Apa rasanya jika kita jatuh
cinta? Setiap orang punya pengalaman dan sensasi tersendiri tentang perjalanan
cinta. Kita sepakati, untuk cinta apapun kita lakukan, apapun kita korbankan.
Cinta yang baik dibangun atas dasar ketulusan, saling mengerti, tanpa pamrih
dan tegar menjalani prosesnya, bahkan tanpa syarat. Berbeda tipis dengan cinta ber-“motif”,
sama-sama cinta namun bersyarat, jika memberi pasti ada yang kelak di tagih
untuk dijadikan beban budi. Terkadang hanya dirinya yang ingin di mengerti,
keinginannya saja yang harus terkabul, jika maksud terwujud curahan cintanya berlipat
luar biasa, jika maksud terhalang cinta berubah menjadi benci, tak jarang
karena cinta berubah menjadi mencaci, memaki, bahkan menyakiti.
Coba kita alihkan konsep cinta
atas latar hubungan sesama manusia, dihadirkan dalam konteks kenegaraan. Jika
sudah kadung cinta, kita sudah tidak peduli ketampanan atau kecantikan, mungkin
sudah jadi urutan ke-12 hal itu dalam sebuah syarat. Kita yang sudah terlahir
dalam rahim ibu pertiwi, baik atau buruk rupa ibu kita, bukankah harus tetap
mencintai dengan tulus?. Betapa naifnya jika kita terlahir dari rahim ibu kita,
sekian lama di kandung badan, lantas yang kita cintai ibu yang lain, lantas
mencaci ibu sendiri. Maka wajar jika orang inggris memiliki semboyan kebanggaan
right or wrong england is my country. Berbeda dengan kita, baiknya di akui,
ketika negeri ini berada dalam titik nadir yang buruk, ramai-ramai menghujat,
bukan malah turut memperbaiki.
Dalam cinta, tanpa berpikir
panjang apapun kita korbankan bahkan berikan. Jika tulus pengorbanan dan
pemberian tanpa diikuti tuntutan. Jika maksud tercapai maka bersyukur, jika
belum tercapai maka melepaskan tanpa beban. Dalam konteks kenegaraan rasanya
belum banyak yang kita korbankan dan berikan, namun malah lebih banyak menuntut
ini dan itu. Jika masing-masing warga negara mencintai negaranya dengan tulus
dengan melakukan aneka pengorbanan, niscaya akan menjadi akumulasi kekuatan
bangsa yang tangguh. Ketulusan terbesar warga negara mungkin hanya pernah
dilakukan oleh pahlawan-pahlawan kemerdekaan. Dalam logika berpikir
bangsa-bangsa maju, setiap warga negara melakukan rutinitas pekerjaan harian,
orientasinya sama sekali bukan untuk pribadi, melainkan untuk kemajuan
bangsanya, maka wajar jika menjadi bangsa terdepan, karena nasib bangsa tidak
hanya pada pundak presiden, melainkan ada di bahu setiap warga negaranya.
Sedangkan kita apapun pekerjaan, orientasinya sudah beralih untuk keuntungan
pribadi. Maka jangan heran jika adagium John Stuart Mill sedang mewujud di
negeri ini “Kegagalan suatu bangsa adalah akumulasi kegagalan warga negaranya”.
Cinta dan benci amatlah tipis
perbedaannya… Mungkin semua berpengalaman soal ini. Jika cinta berbuah, maka
semakin berkobarah semangat untuk berkorban, bahkan untuk urusan ini apapun
syarat walaupun itu mustahil bisa diwujudkan, banyak cerita cinta yang
diabadikan dalam naskah kuno negeri ini, seperti tangkuban parahu, candi prambanan,
dll. Apa jadinya ketika buah cinta tidak terwujud? Sering kita bercanda, jika
cinta ditolak maka dukun bertindak. Ekspresi cinta tertolak malah menjadi
energi negatif yang maha dahsyat, terkadang semua jalan dihalalkan untuk ini.
Tak jarang berbagai hal dilakukan mulai dari mengancam, mengintimidasi,
menteror, hingga menyakiti, bahkan yang tiada terperi terjadi pembuhuhan hingga
bunuh diri.
Dalam konteks kenegaraan, cinta
tanah air tinggalah slogan, karena siapapun pasti berbicara hal ini. Tengok
saja siapapun pejabat negara, mulai dari kepala desa/ lurah, kepala SKPD,
bupati/ walikota, gubernur, kepala badan, anggota DPRD/DPR, menteri, hingga
Presiden, dalam setiap sambutan mengucapakna kalimat yang sama, yakni “Cinta
tanah air”. Lantas apakah antara kata sudah berbuah laku?.
Ekspersi cinta dalam negara kita ibarat
cinta seorang laki-laki yang dipustuskan kekasihnya. Sudah berubah menjadi
energi negatif yang maha dahsyat, menjadi membenci, mengancam, mengintimidasi,
bahkan berkeinginan membunuh ibu pertiwi yang rahimnya telah kita tempati.
Ibarat rayap, kita sedang memakan rumah dan seisinya dan tinggal menunggu untuk
roboh. Bukankah perilaku koruptif sudah menjelma menjadi darah daging bangsa
ini? Ulama sudah mencintai dunia dan menjadi begian dari kekuasaaan yang korup,
guru dan kepala sekolah menghalalkan anak muridnya mencontek agar lulus UN,
kepala desa menggelapkan beras kaum miskin, kepala SKPD berharap fee kegiatan,
anggota DPR/D menjadi makelar proyek-proyek pembangunan, Bupati/ Walikota
bahkan gubernur sudah banyak yang masuk tahanan akibat memperkaya keluarga dan
kolega. Lingkaran menteri dan presiden juga sama, tersandra oleh pemilik modal,
sehingga buntu pikiran untuk memajukan rakyat, malah semakin menzalimi rakyat.
Entah bagaimana bentuk wujud
cinta kita untuk negara? Orang-orang yang semestinya menjadi figur suritauladan
nampak sudah berkhianat. Negara ini memang sudah tidak dikelola dengan rasa
cinta yang tulus, melainkan cinta yang mengeksploitasi. Hanya setitik kebahagiaan, negeri ini walaupun
rapuh, namun tetap bertahan karena masih ada sosok-sosok malaikat-malaikat
kecil. Malaikat kecil tentunya masyarakat biasa, guru yang mengajar tanpa
pamrih, aparatur negara yang ikhlas disingkan karena pantang disuap dan memanipulasi,
pemimpin yang amanah walau itu mengurusi RT. Murka Tuhan tertahan karena masih
ada ustad kampung yang saban magrib mengajari anak mengaji walau hanya
diterangi lampu minyak, nelayan yang berjihad memenuhi kebutuhan perut
keluarganya walau diterjang gelombang dan badai, tukang becak, pedagang keliling
walau dalam keterjepitan hidup masih menegakan shalat, juga orang tua sepuh
yang mengabdikan hidupnya menjadi perawat masjid, juga malaikat-malaikat kecil
lainnya, yang memang sengaja bersembunyi dari popularitas. Mereka inilah yang mungkin
mencintai negeri ini dengan tulus.***