Apa kesan pertama kita ketika membayangkan berada dalam
hotel, apalagi hotel bintang 4 atau lima. Tentunya dalam benak kita tertanam
modern, ramah, lengkap,lux, nyaman,
damai, terlebih jika hotel tersebut berada di dataran tinggi dengan view gunung
menjulang atau pesisir denan view pantai indah melandai.
Benar sekali apa yang kita bayangkan dan apa yang kita
rasakan. Hotel adalah bisnis jasa, yang jualannya adalah kelengkapan fasilitas
(sarana dan penunjang) dan pelayanan yang prima (keramahan dan kepuasan).
Namun, ada hal kecil, mungkin dianggap sepele, tidak penting bagi yang lain
namun teramat penting bagi saya yaitu urusan kamar mandi dan sarana shalat.
Jika diundang mengisi semeniar, menjadi peserta, mengikuti
pelatihan, atau hal lain terkait urusan hotel yang saya bayangkan pertama kali
adalah bagaimana kamar mandinya dan bagaimana shalatnya (sarana dan kebersihan
untuk layak shalat). Sungguh modernisme yang menjadi jualan hotel yang pernah
saya singgahi sangat mengabaikan lokalitas. Mari kita bayangkan pengalaman kita
selama ini terkait hotel, hotel modern terkenal dengan kamar mandi kering yang
didalamnya ada fasilitas kloset duduk (ada yang memiliki selang pembilas, ada
yang tak berselang pembilas), bath tub untuk mandi, wastafel beserta atribusi
lainnya. Bagi kita yang terbiasa dengan kloset jongkok ataupun duduk pasti
sangat terbantu dengan keberadaan gayung atau selang pembilas,s edangkan
sebagain besar hotel tidak menyediakan itu, yang tentunya berseiko menjadi
najis terhadap badan dan pakaian. Untuk urusan mengambil air jauh lebih rumit
karena memang tidak ada keran khusus dan repotnya kita harus wudu dengan selang
kloset atau berwudu diatas westafel yang ujung-ujungnya harus mengangkat kaki
keatas wastafel yang terntunya sangat beresiko apalagi bagi mereka yang
memiliki keterbatasan kesehatan dan fisik.
Kendala berikutnya saat akan melaksanakan shalat, sekarang
memang ada kemajuan hampir semua kamar hotel menyediakan tanda kiblat, jikapun
tidak ada bisa menghubungi CS untuk meminta arah walaupun belum tentu tepat
akurasi arah kiblatnya. Tidak semua hotel memiliki mushala, jikapun ada
terletak di basemen bersampingan dengan parkir mobil atau di lantai paling atas
yang kesimpulannya sulit diakses. Jika alasannya shalat adalah urusan pribadi
dan bisa dilakukan di kamar, memang benar, namun kamarpun terbatas karena tidak
disediakan sajadah. Hal ini memang bisa diantisipasi dengan membawa sejadah
sendiri atau saya akali setiap traveling membawa sarung yang bisa digunakan
untuk alas shalat.
Mungkin diantara pembaca, saya lebay karena menulis urusan
kecil lalu dibesar-besarkan. Jika
urusannya butuh gayung, sejadah, ember- kan bisa kontak CS. Memang beragam
kebijakan hotel, ada yang menyediakan dan ada yang tidak menyediakan, ada juga
yang menyediakan tapi dikenai cas, ada juga CS yang malah menertawakan karena
hotel modern tidak menyediakan gayung, ember, dll.
Saya hanya berbicara lokalitas saja. Tidakkah sebaiknya
hotel yang jualannya adalah jasa, juga turut menyediakan fasilitas yang erat
dengan kultur atau kebutuhan masyarakat lokal. Sederhana saja, masyarakat
Indonesia masyoritas muslim dan tentunya tidak terlalu repot jika juga bisa
memenuhi kebutuhan ibadah kaum muslim. Berapa sih harganya ember dan gayung
atau menambah cabang keran untuk wudlu dan selembar sajadah.
Yang saya heran memang hotel melayani siapa? Apakah orang
eropa dengan kamar mandi keringnya atau wisatawan luar negeri lainnya. Silahkan
bisa kita cek pada data kunjungan hotel khususnya di pulau jawa, sumatra, dan
kalimantan. Sebagian besar pengunjung adalah orang indonesia juga (lokal) yang
juga muslim. Memang sangat jarang yang protes, karena sebagai besar pengunjung
hotel mengalah dengan alasan hanya sebentar di hotel. Namun selayaknya pihak
hotel yang seharusnya lebih peka dan memberikan service excellent dengan
menyediakan kebutuhan dasar pengunjungnya.
Sepanjang saya berkegiatan di hotel, baru ada satu hotel
yang menyaediakan sajadah, dan hanya hotel kelas tiga dan melati yang
menyediakan ember dan gayung, sisanya ketika berada di hotel bintang 4 dan 5
tidak menyediakan sajdah, gayung dan ember. Ketika menghubungi CS ada yang siap
menyediakan dengan tulus, ada yang harus menambah biaya, ada yang menjawab
karena alasan modern tidak mnyediakan, dan ada yang malah menertawakan karena gayung,
ember ibarat kampungan tidak pantas untuk hotel berbintang.
Asumsi saya gayung, ember, sajadah sudah menjadi kelas dalam
hotel. Karena sebagian besar yang menyediakan memang hotel bintang 3 kebawah,
yang dalam pandangan hotel mewah tidak efisien karena terkategori kamar madni
basah yang banyak membuang air.
Bagi saya modern tidaknya hotel justru ditentukan oleh
sejauhmana hotel tersebut menghormati lokalitas. Masalah efisiensi air justru
salah, karena dengan menyediakan bath tub berapa liter air yang harus dibuang
ketika mandi, jauh lebih sedikit jika digunakan untuk wudlu. Sebetulnya
opsional, jika hotel telah menyediakan kebutuhan lokalitas masalah dipakai dan
tidak kan pilihan, dibanding tidak menyediakan.
Logika sederhana, jika kita mengunjungi hotel di luar
indonesia,s ebut saja eropa, amerika, asia (non negara mayoritas muslim) sangat
wajar jika disediakan kamar mandi kering, karena memang begitu kulturnya. Tapi
jika kita mengunjungi hotel dalam negeri dengan kultur eropa sangat janggal
karena memang kebutuhannya berbeda. Apakah memang kamar mandi di hotel
Indonesia disetting untuk kebutuhan orang Eropa? Anda yang tahu. Hanya memang saya belum mengunjungi hotel yang
ada syariahnya, mungkin lebih aksesible untuk kaum Muslim. Tapi begitu
merepotkan jika harus mencari hotel syariah karena memang sangat langka di
negeri mayoritas Muslim ini.
Bagi yang punya pengalaman unik terkait hotel atau jika
memang asumsi saya salah, mangga tuliskan disini pengalamannya.***