Diberdayakan oleh Blogger.

Kemitraan Pemerintah dan Dunia Usaha


posted by rahmatullah on ,

No comments


Menurut Tenyson (1998), kemitraan adalah kesepakatan antar sektor dimana individu, kelompok atau organisasi sepakat bekerjasama untuk memenuhi sebuah kewajiban atau melaksanakan kegiatan tertentu, bersama-sama menanggung resiko maupun keuntungan dan secara berkala meninjau kembali hubungan kerjasama.
Kemitraan memiliki prinsip-prinsip dalam pelaksanaannya. Wibisono (2007, hal. 103) merumuskan tiga prinsip penting dalam kemitraan, yaitu:
1.       Kesetaraan atau keseimbangan (equity). Pendekatannya bukan top down atau bottom up, bukan juga berdasarkan kekuasaan semata, namun hubungan yang saling menghormati, saling menghargai dan saling percaya. Untuk menghindari antagonisme perlu dibangun rasa saling percaya. Ksetaraan meliputi adanya penghargaan, kewajiban, dan ikatan.
2.       Transparansi. Transparansi diperlukan untuk menghindari rasa saling curiga antar mitra kerja. Meliputi transparansi pengelolaan informasi dan transparansi pengelolaan keuangan.
3.       Saling menguntungkan. Suatu kemitraan harus membawa manfaat bagi semua pihak yang terlibat.
Dalam proses implementasinya, kemitraan yang dijalankan tidak selamanya, ideal, karena dalam pelaksanaannya kemitraan yang dilakukan didasarkan pada kepentingan pihak yang bermitra. Menurut Wibisono (2007, hal.104), Kemitraan yang dilakukan antara perusahaan dengan pemerintah maupun komunitas/ masyarakat dapat mengarah ketiga sekenario, diantaranya:
1.       Pola kemitraan kontra produktif
        Pola ini akan terjadi jika perusahaan masih berpijak pada pola konvensional yang hanya mengutamakan kepentingan shareholders yaitu mengejar profit sebesar-besarnya. Fokus perhatian perusahaan memang lebih bertumpu pada bagaimana perusahaan bisa meraup keuntungan secara maksimal, sementara hubungan dengan pemerintah dan komunitas atau masyarakat hanya sekedar pemanis belaka. Perusahaan berjalan dengan targetnya sendiri, pemerintah juga tidak ambil peduli, sedangkan masyarakat tidak memiliki akses apapun kepada perusahaan. Hubungan ini hanya menguntungkan beberapa oknum saja, misalnya oknum aparat pemerintah atau preman ditengah masyarakat. Biasanya, biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan hanyalah digunakan untuk memeilihara orang-orang tertentu saja. Hal ini dipahami, bahwa bagi perusahaan yang penting adalah keamanan dalam jangka pendek.
        Dalam sekenario ini kemitraan dapat saja terjadi namun lebih bersifat semu dan bahkan menonjolkan kesan negatif. Terlebih ini juga bisa memicu terjadinya fenomena buruk kapan saja misalnya pemogokan oleh karyawan atau buruh, unjuk rasa oleh komunitas atau masyarakat, dan pencemaran lingkungan serta eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Keadaan terburuk juga mungkin terjadi yakni terhentinya aktivitas atau bahkan tutupnya perusahaan.
2.       Pola Kemitraan Semiproduktif
        Dalam sekanario ini pemerintah dan komunitas atau masyarakat dianggap sebagai obyek dan masalah diluar perusahaan. Perusahaan tidak tahu program-program pemerintah, pemerintah juga tidak memberikan iklim yang kondusif kepada dunia usaha dan masyarakat bersifat pasif. Pola kemitraan ini masih mengacu pada kepentingan jangka pendek dan belum atau tidak menimbulkan sense of belonging di pihak masyarakat dan low benefit dipihak pemerintah. Kerjasama lebih mengedepankan aspek karitatif atau public relation, dimana pemerintah dan komunitas atau masyarakat masih lebih dianggap sebagai objek. Dengan kata lain, kemitraan masih belum strategis dan masih mengedepankan kepentingan sendiri (self interest) perusahaan, bukan kepentingan bersama (commont interest) antara perusahaan dengan mitranya.
3.       Pola Kemitraan Produktif
        Pola kemitraan ini menempatkan mitra sebagai subyek dan dalam paradigma commont interest. Prinsip simbiosis mutualisme sangat kental pada pola ini. Perusahaan mempunyai kepedulian sosial dan lingkungan yang tinggi, pemerintah memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha dan masyarakat memberikan dukungan positif kepada perusahaan. Bahkan bisa jadi mitra dilibatkan pada pola hubungan resourced based patnership, dimana mitra diberi kesempatan menjadi bagian dari shareholders. Sebagai contoh, mitra memperoleh saham melalui stock ownership Program.
Selama ini dunia usaha telah menjadi mitra strategis bagi pemerintah. Pada dasarnya kewajiban dasar perusahaan kepada pemerintah adalah pemenuhan atas kontraktual, yaitu  pemenuhan peraturan maupun persyaratan yang ditetapkan pemerintah seperti perizinan, pembayaran pajak, retribusi, ketenaga kerjaan, dll. Terdapat sejumlah fakta mengenai pentingnya hubungan antara perusahaan dengan pemerintah, sebagaimana dikemukakan (Wibisono, 2007, hal. 106).
1.       Dunia usaha merupakan mitra pemerintah untuk mengelola sumber daya yang mustahil bila seluruhnya bisa dikelola oleh pemerintah.
2.       Dunia usaha membantu pemerintah dalam dalam memutar roda perekonomian dan menggerakkan pembangunan.
3.       Dunia usaha memberikan penghasilan kepada pemerintah antara lain dalam bentuk pajak retribusi. Semakin besar usahanya, semakin besar pula pajak yang dapat disetor kepada pemerintah.
Sementara itu atas dukungan dari World Bank, Tom Fox, Halina Ward dan Bruce Howard tahun 2002 menurunkan laporan studi mengenai implementasi tanggungjawab sosial di negara-negara sedang berkembang yang memfokuskan pada peran yang dimainkan oleh pemerintah. Mereka mengidentifikasi adanya dua poros yang bisa dimainkan oleh pemerintah. Poros pertama berkaitan dengan peran dan poros kedua berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah. Ada empat peran dalam poros pertama, yang dimainkan sektor pemerintah (Wibisono, 2007, hal.110), yaitu:
1.       Pemberian mandat (mandating)
        Peran pemerintah dalam hal ini dapat berupa penyusunan standar minimum kerja bisnis yang masuk kedalam kerangka peraturan perundang-undangan, seperti standar emisi gas buang.
2.       Memfasilitasi (Fasilitating)
        Peran pemerintah dalam hal ini dapat berupa pemberian suasana yang kondusif bahkan insentif bagi perusahaan yang terlibat dalam agenda-agenda CSR sehingga mendorong perbaikan sosial dan lingkungan.
3.       Kemitraan (Patnering)
        Kemitraan strategis antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat madani untuk menangani permasalahan-permasalahan sosial dan lingkungan yang kompleks. Dalam hal ini pemerintah dapat mengambil peran sebagai partisipan, convenor atau fasilitator.
4.       Dukungan (Endorsing)
        Peran pemerintah dalam hal ini dapat berupa dukungan politik, dukungan melalui kebijakan atau dukungan lainnya.
Sedangkan untuk poros kedua (Wibisono, 2007, hal. 111), kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut:
1.       Menetapkan dan menjamin pencapaian standar minimal.
2.       Kebijakan publik tentang peran bisnis.
3.       Tata pamong korporat
4.       Investasi yang mendukung dan bertanggungjawab
5.       Filantropi dan community development
6.       Keterlibatan dan representasi stakeholders
7.       Produksi dan konsumsi yang mendukung CSR
8.       Sertifikasi yang mendukung CSR, standar beyond compliance, sistem manajemen.
9.       Transparansi dan pelaporan yang mendukung CSR
10.   Proses multipihak pedoman dan konvensi.

Referensi:
-          Utama, Sidharta (2010). Evaluasi Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia.
-          Wibisono, Yusuf.(2007) Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing,

Leave a Reply

Sketsa