Apa yang terbayang ketika
mendengar kata syariah? Mungkin dalam benak kita nuansa islami, proses yang
jujur, adil, saling menolong, adanya atribusi pakaian dan simbol islami dan
sebagainya. Kata syariah juga biasanya lekat pada aturan hukum islam, produk
konsumsi halal, atau juga jasa simpan pinjam semisal koperasi atau bank.
Ada kenyamanan tersendiri sebagai
muslim mengenakan atau menggunakan produk syariah sebagaimana bayangan-bayangan
kita diatas, setidaknya jika itu produk konsumsi pasti terjaga kehalalannya,
jika itu produk jasa simpan pinjam terjaga sistem dan peruntukkannya. Namun ada
juga kalangan yang menyesalkan jika istilah syariah hanya berhenti pada simbol
atau atribusi saja namun tidak pada substansi. Produk konsumsi jelas halal tapi
terkadang tidak terjaga kualitasnya, produk jasa simpan pinjam terkadang nyariah hanya pada akadnya tapi
selanjutnya mencekik sebagaimana konvensional, bukan pada substansi meringankan
atau tolong menolong.
Tulisan ini tidak berniat untuk
membahas hal berat, apalagi membahas dalil, melainkan hal ringan dan sederhana.
Sekedar membahas kehidupan keseharian yang mungkin kecil namun dibalik itu tersirat
makna besar. Bermula dari obrolan ringan bersama istri sepulang belanja di
warung samping depan rumah, yang kami sebut Warung Bu De. Istri bercerita sejak
subuh buka, warung Bu De sudah ramai dikerubuti ibu-ibu rumah tangga yang
belanja mulai dari sayuran dan kebutuhan harian. Harga barang yang dijual lebih
murah dibanding warung sekitar, mungkin memang Bu De tidak ngambil banyak untung. Hal yang
menarik kata istri, ketika akan membeli oncom yang Bu De simpan dalam kulkas
transparannya, Beliau bilang tidak saya jual, soalnya itu oncom kemarin, sudah
jelek. Sama halnya saat membeli udang, Bu De bilang dengan jujur jika udangnya
kurang bagus, harganya memang murah, tapi mungkin tidak enak dimakan. Hampir
setiap barang yang beliau jual terlebih barang konsumsi, beliau berikan
penjelasan terkait kondisinya, harganya disesuaikan dengan kualitas, sehingga
ibu-ibu pembeli tahu dan tidak merasa terbohongi, sebagaimana umumnya pedagang
menjual kucing dalam karung.
Lain halnya dengan Pak Badrudin,
kakak saya bercerita jika beliau Penjual Material yang menjunjung ‘muamalah’
dalam perniagaannya. Pak Badrudin menjual bahan bangunan seperti semen, asbes,
paku dan sebagainya dengan harga yang murah, termasuk jika dibandingkan dengan
pedagang material etnis lain. Di hari minggu saat pedagang tionghoa libur,
beliau juga memilih libur, tidak aji mumpung memanfaatkan situasi, alasannya “Biarlah
saya cari rizki secukupnya”. Ada kebiasaan lain beliau, yaitu setiap malam
jumat mengundang dan mengumpulkan para tukang becak sekitar rumahnya untuk
pengajian dan berbagi sembako. Hal yang membuat saya mengharu biru rupanya
beliau mendorong karyawannya untuk mengejar pendidikan, termasuk dua
diantaranya menjadi mahasiswa kelas malam saya. Dalam sistem penggajian karyawan,
beliau menetapkan gaji bulanan plus bonus harian. Selain itu Pak Badrudin juga
melayani pembeli material yang berhutang atau membayar dengan jalan mencicil.
Baginya, berjualan itu bukan semata transaksi dengan manusia, melainkan lebih
dari itu membantu sesama.
Ada lagi tetangga kami, namanya
Mas Rohman. Pada mulanya beliau adalah karyawan perusahaan tetap yang kemudian
di-PHK, kemudian menjadi karyawan kontrak konstruksi. Karena sifatnya kontrak
dan bekerja hanya saat ada proyek, beliau kini memutuskan menjadi penjual
cendol keliling. Beliau bercerita butuh waktu dua pekan untuk membunuh rasa
malu saat mendorong gerobak cendol. Tapi kini beliau bilang, “Jikapun ada yang
mau menggaji saya 100 ribu per hari saya tidak mau”. Jualannya memang laku, namun beliau tidak
semata-mata mencari keuntungan. Harga cendol jualannya hanya 3 ribu pergelas,
beliau begitu menjaga kualitas bahan-bahan adonan cendolnya. Beliau menggunakan
gula aren asli yang dibeli di Kabupaten tetangga, daun suji dan tepung
pembentuk cendol beliau gunakan yang terbaik. Hal lain yang membuat pembeli
menaruh hati adalah cara menjualnya dengan hati, selalu menyapa pembeli dan
tersenyum walaupun terik matahari.
Tiga cerita diatas mungkin hanya
setitik dari banyaknya ‘pedagang-pedagang’ syariah yang pernah kita temui.
Mereka mungkin tidak begitu paham konsep maupun teori syariah, tapi lihai dalam
mempraktekan. Mereka sama sekali tidak mengenakan simbol-simbol syariah bahkan logo
syariah pada warungnya, toko bangunannya dan gerobak cendolnya, tapi mereka
yang sebetulnya sejatinya pelaku syariah. Mereka menjual dengan transparan,
menjaga kualitas, juga atas dasar muamalah dan saling menolong. Loyalitas dan
semakin bertambahnya konsumen telah membuktikan jika mereka tidak hanya
berniaga, tapi juga menolong pembelinya. Hebatnya, mereka tidak koar-koar
menjual kecap syariah, berjibaku dengan konsep, tapi dengan melakukan.***