Diberdayakan oleh Blogger.

Tampilkan postingan dengan label CSR. Tampilkan semua postingan

Jajanan Anak Banten: Ancaman untuk Indonesia Emas 2045


posted by rahmatullah on ,

No comments


 

Krisis Jajanan dan Masa Depan Anak Banten

Anak-anak SD di Banten adalah calon pilar bangsa menuju Indonesia Emas 2045. Namun, mereka saat ini terpapar jajanan murah penuh gula, pewarna, dan pengawet berbahaya.

Dampaknya tidak bisa dianggap sepele:

  • Jangka pendek, anak mudah lelah, sulit konsentrasi, bahkan mengalami gangguan pencernaan.

  • Jangka panjang, risiko obesitas, diabetes, hipertensi, hingga penyakit degeneratif mengintai.

Jika tidak ditangani serius, generasi emas yang kita impikan justru akan rapuh sejak awal


Data Aktual dari Banten — Ancaman Nyata

  1. Prevalensi obesitas dewasa di Banten mencapai 22,1% (Riskesdas 2018), lebih tinggi dari rata-rata nasional. Faktor utama: konsumsi makanan manis, minuman kemasan, dan kurang aktivitas fisik.

  2. Sekitar 70.000 warga Banten menderita obesitas, dengan konsentrasi tertinggi di wilayah Tangerang Raya (Radar Banten, 2023).

  3. Studi di MI Nurul Iman Cibogo (usia 7–12 tahun) menemukan 25% anak mengalami obesitas, dengan angka tertinggi pada usia 11 tahun (41,18%).

  4. Balita di Banten (0–59 bulan) tercatat 8,6% mengalami obesitas, menurut data BPS.

Angka-angka ini menunjukkan Banten berada dalam situasi darurat gizi dan pola konsumsi tidak sehat.


Mengapa Ini Mengkhawatirkan bagi Indonesia Emas

Bayangkan, jika anak-anak Banten yang akan menjadi generasi emas justru tumbuh dengan risiko penyakit metabolik sejak kecil. Mereka yang seharusnya memimpin bangsa di 2045, justru terbebani masalah kesehatan.

Indonesia Emas hanya bisa terwujud bila generasi mudanya sehat, produktif, dan berdaya saing. Kesehatan anak adalah fondasi pembangunan bangsa


Tanggung Jawab Produsen: Beranikah Mengutamakan Kesehatan Anak?

Produsen makanan dan minuman kemasan tidak boleh hanya mengejar profit. Mereka punya tanggung jawab moral dan sosial untuk memastikan produknya tidak merusak kesehatan generasi penerus.

Langkah yang harus dilakukan:

  • Reformulasi produk → kurangi gula, hentikan penggunaan pewarna dan pengawet berbahaya, gunakan bahan alami.

  • Label transparan & edukatif → sertakan informasi gizi yang jelas, termasuk batas konsumsi aman bagi anak.

  • CSR pro-kesehatan → bukan hanya soal lingkungan, tapi juga kampanye “Jajan Sehat” bersama sekolah dan Dinas Kesehatan.


Rekomendasi Terpadu untuk Banten

Pemangku Kepentingan Tindakan Praktis

Produsen

Reformulasi produk, label jujur, kampanye lokal “Jajan Aman Banten Sehat”.

Sekolah & Guru

Terapkan kantin sehat, edukasi gizi interaktif, dan perkuat program pengawasan jajanan.

Orang Tua

Siapkan bekal bergizi, batasi uang jajan, dan edukasi anak tentang risiko jangka panjang.

Pemerintah Daerah

Perkuat regulasi, tingkatkan pengawasan produk anak, beri penghargaan bagi produsen sehat, serta lakukan kampanye publik.


Penutup — Banten Sehat, Indonesia Kuat

Banten memiliki modal besar: generasi muda yang cerdas, serta inisiatif lokal seperti program Inspektur Pangan Cilik yang memberdayakan anak untuk mengawasi jajanan di sekolah. Namun, tanpa dukungan nyata dari produsen, sekolah, orang tua, dan pemerintah, masalah ini akan terus menggerogoti masa depan bangsa.

Kita butuh tindakan nyata hari ini.
Generasi sehat di Banten hari ini berarti Indonesia tangguh di 2045.


Referensi

  • Riskesdas 2018 — prevalensi obesitas dewasa di Banten: 22,1% (Journals UMS; Radar Banten).

  • Radar Banten. (2023). Ada 70 Ribu Warga Banten yang Mengalami Obesitas.

  • Jurnal STIKes Banten. (2022). Studi Obesitas Anak di MI Nurul Iman Cibogo.

  • BPS. (2023). Persentase Balita Obesitas Menurut Provinsi.


Terminasi Dalam Program CSR (Corporate Social Responsibility)


posted by rahmatullah on , ,

No comments

 


Terminasi adalah tahap akhir program CSR secara resmi setelah kegiatan utama selesai dan evaluasi akhir dilakukan. Pengakhiran tidak berarti memutus hubungan begitu saja, melainkan harus dikelola dengan baik untuk memastikan keberlanjutan manfaat serta meninggalkan kesan positif bagi penerima manfaat dan pemangku kepentingan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tahap terminasi antara lain:

1.       Serah Terima Hasil Program

Jika program menghasilkan output fisik (misalnya bangunan, fasilitas, peralatan) atau lembaga (misal terbentuknya koperasi atau kelompok masyarakat), lakukan serah terima secara formal. Buat acara sederhana: perusahaan menyerahkan aset atau tanggung jawab pengelolaan kepada pihak lokal (bisa pemerintah desa, kelompok penerima). Buat Berita Acara Serah Terima ditandatangani kedua belah pihak, misalnya: "Pada tanggal sekian, PT XYZ menyerahkan 50 unit jamban sehat kepada Pemerintah Desa ABC untuk dimanfaatkan warga." Hal ini menegaskan bahwa program selesai dan aset kini milik/di bawah pengelolaan mereka.

2.       Dokumentasi Penutupan

Dokumentasikan kondisi akhir program, ambil foto-foto setelah selesai kegiatan sebagai arsip dan pembanding dengan sebelum kegiatan. Selain itu lengkapi dengan testimoni peserta tentang kesan mereka diakhir program. Misalnya seorang ibu berkata: "Dulu kami mesti jalan 2 km cari air, sekarang sumur bor CSR memudahkan hidup kami." Ini baik di-capture untuk menunjukkan perubahan nyata.

3.       Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan

Berikan apresiasi kepada semua pihak yang telah berkontribusi, diantaranya kepada masyarakat dan tokoh lokal yang aktif, berikan piagam penghargaan atau surat terima kasih. Kepada tim pelaksana (volunteer karyawan, LSM mitra, fasilitator), beri sertifikat atau sekadar acara ramah tamah penutupan. Rasa dihargai ini penting untuk relasi jangka panjang, dan memotivasi partisipasi di inisiatif mendatang.

4.       Penyampaian Hasil Program kepada Masyarakat

Sampaikan ringkasan hasil program kepada warga dalam bahasa sederhana. Contoh: dalam pertemuan warga, tim CSR memaparkan: "Dari program kita ini, kita berhasil melatih 30 pemuda, 25 di antaranya sudah bekerja/buka usaha, pendapatan rata2 naik 40%. Ini berkat usaha keras bapak/ibu juga." Transparansi hasil membuat masyarakat menyadari pencapaian (atau bahkan kekurangan) dan menumbuhkan tanggung jawab melanjutkan hasil program.

5.       Keberlanjutan Lokal (Exit Strategy)

Pastikan mekanisme keberlanjutan dijalankan, jika sudah dibentuk kelompok atau kader, ingatkan peran mereka pasca program, misalnya "Posyandu ini sekarang kita serah terimakan ke kader, tolong tetap berjalan tiap bulan ya, kami percaya ibu-ibu bisa melanjutkan dengan lebih baik." Boleh fasilitasi pembuatan rencana kerja komunitas ke depan tanpa pendampingan. Juga hubungkan mereka dengan instansi terkait untuk dukungan lanjutan. Misal petani diarahkan ke penyuluh pertanian setempat selanjutnya.

6.       Merayakan Keberhasilan (jika appropriate)

Kadang perlu selebrasi kecil, semacam syukuran, untuk merayakan capaian. Ini membangun moral boost bahwa usaha bersama membuahkan hasil. Misalnya panen raya pertama pasca program diperingati dengan acara makan bersama hasil panen. Hal ini simbolik menanam kenangan indah soal program.

7.       Penutupan Administrasi

Dari sisi internal, termination berarti menutup administrasi: tutup buku keuangan program (pastikan semua invoice selesai, sisa dana dikembalikan atau dialokasikan sesuai aturan), arsipkan semua dokumen ke repository. Jika program melibatkan MoU yang kadaluarsa, catat tanggal berakhirnya dan pastikan kewajiban sudah ditunaikan. Buat laporan akhir final disetujui manajemen. Juga, jika ada reward bagi tim (misalnya volunteer internal), bisa diberikan diakhir ini.

8.       Evaluasi Internal

Setelah program ditutup, internal tim CSR sebaiknya mengadakan post-mortem meeting. Diskusikan apa saja pelajaran dari program, kendala internal, hal yang bisa ditingkatkan untuk penyempurnaan penyelenggaraan selanjutnya. Hal Ini untuk memperbaiki manajemen program mendatang. Juga memberi kesempatan tim melepas kejenuhan, serta saling mengapresiasi kinerja.

9.       Publikasi Akhir (Bila Perlu)

Dapat dipertimbangkan untuk membuat rilis berita atau media coverage penutupan program. Misal, "PT XYZ sukses tingkatkan produktivitas tani di Desa ABC sebesar 50% selama program Tahun 2023". Tentu, framing-nya jangan sombong tapi informatif. Libatkan kutipan tokoh lokal: "Kepala Desa ABC menyampaikan terima kasih ...". Publikasi akhir ini berguna memperlihatkan akuntabilitas kepada masyarakat.

10.   Catatan untuk Program Lanjutan (Aftercare Planning)

Terkadang meski program formal selesai, perusahaan dapat memutuskan memberi aftercare (tindak lanjut ringan). Hal ini dibahas pada bagian 6.6, tapi relevan di termination untuk memikirkan: Apakah perlu kunjungan monitoring 3 (tiga) bulan pasca? Apakah perlu call check-in dengan ketua kelompok bulan depan? Termination bukan berarti lepas tangan total, terutama jika program berpotensi berkembang. Buat minimal plan untuk aftercare meski kecil.

11.   Tutup dengan Komitmen Moral

Walau program telah selesai, sampaikan komitmen moral bahwa perusahaan tetap merupakan bagian dari komunitas, misalnya menyampaikan: "Kami pamit, tapi PT XYZ tetap peduli Desa ABC. Di masa depan bila ada kesempatan, kami siap bersinergi kembali", sikap seperti Ini meninggalkan goodwill, namun hati-hati jangan mengungkapkan janji spesifik (nanti tahun depan kami pasti buat program lagi) kalau belum ada kepastian dalam perencanaan.

Sebagai ilustrasi, misalkan program pembangunan taman bacaan desa: Saat termination, diadakan acara peresmian taman bacaan, dihadiri direksi perusahaan, pemerintah desa, warga. Anak-anak menampilkan tarian sebagai ucapan terima kasih. Direksi memotong pita, menyerahkan kunci perpustakaan ke kepala desa. Piagam penghargaan diberikan ke relawan pengajar. Lalu direksi menyampaikan: "Program literasi ini kami tutup, kedepan dikelola karang taruna. Kami percaya adik-adik akan rajin memanfaatkan. Suatu saat, kami berharap mendengar kabar baik, misal ada yang juara karena rajin baca di taman bacaan ini." Ada tumpeng makan bersama. Selesai acara, tim CSR berpamitan ke warga.

Momen perpisahan yang baik menutup program dengan manis, menghindari kesan "habis manis sepah dibuang". Ini menjaga hubungan bila perusahaan tetap ada di wilayah tersebut. Apalagi bagi perusahaan yang beroperasi jangka panjang didaerah, menutup program sebetulnya bukan perpisahan permanen, melainkan siklus program itu saja yang rampung.

Selalu ingat, target akhirnya adalah kemandirian komunitas. Termination yang ideal adalah ketika komunitas bisa melanjutkan tanpa ketergantungan lagi pada perusahaan untuk hal tersebut. Jika itu tercapai, maka program benar-benar sukses.

Kompetensi Pengelola CSR


posted by rahmatullah on , ,

No comments

 


Bicara tentang Corporate Social Responsibility (CSR), banyak orang langsung membayangkan kegiatan bakti sosial atau donasi perusahaan. Padahal, di balik layar, ada sekelompok orang yang bekerja keras agar program-program itu bukan hanya sekadar pencitraan, tetapi benar-benar membawa dampak nyata bagi masyarakat. Mereka adalah para pengelola CSR, sosok yang sering kali tak terlihat, namun punya peran strategis menghubungkan dunia bisnis dengan dunia sosial.

1. Kompetensi Inti

Bayangkan seorang pengelola CSR yang harus bisa memahami laporan keuangan perusahaan sekaligus mendengarkan keluhan warga di desa sekitar tambang. Itulah uniknya peran ini. Mereka butuh pengetahuan tentang pembangunan sosial, komunikasi, manajemen proyek, hingga bisnis.

Contohnya, ada CSR officer dengan latar belakang ilmu sosial yang jago membangun hubungan dengan masyarakat. Lalu ada insinyur lingkungan yang bisa merancang program pengelolaan limbah. Ada pula ahli komunikasi yang mampu menyampaikan cerita perusahaan dengan cara yang humanis.

2. Rekrutmen SDM CSR

Menariknya, orang-orang CSR datang dari berbagai jalur. Ada yang dulunya karyawan PR lalu beralih karena kemampuan komunikasinya. Ada juga yang berasal dari LSM, membawa idealisme dan pengalaman lapangan. Kombinasi keduanya membuat tim CSR jadi lebih kuat.

Misalnya, sebuah bank besar mengangkat staf Humas menjadi koordinator literasi keuangan masyarakat. Sementara perusahaan tambang merekrut aktivis lingkungan untuk mengurus program rehabilitasi hutan.

3. Pelatihan dan Pengembangan

Tugas CSR tidak berhenti di situ. Mereka terus belajar dan beradaptasi dengan tren baru. Ada yang ikut workshop SROI untuk mengukur dampak sosial, kursus sustainability reporting agar bisa menyusun laporan keberlanjutan, hingga pelatihan facilitation skill supaya makin piawai berinteraksi dengan komunitas.

Bahkan, tak jarang mereka dikirim ke forum internasional untuk berbagi dan menyerap ide-ide segar.

4. Soft Skills

Namun, semua keahlian teknis itu tak akan cukup tanpa soft skills. Empati, kemampuan negosiasi, dan leadership sangat menentukan. Bayangkan harus menengahi perbedaan antara kebutuhan warga desa dan target bisnis perusahaan—itu butuh seni komunikasi yang luar biasa.

5. Karir dan Retensi

Dulu, banyak orang menganggap karir di CSR adalah jalan buntu. Tapi sekarang, perusahaan mulai membuka jalur strategis. CSR officer bisa naik jadi manajer keberlanjutan, atau bahkan dipromosikan ke divisi bisnis setelah beberapa tahun.

Ada pula yang memberi bonus khusus jika target dampak tercapai—sebuah apresiasi nyata atas kerja sosial.

6. Jumlah dan Struktur Tim

Jumlah tim CSR sangat bervariasi. Perusahaan kecil mungkin hanya punya satu orang yang merangkap. Perusahaan menengah bisa punya tiga hingga lima orang. Sementara BUMN besar bisa memiliki belasan personel yang tersebar di berbagai daerah.

7. Keterlibatan Karyawan Non-CSR

Menariknya, program CSR tidak hanya dijalankan tim inti. Banyak perusahaan melibatkan karyawan lain melalui program volunteer. Ada yang membuat skema 'CSR Ambassador' di tiap departemen, ada pula yang memberi jatah satu hari khusus untuk kegiatan sosial dengan tetap digaji.

8. Mitigasi Turnover

Karena pekerjaan CSR sarat idealisme, pengelolanya bisa cepat frustrasi jika perusahaan tidak mendukung. Tak jarang mereka pindah ke NGO. Oleh karena itu, dukungan manajemen penting—mulai dari mendengar masukan tim CSR hingga memberikan ruang untuk berinovasi.

9. Etika dan Kepekaan Sosial

Terakhir, integritas adalah fondasi. CSR bukan sekadar proyek, melainkan amanah. Pelanggaran etika bisa merusak citra perusahaan sekaligus kepercayaan masyarakat. Karena itu, kode etik, transparansi, dan kepekaan budaya harus selalu dijunjung.

Pada akhirnya, pengelola CSR adalah jembatan antara perusahaan dan masyarakat. Mereka bukan hanya pekerja sosial, melainkan profesional strategis yang memastikan bisnis tumbuh sejalan dengan keberlanjutan sosial dan lingkungan.

Sketsa