Diberdayakan oleh Blogger.

Bukan Sinetron


posted by rahmatullah on

No comments



Tiga tahun lalu saya menjejakan kaki di pedalaman Kalimantan Selatan, tepatnya di Desa Mangkalapi, Kabupaten Tanah Bumbu. Dari Ibukot provinsi Banjarmasin, hingga ke desa tersebut membutuhkanwaktu perjalanan  sekitar 8 jam. Tepat tengah malam saya sampai di mes yang merupakan rumah warga di kontrak oleh perusahaan, karena perjalanan malam dan kondisi letih, tak sempat saya melihat kondisi sekitaran. Yang pasti setiba di mes dengan hanya bercahaya lampu minyak, saya hanya sempat berkenalan dengan staff yang sudah dulu berada di lokasi, shalat jama margib dan isya, setelah ditunjukkan kamar saya langsung terlelap tidur.
Esok subuh, dalam temaram gelap saya terbangun bersiap menunaikan tugas di hari pertama bekerja, kebetulan kantor pusat meminta saya mengelola CSR perusahaan yang ditinggal pergi staf CSR sebelumnya. Salah satu tugas pertama adalah membuat pemetaan sosial dan melakukan kajian kebutuhan masyarakat. Pagi beranjak, matahari mulai menampakan cahayanya, barulah tersadar dimana hari  tersebut saya berdiri. Rumah yang perusahaan kontrak untuk dijadikan mes, adalah rumah panggung beralaskan kayu, tampak di depan rumah jalan tanah, becek, penuh kubangan sana-sini, rumah penduduk dengan  bentuk yang sama bergerombol mengikuti alur jalan.
Salah satu staf senior menyapa, menanyakan kesiapan saya ke lapangan hari ini, beliau menyarankan saya untuk beristirahat karena perjalanan panjang dari Jakarta. Namun saya putuskan untuk tetap mulai bekerja, minimal  melakukan orientasi medan. Staf senior meminta saya mengenakan sepatu boot celana panjang berbahan tebal dan membawa minum kemasan untuk bekal di jalan. Kami berangkat mengggunakan sepeda motor yang sudah dimodifikasi, ban depan dan belakang telah berganti ban tahu, spakboard sudah berganti, dan kaki-kaki sudah ditinggikan.
Penuh perjuangan memacu motor di jalan tanah berbalut lumpur, berkali-kali kami hampir terjatuh, kembali membersihkan ban yang penuh lumpur dan begitu selanjutnya, hingga setengah jam beralalu kami sampai lokasi. Beliau melanjutkan memacu motor menuju lokasi pembukaan lahan, sedangkan saya berhenti di desa terdekat untuk memulai perkenalan awal dengan warga untuk membangun kedekatan. Beliau berjanji akan menjemput saya tiga jam kemudian untuk pulang makan siang.
Tiga jam pertama di desa tersebut penuh pengetahuan baru bagi saya, tiba di rumah kepala desa, disambut hangat lalu di jamu. Beliau menjelaskan kondisi desa, memperlihatkan data desa, dsb. Lamat-lamat saya perhatikan kondisi rumah dan penghuni rumah. Di dalam rumah kayu tersebut terdapat sepeda motor, TV, mesin cuci, seingat saya di desa tersebut tidak ada aliran listrik PLN. Selepas dari rumah Kades, saya beranjak berjalan kaki melawan jalan berlumpur menuju rumah tokoh masyarakat lainnya.
Sepanjang jalan berkali-kali saya terkaget melihat gadis-gadis desa mengenakan rok mini berwarna warni, ber make-up tebal, cekikikan memainkan HP. Setiba di rumah panggung tokoh masyarakat, kembali saya disambut hangat, disamping mengobrol saya amati penghuni rumah dan seisi rumah, terdapat TV, VCD, speaker, dan sepeda motor matik, dan salah satu anak penghuni rumah berdandan cantik, mengenakan legging dan kaus ketat. Sempat saya tanya, menghidupkan TV pakai apa, si penghuni rumah menjawab pake genset.
Karena sudah tiga jam, saya memutuskan permisi pulang dan menunggu staff senior untuk jemput di warung kopi tepian jalan. Warung kopi di tengah kampung yang terletak di tengah hutan berdentum musik disko, dag dug dag dug. Sambil memesan kopi, geleng-geleng kepala saya, bukan karena mengikuti irama music, melainkan terkesima dengan kondisi kampung. Muda-mudi nongkrong, yang laki-laki mengenakan kaos distro, celana kargo dengan kantong belakang lebar, yang perempuan mengenakan lipstick dan bedak tebal, kaos ketat, jika tidak mengenakan rok warna warni, mereka mengenakan legging. Cekak-cekikik mereka memainkan HP terbaru, yang salah satu fungsinya adalah untuk BBM, seingat saya itu akhir tahun 2009, dimana di Jakarta pun masih jarang orang menggunakan BB, tapi di kampung ini sudah banyak pengguna BB. Terlupa memang sejak semalam saya belum menyalakan HP disaku, seketika saya nyalakan Nampak tak ada sinyal sebatangpun yang terpancing ke layar HP.  Rupanya desa ini terisolir dari jangkauan BTS, namun tidak habis pikir apa yang mereka mainkan dari HP canggih di tangan mereka, disaat tak ada sebatang sinyalpun. Panggilan rekan yang jemput membuyarkan lamunan saya, kami pulang untuk makan siang di mes, hamdulillah jalan tidak selicin pagi, karena hari  ini matahari terik, mengeringkan sebagian lumpur di jalan.
Waktu sore menjelang, di warung depan mes saya nongkrong  bersama rekan kerja lain, hari ini memang cerah, jalanan kering, Nampak muda-mudi memacu sepeda motor matik dan injeksi terbaru, saya sebagai orang yang baru sehari berada di desa tersebut geleng-geleng. Rekan kerja lain malah menertawakan saya, mereka bilang “Jangan kaget Pak, kampung disini lebih hebat urusan barang baru atau mode dibanding kampung kita di jawa”. Memang benar HP kami rata-rata produk lama, begitu juga pakaian yang kami kenakan lebih kuno dibanding baju model baru yang warga kampung kenakan.
Malam menjelang, satu persatu rumah warga menyalakan mesin genset dan nampak terang, hanya mes kami yang memang diterangi lampu minyak. Malam itu rekan kerja megajak saya berkunjung ke salah satu rumah warga yang juga tokoh masyarakat, hendak mengenalkan saya sebagai karyawan baru. Setiba di rumah tersebut Nampak banyak warga juga disana khususnya ibu-ibu dan para gadis desa, berdesakan menyaksikan TV, rupanya mereka sedang menyaksikan sinetron, dan ramai riuh mengomentari dialog dalam sinetron tersebut, di tambah deru mesin genset menambah ramai suasana.
Hari kedua bekerja, kepala saya dipenhi aneka pertanyaan, banyak ironi di kampung ini, satu sisi menampakan kemiskinan dengan banyak indikator, sisi lain menampakkan kemewahan dengan berbagai indikator. Hari itu saya putuskan menemui tokoh pemuda kampung, yang juga menjabat sekretaris desa, satu-satunya warga yang mengenyam pendidikan S1. Beliau tertawa saat akan menjawab aneka pertanyaan saya tentang kondisi desa, tertawa dengan air muka dingin. Beliau menjawab sederhana, jika globalisasi sudah masuk desa. Beliau menjelaskan panjang lebar, jika desanya terkategorikan desa tertinggal atau miskin, hanya terdapat satu SD dengan gurunya hanya lulusan paket B dan C, warga desa menjadkan suangas sebagai tempat mandi, cuci dan kakus, walau sudah terpapar merkuri akibat tambang batu bara dan emas liar. Rata-rata pendidikan warga hanya sampai SD, jika hujan lebat jalan tidak bisa dilalui kecuali oleh modil double gardan, tanah warga sudah bukan milik warga melainkan sudah dibeli perusahaan kelapa sawit dan tambang batu bara.
Dari jual tanah warga bisa membeli TV, parabola, dan kendaraan roda dua terbaru, tokoh pemuda tersebut berujar bahwa televisi telah menjadi imam baru buat warga. Dari menjual tanah, satu persatu warga bisa membeli TV, parabola dan genset. Mereka menelan bulat-bulat apa yang tersaji dalam TV, terutama sinetron, beliau bilang jangan kaget jika warga pakai rok mini, berdandan menor, membeli motor terbaru, hp terbaru, itu karena tontonan TV. Mereka angap jika semua yang tersaji di TV adalah kenyataan di Jakarta yang harus mereka tiru, suapaya disebut modern.
Sebagian pertanyaan dalam benak saya terjawab, rupanya mereka pake BB walaupun tanpa sebatang sinyal karena iklan TV, mereka mengenakan celana legging, kaos sempit dan rok mini juga karena menyaksikan sinetron, mereka membeli speda motor matik dan injeksi walau jalan berbalut lumpur karena pengaruh tontonan TV. Luar biasa pengaruh TV di kampung ini memang. Diujung cerita tokoh pemuda tersebut menyispipkan kekhawatiran akan warga yang sejatinya taraf ekonomi lemah namun memaksakan bergaya hidup mewah. Beliau bilang, liat saja disaat uang tabungan jual tanahnya habis, mereka akan jual apa yang mereka punya dan jual tanahnya lagi hingga tak bersisa kecuali rumah. Beliau juga memintai tolong kepada saya untuk juga sama-sama melakukan sesuatu.
Bagi saya amat unik, menemukan fenomena ‘perkembangan zaman’ di kampung yang terletak di tengah hutan, dan pada akhirnya saya menyadari betapa hebatnya pengaruh kotak TV bagi masyarakat yang menelan bulat-bulat apa yang disajikan oleh TV. Dilain pihak memang tidak ada sarana untuk menangkal segala perkembangan zaman, selain filter pada diri masing-masing.
Waktu berlalu, sekian bulan sudah saya tinggal di desa tersebut, hari-hari berikutnya sering muncul konflik antar keluarga, saling klaim lahan walau dalam satu keluarga, rupanya watak sinetron yang penuh hiperbola juga terbawa dalam perilaku warga kampung. Kejujuran mulai sulit ditemukan, jalan musyawarah sulit untuk menemukan kata mufakat. Ikhtiar saya waktu itu sebagai pengelola CSR adalah memetakan masalah, menghimpun tokoh masyarakat untuk sama-sama berbuat. Ikut menyampaikan pesan moral dan semangat bagi guru dan siswa di satu-satunya SD di kampung tersebut dan ikut menjadi khatib shalat jumat sebagai panggung menyampaikan pesan moral.
Satu tahun saya menetap di desa tersebut menunaikan tugas peruahaan mengelola CSR, Alhamdulillah walau tidak seberapa, ada setitik harapan untuk masyarakat tersadar dari lamunan akibat sihir sinetron, mereka mulai tersadar untuk menghadapi kenyataan. Saya amatpaham, waktu satu tahun tidaklah cukup untuk bekerja membangun masyarakat, butuh usaha keras yang sifatnya kolektif dan berkelanjutan. Karena satu dan lain hal saya tinggalkan desa tersebut. Semoga kini selepas tiga tahun kampung itu sudah bukan melakonkan sinetron lagi.***

Leave a Reply

Sketsa