Di era digital yang serba cepat ini, hidup terasa begitu mudah. Pesan bisa terkirim dalam hitungan detik, belanja selesai hanya dengan satu klik, dan hampir semua kebutuhan harian kini bisa dipenuhi melalui aplikasi. Namun di balik kemudahan itu, terdapat jebakan finansial yang semakin dekat dengan kehidupan anak muda: pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol).
Banyak mengira bahwa masalah ini hanya menimpa orang yang tidak mampu atau tidak berpendidikan. Padahal data berbicara lain. Justru generasi yang paling akrab dengan teknologi—Gen Z dan Milenial—yang paling banyak terjerat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa mayoritas pengguna pinjol di Indonesia adalah usia 19–34 tahun, yang berarti kelompok Gen Z & Milenial. Bahkan survei 2025 menunjukkan bahwa 45,15% pengguna pinjol adalah Milenial dan 41,45% Gen Z. Angka ini menunjukkan bahwa lebih dari 8 dari 10 peminjam pinjol berasal dari generasi muda.
Situasinya semakin mengkhawatirkan karena nilai pinjaman pun terus meningkat. Pada Agustus 2025, total outstanding pinjaman online nasional mencapai Rp87,61 triliun. Di saat bersamaan, rasio kredit bermasalah (gagal bayar 90 hari atau TWP90) naik menjadi 2,93%. Ini bukan angka kecil—karena di balik setiap persentase itu ada anak muda yang sedang kesulitan membayar utang.
Di sisi lain, dunia judi online berkembang seperti wabah yang tersebar melalui ponsel. Dari berbagai laporan, jumlah pemain judi online diperkirakan mencapai 8,8 juta orang, dan sekitar 3,8 juta di antaranya memiliki utang akibat aktivitas judi. Banyak dari utang itu bersumber dari pinjol, yang berarti terjadinya lingkaran baru: utangnya naik karena judi, judinya lanjut karena ada pinjol.
Tidak sedikit studi yang menemukan hubungan langsung antara lonjakan transaksi pinjol dan peningkatan aktivitas judi online. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa peningkatan transaksi pinjol ilegal sering terjadi seiring lonjakan aktivitas judol, menunjukkan bahwa sebagian peminjam memang menggunakan uang pinjaman untuk berjudi.
Namun di balik angka-angka tersebut, terdapat cerita manusia yang memilukan. Seorang pemuda usia 24 tahun bercerita bahwa ia awalnya hanya meminjam Rp300 ribu untuk menutup biaya bulanan yang kurang. Karena proses cair begitu cepat, ia merasa tidak ada risiko. Lalu ia mencoba judi online “sekali saja”, berharap mendapat uang tambahan. Ia kalah. Untuk “balik modal”, ia meminjam lagi. Dalam tiga minggu, total utangnya mencapai lebih dari Rp12 juta. Dalam dua bulan, ia menerima belasan teror penagihan, penyebaran data kontak ke teman-temannya, dan rasa malu yang menghancurkan harga dirinya.
Kisah ini menggambarkan pola yang banyak terjadi: pinjol → judi → kalah → pinjol lagi → utang membesar → tekanan mental. Dan jika kita amati, akar dari semua persoalan ini kembali pada satu hal yang sering diremehkan: literasi keuangan.
Literasi keuangan bukan hanya soal bisa menghitung anggaran. Ia adalah kemampuan untuk memahami bagaimana uang bekerja, bagaimana bunga pinjaman dapat tumbuh, bagaimana risiko muncul dari keputusan impulsif, dan bagaimana layanan digital yang tampak mudah sering menyembunyikan konsekuensi berat. Sayangnya, survei menunjukkan bahwa literasi digital Gen Z Indonesia hanya sekitar 62%, salah satu yang terendah di ASEAN. Jika literasi digital saja rendah, literasi keuangan pun ikut terdampak.
Tanpa literasi keuangan yang baik, anak muda mudah sekali tergoda oleh tampilan antarmuka aplikasi yang berwarna, kata-kata promosi yang halus, dan proses pengajuan yang cepat. Pinjol legal pun bisa menjadi masalah jika pengguna tidak paham perhitungan bunga, apalagi pinjol ilegal yang jumlahnya diperkirakan mencapai Rp230–260 triliun peredaran dananya—jauh lebih besar dari pinjol legal.
Judi online bahkan lebih berbahaya. Desain platformnya dibuat mirip game, dengan animasi kemenangan yang sengaja dimunculkan di awal agar pemain merasa “nyaris menang”. Padahal industri ini bekerja dengan algoritma yang memastikan pemain jangka panjang selalu kalah. Keinginan untuk “mengejar kekalahan” inilah yang sering menghancurkan hidup banyak generasi muda.
Namun bukan hanya soal ekonomi. Ada aspek sosial dan psikologis yang membuat Gen Z dan Milenial lebih rentan. Tekanan untuk tampil mapan, budaya FOMO, kelelahan mental karena pekerjaan, dan keinginan hidup yang “cepat berhasil” membuat tawaran instan terasa sangat menggoda. Di saat dorongan emosional kuat, kemampuan menilai risiko menjadi jauh melemah.
Di sinilah literasi keuangan berperan. Literasi keuangan bukan hanya tentang menabung dan mengatur uang, tetapi tentang menata hidup. Ia memberi pemahaman bahwa:
-
tidak ada uang instan tanpa risiko,
-
pinjaman yang mudah cair biasanya memiliki konsekuensi besar,
-
judi tidak pernah menjadi “peluang”, tetapi jebakan,
-
utang yang tidak direncanakan dapat menghancurkan masa depan.
Generasi muda memiliki keunggulan: akses ke informasi. Jika kemudahan teknologi bisa menjebak, ia juga bisa menjadi alat untuk melindungi diri. Ada ratusan sumber pembelajaran, komunitas finansial, konten edukasi, dan platform anggaran yang bisa membantu meningkatkan literasi keuangan. Tantangannya hanya satu: mau belajar sebelum terlambat.
Artikel ini bukan untuk menyalahkan siapa pun, tetapi untuk membuka mata. Pinjol dan judol bukan sekadar masalah personal; ia fenomena sosial yang menyasar jutaan anak muda. Namun dengan literasi keuangan yang baik, setiap orang dapat membangun pertahanan diri: memahami risiko, menghindari jebakan, dan mengendalikan uang sebelum uang mengendalikan hidup.
Generasi yang cerdas bukan hanya yang mahir teknologi—tetapi yang mampu menggunakannya dengan bijak. Dan literasi keuangan adalah pondasi utama agar masa depan tidak terbeli oleh klik impulsif atau janji palsu “uang cepat”.

