-->
-->
Anak muda yang
bersepatu Nike, atau seorang ibu yang makan ayam goreng KFC, bukanlah sekedar
“membeli’, dan “mencicipi”, tetapi yang lebih penting bahwa mereka sebenarnya
sedang melakukan “identifikasi” diri dan “bermimpi” (Moeslim Abdurrahman)
Konsumerisme di negeri ini sudah tidak
kenal kelas sosial, baik masyarakat kelas bawah hingga kelas atas terjangkit
virus konsumtif. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah ketika masyarakat tidak
bisa membedakan apa yang disebut kebutuhan dan apa yang disebut keinginan.
Masyarakat menjadi “sakit” ketika
kehilangan jatidiri, lalu semangat untuk meniru. Proses meniru dilakukan pada
public figur yang ia sukai, bisa artis, bisa olahragawan, bisa penyanyi dan
bisa bentuk atributif karena hobi. Bagi orang kaya, proses meniru dilakukan
dengan membeli berarapun harganya merek barang yang dikenakan oleh figur, mau
dimanapun dijualnya. Bagi yang kurang mampu, biasanya memaksakan membeli
walaupun resikonya harus puasa senin kamis, atau membeli barang imitasi, jika
terpaksa maka mencuri.
Tidak jauh berbeda dengan selera
atau gaya hidup. Saat melihat iklan baik di media TV, Koran, billboard maupun
siaran radio, sering terbayang dalam pikiran kita, jika makan produk itu rasa nikmatnya
lah luar biasa, atau jika mengenakan pakaian itu seakan-akan paling cantik, jika
mengenakan sepatu itu rasanya setiap pertandingan bisa menghasilkan banyak
goal, jika mengendarai mobil itu layaknya orang paling gagah, jika tinggal di
rumah itu seperti di surga, jika memiliki laptop itu seolah-olah bisa semakin
produktif bekerja, jika memotret dengan kamera itu sepertinya akan menghasilkan
foto paling indah dan segala bayangan semu lainnya.
Kita semua mungkin pernah
merasakan imajinasi yang sama, yang pada saat tertentu, memaksakan untuk
memiliki barang atau sesuatu yang kita idam-idamkan. Lalu apa yang terjadi? Apakah
setelah membeli sepatu bola tertentu bisa menghasilkan banyak goal, menjadi
yang tercantik ketika mengenakan pakaian tertentu, bisa menghasilkan foto
terindah dengan kamera tertentu, bisa menghasilkan banyak karya dengan laptop
merek tertentu, dan tak terhitung segala bisa lainnya.
Sejujurnya hampir semua imajinasi
kita tidak terwujud, karena yang kita lakukan hanyalah membeli mimpi. Sangat
benar sepatu bola tertentu jika dikenakan Lionel Messi bisa menghasilkan banyak
goal, laptop tertentu jika digunakan Raditya Dika menghasilkan banyak buku
fiksi, pakaian tertentu jika dikenakan Dian Sastro akan cantik, kamera tertentu
jika dipakai Arbain Rambey akan selalu indah hasilnya, produk makanan tertentu
saat masuk tenggorokan tidak senikmat bayangan awal karena citarasa berbeda
dengan lidah kita. Hilangnya jatidiri mengakibatkan kita menjadi konsumen yang
akut, membeo apa yang ada dalam iklan, menjadi lemmings atas apa yang tidak
kita butuhkan.
Sesungguhnya produsen dunia amat tahu
kelemahan masyarakat Indonesia, sekaligus kesempatan bag segala bentuk produk
dunia untuk menjejali imajinasi kepala rakyat ini. Setiap hari kita membeli
barang yang dikenakan orang yang sama sekali tidak mengenal kita dan sejujurnya
tidak layak kita kenakan, karena setiap pribadi memang berbeda. Hal sederhana
yang saya tahu dari saudara yang sedang menempuh studi di Jepang, bahwa anak
sekolah disana tidak pernah diberi uang jajan ketika berangkat ke sekolah,
karena sedari dini mereka diajarkan untuk tidak konsumtif,hanya membeli barang
karena butuh dan fungsi, bukan kemudian mengkumuhkan rumah menjadi gudang
karena banyak barang yang tidak dibutuhkan.***