Entahlah jika dalam suatu pelatihan
atau pendidikan aparatur negara yang memakan waktu beberapa hari, saya
terkadang mengamati hal-hal kecil yang berdampak besar. Terkadang jika dalam
satu forum formal setiap orang beradu argumen, berdebat mengenai konsepsi
perbaikan negara, pembangunan kesejahteraan sosial, penanganan fakir miskin,
dan berdebat dengan segala konsep hingga berbusa-busa.
Namun terkadang ironi kecil saya
rasakan saat sesi makan bersama, hampir sebagian piring menyisakan nasi atau
lauk, sampai dengan santai keluar
perkataan makanannya tidak enak. Padahal apa yang di makan dan diminum
dibiayai oleh negara, diambil dari pajak masyarakat. Disisi lain orang-orang
tersebut garang dalam debat soal penanganan fakir miskin padahal sikap dan
perilakunya jauh dari empati bagi si fakir dan si miskin.
Semangat aparatur negara sebagai
pelayan masyarakat berubah total malah ingin dilayani masyarakat. Hal yang
menjadi kewajibannya kini dipatok tarif, urusan administratif tidak akan lancar
jika masyarakat tidak melayaninya dengan uang. Hal tersebut amat besar
pengaruhnya terhadap gaya hidup aparatur negara yang glamor, mengedepankan
gengsi yang pada akhirnya semakin jauh berjarak dengan masyarakat. Padahal
ruang lingkup pekerjaannya terkait pelayanan masyarakat kecil.
Hal yang memprihatinkan kepatuhan
aparat kepada atasan jauh lebih besar dibanding pada Tuhannya. Dan memang
memperihatinkan komitmen aparatur negara kepada Tuhannya saat ini. Dalam satu
diklat, yang menunaikan shalat subuh di masjid, dari sekian puluh orang tidak
lebih dari tiga orang, walaupun mungkin yang lain menunaikan di kamar
masing-masing. Begitupula keterpanggilan pada shalat zuhur, hanya sebagian yang
bergegas menunaikan shalat. Entahlah terlalu jauh bagi saya mencampuri urusan
seseorang dengan Tuhannya, namun hal tersebut setidaknya akan menjadi warna
kepribadian dan perilaku sesorang. Jika pada Tuhannya sudah abai, bagaimana
dengan hal kecil.
Mungkin memang manusia-manusia
kini, hidup namun tidak dengan ruhnya. Antara kata dan laku amat tak bersesuai.
Jika aparatur negara kini bergerak dan berbuat tanpa ruh, maka mereka akan
menganggap hal-hal yang tak wajar menjadi wajar, dan hal wajar dianggapnya
tidak wajar. Dalam satu titik pemberontakan saya berilustrasi, orang gila dulu
adalah orang-orang yang berperilaku tidak wajar, bertentangan dengan kaidah
etika. Maka orang gila sekarang adalah sebaliknya orang yang berlaku wajar dan
menjaga kaidah etika, karena orang-orang tersebut ada namun menjadi minoritas
dalam satu gelombang besar.