Sekitar dua pekan lalu punggung
anak kami Aiman (9 bulan) terserang bintik-bintik merah. Kami anggap alergi
yang biasa dialami bayi sebagai bentuk adaptasi kulit, dan cukup diobati bedak
atau air gambir. Rupanya bedak dan gambir tidak cukup mengobati, bintik merah
mengandung air terus menyebar ke arah pantat, walaupun Aiman tetap ceria dan raut wajahnya tidak
menampakan rasa sakit atau tidak nyaman.
Kami putuskan untuk berobat ke
Puskesmas, asumsinya selain dekat rumah juga biayanya murah. Istri bercerita
ketika di Puskesmas yang menangani bidan, diperiksa sekejap, dinyatakan alergi,
lalu dituliskan resep obat. Istri langsung menukarkan resep ke bagian
pengambilan obat, tidak lama dikasih tiga jenis plastik dengan isi
masing-masing bedak talk, tablet warna kuning dan satu botol antibiotik. Ketiga
plastik tersebut tidak tertulis dosis pemakaian, istripun lalu beranjak
menayanyan dosis dan jenis obatnya. Bagian obat (saya tidak menuliskannya apoteker)
menyatakan obat diminum tiga kali karena anak Ibu demam. Istri saya kaget,
karena anak saya tidak demam, melainkan alergi. Lalu bagian obat bilang “Oia
maaf saya liat lagi resepnya”, kemudian menjelaskan “Ini bu yang kuning CTM
biar anak Ibu gak gatal, diminum 3 kali, bedak dioleskan di bagian yang gatal,
dan antibiotik dimunumkan supaya tidak infeksi”. Istri saya hanya ber “Oh, oh
saja”, selain karena masih adanya antrian sekaligus kaget dengan jenis obat
yang diberikan.
Sesampai di rumah, istri menelpon
saya dan menceritakan kejadian di Puskesmas tadi. Dengan segala keterbatasan
pengetahuan tentang obat, saya cukup kaget dengan jenis obat yang diresepkan
untuk Aiman yang baru berusia 9 bulan, jika dapet bedak talk maka wajar, yang
saya bingungkan bayi harus diberi CTM yang kalau tidak salah obat agar mudah
tidur, dan antibiotik yang harus diminumkan tanpa putus hingga sembuh.
Akhirnya saya putuskan agar istri
tidak memberikan obat-obat tersebut kepada Aiman, cukup bedak talk yang
dioleskan dan jika bintik-bintik merah masih menyebar, dibawa berobat ke dokter
anak. Rupanya memang bintik merah Aiman semakin menyebar, dokter bilang terkena
alergi dan virusnya menyebar. Ketika istri pelihatkan obat dari Puskesmas,
dokter terkaget juga dengan antibiotik dan CTM, sambil bertanya anak ibu gak
demam dan gak susah tidur kan? Istri saya menjawab iya, dokter bilang “Untungnya
Ibu gak konsumsikan obat ini ke anak”, dan diingatkan selama bintik merahnya
masih berair jangan diberikan bedak.
Dari dokter, Aiman dibekali
racikan puyer dan racikan salep, tentunya dengan biaya yang lumayan karena
dokter spesialis anak. Hamdulillah selang sehari bintik merah Aiman mengering
dan saat ini sudah sembuh.
Dari kejadian diatas saya hanya
berharap tidak semua Puskesmas sembarangan dalam memberikan obat, terlebih bagi
bayi atau anak-anak. Bagaimana nasib anak-anak kita jika obat yang diberikan
jauh dari sesuai baik jenis maupun
dosisnya. Mungkin pembaca tahu bahayanya mengkonsumsi obat kimia terlebih bagi
bayi, apalagi jika itu obat yang salah. Bisa jadi SDM kita rendah karena sedari
dini salah dan kelebihan dosis obat. Bagi orang tua wajib rewel untuk
menanyakan jenis, dosis dan kegunaan obat yang diberikan dokter, lebih baik
letih mengkonfirmasi dan tidak disukai apoteker daripada salah dalam memberikan
obat.
Puskesmas adalah rujukan pertama
masyarakat dalam urusan kesehatan, apalagi bagi yang tidak mampu. Jika
pelayanan tidak maksimal, terjadi kekeliruan dalam pemberian obat bagaiamana
dengan kualitas kesehatan masyarakat, bukan sembuh bisa jadi semakin parah atau
terjangkit jenis penyakit baru. Toh tidak semua masyarakat mampu berobat ke
rumah sakit bonafid atau dokter spesialis. Jangan sampai berobat murah/ gratis
di Puskesmas, mendaptkan kualitas layanan dan obat yang juga murahan.***
Maaf cuma mau nenambahkan, ctm atau clorpheniramine maleat itu merupakan golongan obat antihistamin atau biasa disebut anti alergi, yg mempunyai efek sedative atau mengantuk, jadi ctm mmg merpakan salah satu obat anti alergi
setuju dg komentar sebelumnya....klo menurut saya pengobatan puskesmas justru pengobatan dasar yg resikonya lbh rendah.... klo dsa memang manjur tpi dibalik itu jika anda tau apa dibalik racikan salep dan obat itu... obatnya lbh mempunyai efek samping yg berat... apalagi dipake secara terus menerus / sering.... obat dsa memang manjur tpi jngn keterusan dan kelamaan pakenya...