Entahlah, mungkin padamulanya kesalahan membuat frase yang
kemudian dibiasakan sehingga Ujian Nasional (UN) dijadikan sebagai istilah bagi
hajat evaluasi mata pelajaran yang kemudian menjadi ukuran lulus tidaknya
pelajar di Indonesia untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya.
Saya lupa apa istilahnya dalam keilmuan bahasa mengenai
makna kata. Dalam http://kamusbahasaindonesia.org/ujian/mirip,
Ujian memiliki arti: (1) hasil menguji; hasil memeriksa;
(2) sesuatu yg dipakai untuk menguji mutu sesuatu (kepandaian, kemampuan, hasil
belajar, dsb): ~ kenaikan kelas diselenggarakan di sekolah masing-masing; (3)
cobaan: musibah ini adalah ~ dr Tuhan. Sedangkan nasional artinya bersifat
kebangsaan, berkenan atau berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa.
Rupanya Ujian Nasional memang bermakna sejatinya
“Ujian Nasional”, yaitu cobaan atau musibah dari Tuhan yang bersifat
kebangsaan, mungkin makna sederhananya adalah musibah sebangsa.
Ketika dulu sekolah level SD sampai
dengan SMA, tidak kenal istilah UN melainkan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA)
dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Jadi memang fokus pada ‘Evaluasi
Tahap Akhir”, dan tidak ada nilai minimal standar kelulusan, karena yang
meluluskan adalah sekolah, karena sekolahlah yang paling tahu satu persatunya
siswa beserta kekurangan dan potensinya. Selain itu tidak ada atribusi yang
mengesankan EBTA/NAS adalah horor, tidak ada istighasah, tidak ada taubat
bersama, tidak ada ruwat pencil, tidak ada minta doa kiai yang mengesankan ada
faktor supranatural yang menentukan.
Kegagalan UN tahun ini memang
menyiratkan “UN memang Ujian Nasional”, musibah bagi penyelenggara pendidikan
satu bangsa, mulai dari menteri hingga pelajar. Musibah sebagai peringatan atas
kepongahan manusia khususnya para penyelenggara pendidikan di negeri ini.
Sesungguhnya Tuhan sedang
memperlihatkan carut marutnya pendidikan di negeri ini dan UN adalah
kilamksnya. Saya memandang UN tidak berdiri sendiri melainkan hukum kausa atas
pondasi-pondasi rapuh penyokong pendidikan di negeri ini. Ruh pendidikan telah
hilang yakni kejujuran, karena target nilai minimal UN, siswa diajarkan
bagaimana memanipulasi kemampuan agar nilai minimalnya tercukupi, gurulah yang
mengajarkan dan memberikan kunci jawaban. Guru adalah “Guru Kebohongan” ketika
sertifikasi dijadikan ajang meng copy paste karya ilmiah.
Nilai siswa yang bagus bukanlah
penampakan asli kemampuan siswa, melainkan hasil polesan dengan banyak jalan
baik contekan maupun dikoreksi ulang guru sebelum naskah dikirmkan. Ibarat MLM,
pendidikan adalah target berjenjang untuk saling menekan. Menteri membuat
kebijakan mengenai nilai minimal kelulusan, Kepala Dinas Provinsi menekan
Kepala Dinas Kabupaten/Kota agar pencapaian target kelulusan 100% disertai
ancaman mutasi jika target tak tercapai, selanjutnya Kepala Dinas Kabupaten/
Kota menekan kepala-kepala sekolah agar bagaimana caranya siswa di sekolah
masing-masing lulus 100% disertai ancaman mutasi jika target meleset, dan ujung
tombaknya adalah siswa seakan-akan diteror agar lulus dengan aneka modus.
Sungguh pendidikan di negeri ini adalah sarana ancam mengancam antar level yang
korban utamanya adalah siswa, saking tertekannya sugestinya adalah melakukan
hal diluar logika seperti meruwat pencil, istighasah, minta air suci dan
sebagainya, saking tertekannya ada diantaranya siswa yang histeris kesurupan
saat melihat naskah UN.
Saya hanya memaknai UN sebagai upaya
pewujudan ambisi oknum kementrian pendidikan. Keras kepalanya oknum yang kukuh
menukur kepandaian secara parsial melalui sampel beberapa pelajaran. Lalu
secara tidak langsung telah mengkastakan anak bangsa melalui lulus dan tidak
lulus, yang kemudian tidak lulus diberikan label oleh masyarakat sebagai anak
yang bodoh. Betapa menyedihkan manusia yang Allah ciptakan dengan segala
kelebihan hanya diukur oleh 3 pelajaran yang belum tentu mewakili potensi lain
yang ia miliki.
Karut marut UN sesungguhnya
mengorbankan siswa, stressor yang kian bertambah karena pengunduran hari,
karena tertukarnya naskah sosal, karena kualitas lembar jawaban yang buruk,
bukankah kendala-kendala teknis kian memperburuk stress. Jangan salahkan jika
ada yang wujud ekspresinya adalah tawuran atau dirawat karena depresi.
Sungguh miris dunia pendidikan di
negeri ini. UN telah mewakili tragedi buruknya penyelenggaraan pendidikan dari
sekian banyak keburukan yang ada. Hal yang paling tepat adalah melakukan
evaluasi total, evaluasi oknumnya, evaluasi sistemnya, kembalikan pada ruh
pendidikan yakni kejujuran. Sulit rasanya jika penyelnggaraan pendidikan
dikuasi oleh oknum yang memiiliki amibisi, obsesi dan kekerasan kepala, hanya
mengaggap diri dan pikirannyalah yang benar.
Mari kita jaga momentum UN yang telah
menjadi Ujian Nasional sebagai kesempatan berubah, jangan kehilangan sedetikpun
momentum untuk menata pendidikan agar sesuai hakikatnya.***
foto: http://www.karanganyarpos.com/2013/un-2013-tertabrak-motor-siswa-bantul-terpaksa-ujian-di-rumah-sakit-397016