Hanya beda satu huruf, rupanya
memiliki arti yang berlawanan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), Peka
memiliki arti mudah merasa, tidak lalai atau mudah bergerak. Sedangkan salah
satu arti Pekak, yaitu kurang baik pendengaran , pura-pura tuli atau sengaja
tidak mau mendengarkan.
Dalam konsep kepemimpinan, salah
satu pra syarat seseorang layak disebut sebagai pemimpin adalah memiliki
kepekaan, mudah merasa, atau turut merasakan. Namun prasyarat ini sudah jauh
ditinggalkan, karena profil kepemimpinan masa kini malah sebaliknya pura-pura
tidak tahu, tidak mau mendengarkan bahkan tidak mau merasakan apa yang
masyarakat rasakan. Mungkin kesalahan fatal, karena masyarakat sendiri yang memilih
pemimpin atau wakil-wakilnya karena uang, bukan karena suara hatinya, sehingga
mudah bagi pemimpin terpilih untuk kemudian menghianati.
Model kepemimpinan Pekak, semakin
hari semakin disuguhkan di negeri ini, Kasus kerusuhan Bima hingga terjadinya
pembakaran kantor Bupati menunjukkan bahwa seorang Bupati begitu kukuh mempertahankan izin tambang yang
ditandantanganinya, dibandingkan mendengarkan suara masyarakat yang telah
memilihnya. Apa yang terjadi di Bima adalah salah satu profil dari ratusan
profil kepemimpinan kepala daerah di Indonesia yang melakukan perselingkuhan
dengan pemodal dibanding mendengarkan keluh kesah rakyatnya. Maka wajar jika bermunculan
konflik antara masyarakat dan perusahaan karena pemimpin yang seharusnya
memediasi, menjadi tautan keadilan bagi rakyatnya karena sudah tersandra kolusi
bisnis, sehingga menjadi Pekak.
Banyak juga pemimpin yang tidak
mau basah, ketika masyarakatnya dilanda musibah banjir, tidak mau terkotori
tanah ketika masyarakatnya dilanda tanah longsor atau tidak mau masuk angin
ketika rakyatnya terkena puting beliung, tidak mau gatal-gatal ketika rakyatnya
terpapar polusi. Profil kepemimpinan yang begitu jelas menunjukkan jarak.
Ada hal menarik, ketika tim
investigasi DPR terkait kasus mesuji, mengunjungi lokasi kerusuhan, rupanya tim
tersebut tidak mengunjungi desa yang sebetulnya vital untuk di kunjungi untuk
mendapatkan data primer, alasannya jalan yang harus mereka lalui putus akibat
hujan dan aktivitas padat. Alangkah lucunya alasan tersebut, bagaimana mereka
bisa menampung aspirasi dan informasi penting dan sama sekali tidak mau
merasakan apa yang biasa masyarakat rasakan yaitu infrastruktur jalan yang
rusak di pedalaman yang semestinya wakil rakyat juga tau dan merasakan.
Mudah mengidentifikasi contoh
kepemimpinan pekak dan berjarak, pejabat yang berkunjung pada satu wilayah
selalu dipayungi ajudannya padahal dalam kondisi tidak hujan, pejabat yang
berkacamata hitam ketika bertemu masyarakat, pejabat yang menggunakan pakaian
necis dan kendaraan mewah ketika mengunjungi kantong-kantong masyarakat miskin,
dan mungkin banyak contoh lainnya.
Selayaknya jika seorang pemimpin
beragama Islam, maka ia wajib menunaikan konsep kepemimpinan Islam yang merujuk
kepada Rasulullah dan sahabat. Salah satu jawaban mengapa Nabi Muhammad menjadi
pemimpin terbesar di dunia, bahkan menjadi nomor 1 dari 100 profi kepemimpinan
dunia menurut Michael H heart, dikarenakan model kepemimpinan tak berjarak yang
Rasulullah lakukan. Beliau salah satu pemimpin yang tak bersinggasana, tak
beristana, bergaya hidup sama dengan masyarakatnya, memimpin dengan prinsip
melayani, bukan sebaliknya menerima berbagai pelayanan rakyat. Bahkan Rasulullah
pernah ditegur keras oleh Allah dalam surat Abasa ketika satu waktu lebih
mengutamakan tamu-tamu bangsawan dibanding mendengarkan seorang buta bernama
Abdullah bin Umu Maktum. Yang kemudian beliau menyesal, meminta maaf kepada Umu
Maktum, lalu lebih mengutamakan masyarakat bawah dan tidak membeda-bedakan
rakyatnya berdasarkan strata. Mengapa Islam mendapatkan tempat dalam
masyarakat, karena Rasulullah menerapkan konsep kepemimpinan Islam yang ‘merasakan’
atau penuh kepekaan. Namun kini sebagian besar pemimpin di Indonesia yang
merupakan Muslim kian jauh dari model kepemimpinan Rasulullah.
Tidak bisa juga kita salahkan
sepenuhnya pemimpin terpilih yang semakin menunjukkan jarak dan kepekak-annya,
karena memang masyarakat juga yang telah salah memilih, yang menggadaikan masa
depannya karena uang yang tidak seberapa, mudah terkena bujuk rayu, terbohongi
kedok pencitraan seolah-olah sesorang baik, alim, hanya karena pakaian dan aneka
sumbangan demi meluluhkan hati rakyatnya, yang kemudian saat memimpin berubah
menjadi monster gila. Maka tidak ada asap jika tidak ada api. Semoga kelak
muncul model kepemimpinan peka tanpa (k).***