Bicara tentang Corporate Social Responsibility (CSR), banyak orang langsung membayangkan kegiatan bakti sosial atau donasi perusahaan. Padahal, di balik layar, ada sekelompok orang yang bekerja keras agar program-program itu bukan hanya sekadar pencitraan, tetapi benar-benar membawa dampak nyata bagi masyarakat. Mereka adalah para pengelola CSR, sosok yang sering kali tak terlihat, namun punya peran strategis menghubungkan dunia bisnis dengan dunia sosial.
1. Kompetensi Inti
Bayangkan seorang pengelola CSR yang harus bisa memahami laporan keuangan perusahaan sekaligus mendengarkan keluhan warga di desa sekitar tambang. Itulah uniknya peran ini. Mereka butuh pengetahuan tentang pembangunan sosial, komunikasi, manajemen proyek, hingga bisnis.
Contohnya, ada CSR officer dengan latar belakang ilmu sosial yang jago membangun hubungan dengan masyarakat. Lalu ada insinyur lingkungan yang bisa merancang program pengelolaan limbah. Ada pula ahli komunikasi yang mampu menyampaikan cerita perusahaan dengan cara yang humanis.
2. Rekrutmen SDM CSR
Menariknya, orang-orang CSR datang dari berbagai jalur. Ada yang dulunya karyawan PR lalu beralih karena kemampuan komunikasinya. Ada juga yang berasal dari LSM, membawa idealisme dan pengalaman lapangan. Kombinasi keduanya membuat tim CSR jadi lebih kuat.
Misalnya, sebuah bank besar mengangkat staf Humas menjadi koordinator literasi keuangan masyarakat. Sementara perusahaan tambang merekrut aktivis lingkungan untuk mengurus program rehabilitasi hutan.
3. Pelatihan dan Pengembangan
Tugas CSR tidak berhenti di situ. Mereka terus belajar dan beradaptasi dengan tren baru. Ada yang ikut workshop SROI untuk mengukur dampak sosial, kursus sustainability reporting agar bisa menyusun laporan keberlanjutan, hingga pelatihan facilitation skill supaya makin piawai berinteraksi dengan komunitas.
Bahkan, tak jarang mereka dikirim ke forum internasional untuk berbagi dan menyerap ide-ide segar.
4. Soft Skills
Namun, semua keahlian teknis itu tak akan cukup tanpa soft skills. Empati, kemampuan negosiasi, dan leadership sangat menentukan. Bayangkan harus menengahi perbedaan antara kebutuhan warga desa dan target bisnis perusahaan—itu butuh seni komunikasi yang luar biasa.
5. Karir dan Retensi
Dulu, banyak orang menganggap karir di CSR adalah jalan buntu. Tapi sekarang, perusahaan mulai membuka jalur strategis. CSR officer bisa naik jadi manajer keberlanjutan, atau bahkan dipromosikan ke divisi bisnis setelah beberapa tahun.
Ada pula yang memberi bonus khusus jika target dampak tercapai—sebuah apresiasi nyata atas kerja sosial.
6. Jumlah dan Struktur Tim
Jumlah tim CSR sangat bervariasi. Perusahaan kecil mungkin hanya punya satu orang yang merangkap. Perusahaan menengah bisa punya tiga hingga lima orang. Sementara BUMN besar bisa memiliki belasan personel yang tersebar di berbagai daerah.
7. Keterlibatan Karyawan Non-CSR
Menariknya, program CSR tidak hanya dijalankan tim inti. Banyak perusahaan melibatkan karyawan lain melalui program volunteer. Ada yang membuat skema 'CSR Ambassador' di tiap departemen, ada pula yang memberi jatah satu hari khusus untuk kegiatan sosial dengan tetap digaji.
8. Mitigasi Turnover
Karena pekerjaan CSR sarat idealisme, pengelolanya bisa cepat frustrasi jika perusahaan tidak mendukung. Tak jarang mereka pindah ke NGO. Oleh karena itu, dukungan manajemen penting—mulai dari mendengar masukan tim CSR hingga memberikan ruang untuk berinovasi.
9. Etika dan Kepekaan Sosial
Terakhir, integritas adalah fondasi. CSR bukan sekadar proyek, melainkan amanah. Pelanggaran etika bisa merusak citra perusahaan sekaligus kepercayaan masyarakat. Karena itu, kode etik, transparansi, dan kepekaan budaya harus selalu dijunjung.
Pada akhirnya, pengelola CSR adalah jembatan antara perusahaan dan masyarakat. Mereka bukan hanya pekerja sosial, melainkan profesional strategis yang memastikan bisnis tumbuh sejalan dengan keberlanjutan sosial dan lingkungan.