengarkan bahkan tidak mau merasakan apa yang masyarakat rasakan. Mungkin kesalahan fatal, karena masyarakat sendiri yang memilih pemimpin atau wakil-wakilnya karena uang, bukan karena suara hatinya, sehingga mudah bagi pemimpin terpilih untuk kemudian menghianati. 

Model kepemimpinan Pekak, semakin hari semakin disuguhkan di negeri ini, Kasus kerusuhan Bima hingga terjadinya pembakaran kantor Bupati menunjukkan bahwa seorang Bupati  begitu kukuh mempertahankan izin tambang yang ditandantanganinya, dibandingkan mendengarkan suara masyarakat yang telah memilihnya. Apa yang terjadi di Bima adalah salah satu profil dari ratusan profil kepemimpinan kepala daerah di Indonesia yang melakukan perselingkuhan dengan pemodal dibanding mendengarkan keluh kesah rakyatnya. Maka wajar jika bermunculan konflik antara masyarakat dan perusahaan karena pemimpin yang seharusnya memediasi, menjadi tautan keadilan bagi rakyatnya karena sudah tersandra kolusi bisnis, sehingga menjadi Pekak.

Banyak juga pemimpin yang tidak mau basah, ketika masyarakatnya dilanda musibah banjir, tidak mau terkotori tanah ketika masyarakatnya dilanda tanah longsor atau tidak mau masuk angin ketika rakyatnya terkena puting beliung, tidak mau gatal-gatal ketika rakyatnya terpapar polusi. Profil kepemimpinan yang begitu jelas menunjukkan jarak.

Ada hal menarik, ketika tim investigasi DPR terkait kasus mesuji, mengunjungi lokasi kerusuhan, rupanya tim tersebut tidak mengunjungi desa yang sebetulnya vital untuk di kunjungi untuk mendapatkan data primer, alasannya jalan yang harus mereka lalui putus akibat hujan dan aktivitas padat. Alangkah lucunya alasan tersebut, bagaimana mereka bisa menampung aspirasi dan informasi penting dan sama sekali tidak mau merasakan apa yang biasa masyarakat rasakan yaitu infrastruktur jalan yang rusak di pedalaman yang semestinya wakil rakyat juga tau dan merasakan.

Mudah mengidentifikasi contoh kepemimpinan pekak dan berjarak, pejabat yang berkunjung pada satu wilayah selalu dipayungi ajudannya padahal dalam kondisi tidak hujan, pejabat yang berkacamata hitam ketika bertemu masyarakat, pejabat yang menggunakan pakaian necis dan kendaraan mewah ketika mengunjungi kantong-kantong masyarakat miskin, dan mungkin banyak contoh lainnya.

Selayaknya jika seorang pemimpin beragama Islam, maka ia wajib menunaikan konsep kepemimpinan Islam yang merujuk kepada Rasulullah dan sahabat. Salah satu jawaban mengapa Nabi Muhammad menjadi pemimpin terbesar di dunia, bahkan menjadi nomor 1 dari 100 profi kepemimpinan dunia menurut Michael H heart, dikarenakan model kepemimpinan tak berjarak yang Rasulullah lakukan. Beliau salah satu pemimpin yang tak bersinggasana, tak beristana, bergaya hidup sama dengan masyarakatnya, memimpin dengan prinsip melayani, bukan sebaliknya menerima berbagai pelayanan rakyat. Bahkan Rasulullah pernah ditegur keras oleh Allah dalam surat Abasa ketika satu waktu lebih mengutamakan tamu-tamu bangsawan dibanding mendengarkan seorang buta bernama Abdullah bin Umu Maktum. Yang kemudian beliau menyesal, meminta maaf kepada Umu Maktum, lalu lebih mengutamakan masyarakat bawah dan tidak membeda-bedakan rakyatnya berdasarkan strata. Mengapa Islam mendapatkan tempat dalam masyarakat, karena Rasulullah menerapkan konsep kepemimpinan Islam yang ‘merasakan’ atau penuh kepekaan. Namun kini sebagian besar pemimpin di Indonesia yang merupakan Muslim kian jauh dari model kepemimpinan Rasulullah.

Tidak bisa juga kita salahkan sepenuhnya pemimpin terpilih yang semakin menunjukkan jarak dan kepekak-annya, karena memang masyarakat juga yang telah salah memilih, yang menggadaikan masa depannya karena uang yang tidak seberapa, mudah terkena bujuk rayu, terbohongi kedok pencitraan seolah-olah sesorang baik, alim, hanya karena pakaian dan aneka sumbangan demi meluluhkan hati rakyatnya, yang kemudian saat memimpin berubah menjadi monster gila. Maka tidak ada asap jika tidak ada api. Semoga kelak muncul model kepemimpinan peka tanpa (k).***

Leave a Reply

Sketsa