Bagi saya rencana pemerintah
menaikan harga BBM adalah sebuah keterpaksaan keadaan dan sebuah produk
kebijakan yang tidak kreatif. Jika menggunakan kata yang kasar, pemerintah amatlah “Malas”,
mengeluarkan kebijakan instan, tanpa mau kerepotan.
Dalam konteks bisnis, jika memang
harga meningkat, maka hal yang paling mudah adalah menaikan juga harga. Hal
tersebut merupakan logika paling sederhana, yang mungkin anak SD-pun paham.
Namun apa jadinya sebuah negara yang memiliki banyak aparatur, praktisi,
akademisi, Sumber Daya Alam, dan aneka potensi lainnya, mengeluarkan kebijakan
gampangan tanpa sedikitpun inovasi, menikan harga BBM, yang tentunya dampaknya
mencekik masyarakat bawah. Seolah-olah negara ini tanpa pemerintahan, yang
mampu melindungi warganya.
Dalam benak saya, ada beberapa
opsi yang bisa dijadikan sebagai alternatif, agar pemerintah tidak terpaku pada
satu pilihan semata-mata kebijakan menaikan harga BBM:
1.
Larangan mengkonsumsi bensin jenis premium bagi
mobil diatas 2000 cc. Pemerintah pada dasarnya sudah menghimbau melalui
spanduk-spanduk mengenai budaya malu bagi kendaraan mewah mengkonsumsi premium
yang merupakan subsidi pemerintah. Namun urat malu kaum kaya di Indonesia sudah
putus, lebih baik dibuat larangan dalam bentuk peraturan. Jika batasan berdasarkan
CC diperlakukan maka setidaknya jelas subsidi diberikan tidak bagi yang kaya, yang
salah satu indikatornya dari jenis cc kendaraan.
2.
Jika kendalanya adalah produksi minyak mentah
dalam negeri terbatas, dan produksi gas melimpah. Seharusnya pemerintah
membangun infrastruktur SPBG di seluruh SPBU. BBG selain irit, polusi rendah,
juga lebih efisien. Keberhasilan era Yusuf Kalla melakukan konfersi minyak
tanah menjadi gas menuai kesuksesan walau dalam proses awalnya pro kontra,
perlu dijadikan contoh keberanian dalam mengambil keputusan.
3.
Jika kebijakan penggunaan BBG dilaksanakan, hal
yang berikutnya dilakukan pemerintah adalah mensubsidi alih tekhnologi
kendaraan dari bensin ke gas, dalam hal ini converter kit. Pemerintah mendorong
industri dalam negeri untuk memproduksi konverter kit dan menjulanya dengan
harga subsidi, agar mampu dibeli oleh pemilik kendaraan.
4.
Terkait opsi konversi BBM ke BBG, selayaknya
pemerintah membuat peraturan agar produsen kendaraan bermotor, dalam hal ini
roda empat, mulai tahun tertentu misalnya 2013 harus sudah menggunakan mesin
yang khusus siap berbahan bakar gas. Jika peraturan ini dibuat otomatis
kendaraan-kendaraan kedepan akan berbasis mesin BBG.
5.
Jangan hanya fokus pada bahan bakar berbasis
fosil. Alangkah malunya jika sebuah negara dengan luas wilayah besar namun
hanya berkutat pada satu jenis bahan bakar. Memang ironis, karena riset bahan
bakar alternatif kurang di dukung pemerintah dan hanya terhenti pada riset.
Banyak potensi bahan bakar nabati di Indonesia, namun tidak diproduksi masal
dan tidak dilakukan alih tehnologi, sehingga terhenti begitu saja, mulai dari
penggunaan minyak sawit, jarak, nyemplung, dll. Jika menengo brazil, basis
bahan bakar mereka, mulai beralih dari fosil pada olahan etanol, semisal
kotoran ternak hingga kotoran manusia, kenapa kita tidak mampu??
6.
Negara perlu menjalankan fungsinya sebagai “Penyelenggara
Pemerintahan”, diantaranya dengan membatasi kepemilikana kendaraan. Bukan
pemerintah yang diatur produsen kendaraan, melainkan pemerintah yang mampu
mengatur mereka, diantaranya dengan pembatasan pemilikan kendaraan bermotor,
saking kayanya ada diantara masyarakat yang memilki kendaraan lima unit. Selain
itu pemerintah harus membatasi uang muka/ DP pembelian kendaraan, agar tidak
seperti jualan kacang goreng. DP kendaraan yang rendah berdampak pada multi
aspek: kepadatan kendaraan menjadi pemicu kemacetan, meningkatanya angka
kecelakaan,meningkatnya konsumsi BBM yang berdampak pada membengkaknya subsidi.
Pemerintah sepertinya tidak menjalankan kuasanya dan membiarkan kondisi chaos
di jalan raya terjadi.
7.
Salah satu kunci dari aneka permasalahan diatas
adalah, fasilitas transportasi publik yang amat buruk. Wajar jika pada akhirnya
masyarakat memaksakan diri mengkredit kendaraan, dan mengakibatkan kepdatan
akut di jalan raya, hal ini dikarenakan kondisi transportasi publik yang jauh
dari nyaman. Tingginya kecelakaan kendaraan umum, pelayanan yang buruk, ketidak
tepatan waktu, fasilitas penumpang yang buruk menjadikan masyarakat beralih pada
kendaraan pribadi. Jika pemerintah serius menggarap fasilitas transportasi publik,dengan
sendirinya masyarakat akan memanfaatkan fasilitas tersebut, yang secara
otomatis akan berkurangnya konsumsi BBM dalam negeri. Namun apakah pemerintah
serius dengan hal ini. Toh berkali-kali studi banding ke Jepang dilakukan
terkait transportasi publik hanya menhabiskan anggaran negara, karena tidak
serius produk yang di hasilkan.
Saya amat yakin, banyak
alternatif lain yang bisa dilakukan pemerintah diluar satu-satunya opsi
menaikan harga BBM. Jangan dikatakan “ada pemerintahan”, jika negara tidak
mampu mencari jalan terbaik untuk
masyarakat. Karena jika harga BBM naik maka akan berefek domino pada seluruh
kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat miskin: harga kebutuhan pokok
meningkat, ongkos kendaraan naik, biaya melaut dan mengolah sawah meningkat,
distribusi hasil bumi meningkat. Yang pasti angka kemiskinan di tahun 2013 akan
jauh meningkat.
Pemerintahan gagal adalah
pemerintahan yang tidak kreatif, malas, hanya mampu menjadi pemadam kebakaran
saja. Bukankah seharusnya jika berada dalam sebuah tekanan muncul aneka
alternatif, dan kreatifitas, bukan malah tunduk dalam tekanan. Syngguh kasihan
masyarakat, disaat kebutuhan dasarnya belum dijamin negara, harus bertambah
bebannya dengan segala teror negara. Namun yakinlah masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang tangguh, adaptif, dan keratif, selalu menemukan jalan untuk
bertahan dan menyambung hidup. Karena memang sudah amat lama tidak merasakan
kehadiran pemerintah dalam negara ini.***