Tahun 2025 perlahan bergerak menuju batas akhirnya. Waktu berjalan tanpa menunggu kesiapan siapa pun. Sore tadi, dalam keheningan yang sederhana, saya mengambil sebuah buku yang sejak awal diniatkan sebagai hadiah untuk ibu—sebuah upaya kecil agar beliau memiliki teman setia di tengah hari-hari yang dijalani dengan ujian sakit di usia lanjut. Buku itu berjudul “Ketika Dosa Tak Dirasa (Yang Kecil pun Bisa Menjadi Besar)” karya Dr. Aam Amiruddin, M.Si.
Beberapa halaman pendahuluan saya baca dengan pelan. Namun justru di sanalah hati terasa tersentuh. Isinya seolah menjadi cermin yang jujur, memantulkan kembali perjalanan diri sepanjang Tahun 2025. Tidak ada catatan ibadah yang layak dibanggakan, tidak pula lompatan spiritual yang terasa signifikan. Yang ada justru kebiasaan-kebiasaan kecil yang kian lama terasa biasa, padahal sejatinya adalah bagian dari dosa-dosa yang pelan-pelan kehilangan rasa.
Meminjam Kata Pengantar Ustad Aam, bahwa saat bergaul dan berinteraksi dengan banyak orang, tanpa disadari kata-kata mengalir dari mulut kita seolah keluar tanpa beban. Tak jarang, bersamaan dengan keluarnya kata, mengalir pula dosa, mulai dari menggunjingkan tetangga, membanggakan dan memamerkan diri (riya), berbohong, dan perbuatan tidak terpuji lainnya.
Semudah itu melakukan dosa. Sekali, dua kali, samapai tak ingat lagi sudah beratus atau beribu kali melakukan kesalahan yang sama. Awalnya hati memberontak dan nurani menolak. Namun lambat laun tak ada lagi gedoran itu, semua berjalan seolah sudah biasa dan dilakukan tanpa beban.
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai nasihat bagi siapa pun. Ia lahir sebagai pengakuan yang sunyi, sebagai ruang bercermin bagi diri sendiri. Bahwa tanpa disadari, normalisasi dosa bisa tumbuh dari kelalaian yang berulang, hingga akhirnya kehilangan rasa bersalah. Dengan penuh kesadaran akan keterbatasan diri, saya memohon maaf atas kata dan laku yang mungkin pernah melukai, baik yang saya sadari maupun yang luput dari ingatan.
Di ambang Tahun 2026, harapan itu saya letakkan dengan sederhana: semoga hati kembali peka, nurani kembali hidup, dan setiap langkah dijalani dengan kehati-hatian yang lebih dalam. Bukan untuk menjadi sempurna, melainkan untuk terus belajar menjaga diri, agar hidup tak sekadar berjalan, tetapi juga memberi makna dan manfaat.*
