Terasa luruh segala letih ketika
sampai rumah disambut dengan senyum, tawa, tangan menepuk angin dan lonjakan
Aiman dalam gendongan Mamanya, yang ingin bersegera pindah ke dekapan Abahnya.
Badannya mengarah ke sepeda yang ada di garasi dan dengan isyarat tubuh agar
bersegera Abahnya menginjak pedal sepeda untuk berkeliling rumah. Dalam
kesempatan lain istri bercerita jika
Aiman itu beda kalau Abahnya ada di rumah, tidur malamnya akan lebih larut,
selain dinenin juga ekstra harus ditepuk-tepuk pantatnya oleh Abah, kalau gak
bakal rewel. Biasanya cukup di nenenin juga sudah lelap.
Kebetulan Istri dan Anak kini
tinggal bersama Ibu di Pandeglang, saban hari mengisi rumah di Serang, dikarenakan malam mengajar dua hari sekali
saya pulang ke Pandeglang. Rasa ingin
selalu berada di samping Aiman begitu besar, ini yang mungkin disebut malarindu,
terlebih apapun tingkah polahnya begitu terngiang, walaupun butuh energi ekstra
istri dalam mendampingi Aiman.
Diusianya bulan kesebelas sengaja
saya catatan tingkah polah sebagai ingatan di masa mendatang agar kian
mensyukuri anugerah dari Allah. Ketika saya tertidur biasanya Aiman
menyentuh pipi, menarik kuping atau
rambut agar menemaninya bermain. Satu hal yang membuat haru dan harap,
kebiasaanya ketika mendengar azan, tak lama berselang Aiman mempraktekan posisi
sujud, gak kenal di lantai, karpet atau kasur, apalagi kalau kita bilang Allahu
Akbar ia akan berkali-kali mempraktekan sujud. Jika sampai waktu magrib,
selepas gerak sujud ia akan mengacungkan dua tangannya, mungkin maksudnya
meniru cara berdoa, selepas itu mengasongkan tangan kanannya untuk salaman.
Selepas itu Aiman merambat mengambil
Al-Quran yang disimpan diatas meja, mematut-matut dan membolak balik,
mungkin maksudnya mengaji. Lain halnya saat ada neneknya, Aiman akan mengambil
kain gendongan yang biasa yang kemudian ia berikan pada neneknya sambil
merondang agar di gendong.
Bagi saya tingkah polah Aiman adalah
sentuhan hati, mengingatkan kemahabesaran ciptaan Allah. Benar jika bayi atau
anak kecil ibarat kertas putih, yang kemudian orangtuanyalah yang membentuk
pola gambar dan menentukan akan seperti apa wujud gambar itu, apakah indah,
apakah menjadi buram ataupun menjadi kertas yang lecek bahkan sobek.
Terkadang saat Aiman terlelelap,
saya dan istri saling mengkritik dan memberi masukan akan sikap yang kurang
layak ditunjukkan pada Aiman, semisal menunjukkan emosi, mengungkapkan kekesalan
yang sesungguhnya sedikitpun tidak elok untuk dilihat dan di rekam Aiman.
Saya memang baru menjadi orang
tua alias orang tua amatir yang baru seujung jari pengetahuan mendidik anak,
namun dalam usia anak yang baru menginjak 11 bulan tersadarkan akan pentingnya
menjadi suritauladan. Apa yang Aiman lakukan adalah cerminan dari siapa yang
terdekat tentunya Ayah dan Ibunya. Jika
tidak salah dalam ilmu psikologis bahwa anak adalah perekam terbaik di dunia,
dan dia akan mencontoh apa yang dia lihat, dengar dan rasakan. Wajar jika Aiman
mempraktekan sujud, mengambil dan mematut Al-Quran, karena mungkin itulah yang
ia lihat kini.
Pelajaran terbesar bagi saya dan
istri adalah agar betul-betul menjadi suritauladan, menata diri agar sikap yang
penuh akhlak yang tertampakan, kata-kata santun yang terungkapkan, hidup penuh
semangat dan sahaja karena kelak menjadi
warna bagi Aiman. Sesungguhnya tanpa sadar sentuhan Aiman adalah guru bagi kami
agar menata hidup lebih terpuji.***