Diberdayakan oleh Blogger.

Para Pedagang Syariah


posted by rahmatullah on ,

No comments



Apa yang terbayang ketika mendengar kata syariah? Mungkin dalam benak kita nuansa islami, proses yang jujur, adil, saling menolong, adanya atribusi pakaian dan simbol islami dan sebagainya. Kata syariah juga biasanya lekat pada aturan hukum islam, produk konsumsi halal, atau juga jasa simpan pinjam semisal koperasi atau bank. 

Ada kenyamanan tersendiri sebagai muslim mengenakan atau menggunakan produk syariah sebagaimana bayangan-bayangan kita diatas, setidaknya jika itu produk konsumsi pasti terjaga kehalalannya, jika itu produk jasa simpan pinjam terjaga sistem dan peruntukkannya. Namun ada juga kalangan yang menyesalkan jika istilah syariah hanya berhenti pada simbol atau atribusi saja namun tidak pada substansi. Produk konsumsi jelas halal tapi terkadang tidak terjaga kualitasnya, produk jasa simpan pinjam terkadang nyariah hanya pada akadnya tapi selanjutnya mencekik sebagaimana konvensional, bukan pada substansi meringankan atau tolong menolong.

Tulisan ini tidak berniat untuk membahas hal berat, apalagi membahas dalil, melainkan hal ringan dan sederhana. Sekedar membahas kehidupan keseharian yang mungkin kecil namun dibalik itu tersirat makna besar. Bermula dari obrolan ringan bersama istri sepulang belanja di warung samping depan rumah, yang kami sebut Warung Bu De. Istri bercerita sejak subuh buka, warung Bu De sudah ramai dikerubuti ibu-ibu rumah tangga yang belanja mulai dari sayuran dan kebutuhan harian. Harga barang yang dijual lebih murah dibanding warung sekitar, mungkin memang  Bu De tidak ngambil banyak untung. Hal yang menarik kata istri, ketika akan membeli oncom yang Bu De simpan dalam kulkas transparannya, Beliau bilang tidak saya jual, soalnya itu oncom kemarin, sudah jelek. Sama halnya saat membeli udang, Bu De bilang dengan jujur jika udangnya kurang bagus, harganya memang murah, tapi mungkin tidak enak dimakan. Hampir setiap barang yang beliau jual terlebih barang konsumsi, beliau berikan penjelasan terkait kondisinya, harganya disesuaikan dengan kualitas, sehingga ibu-ibu pembeli tahu dan tidak merasa terbohongi, sebagaimana umumnya pedagang menjual kucing dalam karung.

Lain halnya dengan Pak Badrudin, kakak saya bercerita jika beliau Penjual Material yang menjunjung ‘muamalah’ dalam perniagaannya. Pak Badrudin menjual bahan bangunan seperti semen, asbes, paku dan sebagainya dengan harga yang murah, termasuk jika dibandingkan dengan pedagang material etnis lain. Di hari minggu saat pedagang tionghoa libur, beliau juga memilih libur, tidak aji mumpung memanfaatkan situasi, alasannya “Biarlah saya cari rizki secukupnya”. Ada kebiasaan lain beliau, yaitu setiap malam jumat mengundang dan mengumpulkan para tukang becak sekitar rumahnya untuk pengajian dan berbagi sembako. Hal yang membuat saya mengharu biru rupanya beliau mendorong karyawannya untuk mengejar pendidikan, termasuk dua diantaranya menjadi mahasiswa kelas malam saya. Dalam sistem penggajian karyawan, beliau menetapkan gaji bulanan plus bonus harian. Selain itu Pak Badrudin juga melayani pembeli material yang berhutang atau membayar dengan jalan mencicil. Baginya, berjualan itu bukan semata transaksi dengan manusia, melainkan lebih dari itu membantu sesama.

Ada lagi tetangga kami, namanya Mas Rohman. Pada mulanya beliau adalah karyawan perusahaan tetap yang kemudian di-PHK, kemudian menjadi karyawan kontrak konstruksi. Karena sifatnya kontrak dan bekerja hanya saat ada proyek, beliau kini memutuskan menjadi penjual cendol keliling. Beliau bercerita butuh waktu dua pekan untuk membunuh rasa malu saat mendorong gerobak cendol. Tapi kini beliau bilang, “Jikapun ada yang mau menggaji saya 100 ribu per hari saya tidak mau”.  Jualannya memang laku, namun beliau tidak semata-mata mencari keuntungan. Harga cendol jualannya hanya 3 ribu pergelas, beliau begitu menjaga kualitas bahan-bahan adonan cendolnya. Beliau menggunakan gula aren asli yang dibeli di Kabupaten tetangga, daun suji dan tepung pembentuk cendol beliau gunakan yang terbaik. Hal lain yang membuat pembeli menaruh hati adalah cara menjualnya dengan hati, selalu menyapa pembeli dan tersenyum walaupun terik matahari.

Tiga cerita diatas mungkin hanya setitik dari banyaknya ‘pedagang-pedagang’ syariah yang pernah kita temui. Mereka mungkin tidak begitu paham konsep maupun teori syariah, tapi lihai dalam mempraktekan. Mereka sama sekali tidak mengenakan simbol-simbol syariah bahkan logo syariah pada warungnya, toko bangunannya dan gerobak cendolnya, tapi mereka yang sebetulnya sejatinya pelaku syariah. Mereka menjual dengan transparan, menjaga kualitas, juga atas dasar muamalah dan saling menolong. Loyalitas dan semakin bertambahnya konsumen telah membuktikan jika mereka tidak hanya berniaga, tapi juga menolong pembelinya. Hebatnya, mereka tidak koar-koar menjual kecap syariah, berjibaku dengan konsep, tapi dengan melakukan.***


Leave a Reply

Sketsa