Diberdayakan oleh Blogger.

Karena Manusia Bersekutu Dengan Bencana


posted by rahmatullah on ,

No comments

Satu abad yang lalu Jalalauddin Rumi pernah mengungkapkan keresahnnya akan nasib alam semesta “Bila sebutir atom dipindah dari letaknya yang wajar, alam semesta akan runtuh dari atap sampai ke dasar”. Apa yang diungkapkan Rumi hanyalah satu dari berbagai prediksi akan masa depan alam semesta yang pernah diungkapkan oleh orang-orang dahulu yang memiliki kebersihan hati. Dan semua orang sebetulnya sudah tahu sama tahu, semua telah terprediksikan sejak zaman dahulu, semua sudah tertuliskan dalam kitab suci, bahwa kerusakan di muka bumi akibat tangan manusia.
Dengan keserakahan, apapun bisa dilakukan manusia, gunung dipangkas, danau di uruk, hutan digunduli, samudera menjadi tempat segala macam sampah, permukaan tanah dibeton dan dikoyak-koyak paku bumi. Saat ini alam kehilangan poros keseimbangan karena mulai dari permukaan hingga inti bumi telah ‘dijahili’, semua lumpuh, semua sekarat, karena alam sudah tidak kuat lagi ‘me-rekondisi’ dirinya. Mungkin era sekarang banyak orang prediksikan sebagai era kalabendu, yang merupakan titik kulminasi kejenuhan dan kelelahan alam terhadap manusia. Sampai alam pun sudah tidak mampu lagi menjadi pengayom bagi manusia.
Jalaludin Rumi sudah mewariskan ilustrasinya pada kita dengan amat halus untuk sepenuh jiwa kita renungkan, “Bila sebutir atom dipindah dari letaknya yang wajar, alam semesta akan runtuh dari atap sampai ke dasar”. Lalu apa lagi yang akan kita bantah, karena bukan atom lagi yang kita pindah, melainkan tak terhitung berapa gunung yang sudah kita cacah manjadi danau-danau mati. Maka wajar jika tiap saat kita harus siap meregang nyawa karena di bagian manapun bumi Indonesia tidak bisa lepas dari teror bencana.
Lima belas tahun yang lalu tidak pernah terpikir oleh kita jika Sumatera akan terkena musibah banjir, Kalimantan terendam banjir, dan sekarang Papua juga tidak lepas dari banjir bandang. Hal-hal yang dulu kita anggap tidak mungkin kini menjadi amat mungkin, hal-hal irasional menjadi amat rasional. Apalagi yang akan kita bantah dari dampak keserakahan manusia. Oleh karena itu jangan sekalipun menyalahkan alam, sebab bencana alam hanyalah sekedar nama untuk menyembunyikan peran tangan manusia dari tanggung jawabnya, nama yang muncul disebabkan keserakahan, kepongahan dan takaburnya manusia.

Refleksi Filsafat Joyoboyo
Berkali-kali tulisan di media mengupas ramalan Joyoboyo yang diangkat Ronggowarsito dalam serat Katilada, menyiratkan bahwa bencana fisik sebagai pertanda kehancuran moral. Coba sedikit atau mungkin sekali-kali kita maknai potongan ramalan joyoboyo tiga abad yang lalu, disambungkan dengan tanda-tanda alam era kalabendu saat ini: “Banyak janji tidak ditepati, banyak orang telah berani melanggar sumpahnya sendiri,... Kejahatan dijunjung tinggi, kesucian dijauhi. Banyak manusia mengutamakan materi, lupa kemanusiaan, lupa kabajikan, lupa sanak saudara. Banyak Bapak melupakan anak, anak berani melawan Ibu dan Bapak”
“Banyak pejabat yang jahat, orang baik justru tersisih, banyak orang kerja halal justru malu, orang baik ditolak, orang jahat justru naik pangkat, yang mulia dilecehkan, yang jelek di puja-puja”
“Yang sewenang-wenang merasa senang, yang mengalah justru merasa semua salah. Ada Bupati yang tidak beriman, wakilnya bandar judi. Orang baik budi dibenci, orang jahat dan pandai menjilat diberi kedudukan. Pemerasan marak, pencuri melakukan kejahatan sambil duduk dengan perut besar... banyak orang mabuk doa.. “
Di akahir jangka-nya, joyoboyo berpesan “... perlahan namun pasti kelak kita akan memasuki zaman yang serba terbolak-balik. Dan bila jaman itu tiba, seuntung-untungnya orang yang lupa, lebih untung orang yang sadar dan waspada”
Jika kita cermat membaca tanda-tanda alam, bisa jadi sekarang adalah zamannya yang diperkirakan Joyoboyo akan terjadi. Joyoboyo menyentuh kita dengan pertanda-pertanda kehancuran moral yang akan meluluhlantakkan keseimbangan alam. Etika yang luruh, kearifan yang semakin sirna, dan saat sekarang manusia semakin tidak memanusiakan manusia. Karena keserakahan dan angkara murka menjadi Tuhannya, yang sakral jadi profan dan hal-hal profan kian dipuja-puja menjadi sakral.
Sudah menjadi kesepakatan kolektif, jika ciri-ciri diatas lebih identik dengan para pemimpin di negeri ini, baik dari level lokal hingga nasional. Pemimpin keagamaan, pemimpin informal hingga pemimpin di perusahaan. Sumpah jabatan tinggal menjadi sumpah serapah, janji mensejahterakan rakyat, malah mensejahterakan komunal. Kroni yang tidak memiliki kapabilitas dalam keilmuan diangkat menjadi pejabat yang bukan bidang keahliannya. Karena yang terjadi di negeri kita adalah orang–orang yang menjadi pejabat adalah mereka yang memiliki akses tapi tidak memiliki kapasitas pada bidangnya, dan yang memiliki kapasitas kebanyakan menjadi pengangguran karena tertutupnya berbagai akses. Wajarlah jika banyak kebijakan pemerintah yang manapun amburadul karena tidak pada tempatnya, dan masyarakat selalu dijadikan sebagai ajang coba-coba peraturan yang dibuat pemerintah, tujuannnya agar setiap peraturan mengikat masyarakat lemah dan tidak menyentuh para elit, sehingga mereka tetap bebas untuk menerabas.
Kita juga kehilangan suri tauladan di berbagai bidang kehidupan. Materialisme dan keterdesakan hidup menyebabkan para agamawan kehilangan wibawa, menjadi stempel legitimasi informal para pejabat dalam melanggengkan kekuasaanya. Begitu pula akademisi kehilangan idealismenya, menjadi pragmatis menjual produk intelektual sesuai pesanan si empunya kepentingan demi mendapatkan pundi-pundi kemapanan hidup.
Jika dulu kita punya sosok guru yang tidak sekedar menjadi pengajar di sekolah melainkan sekaligus menjadi rujukan dalam kehidupan bermasyarakat sebab mengajarkan kebersahajaan, pengabdian dan ketulusan, namun sekarang sosok-sosok yang kita disebut sebagai ‘nabi’ pada zamannya kian sulit dicari. Bisa jadi semesta kian kerontang, karena langkanya orang-orang bijak dalam kata dan laku.

Keadilan Tuhan
Visi penciptaan sebetulnya di dasarkan pada tertib hukum yang mutlak dan cermat, yang terarahkan secara sadar sesuai kemauan Illahi. Alienasi manusia dengan dunia, dan konflik manusia dengan dunia, seringkali timbul akibat pandangan manusia terhadap dunia berdasarkan materialisme.
Materialisme telah mematikan nalar dan rasa manusia, dituhankannya benda dan waktu, dinafikannya relasi-relasi moral dan sosial, karena semua telah tergantikan oleh kepentingan akan mencari kekayaan. Sangat berbahaya manusia yang bersekutu dengan harta, karena dalam memperolehnya di halalkan segala cara, dibangunnya koalisi antara manusia-manusia materialis demi kepentingan mengumpulkan pundi-pundi harta. Orang-orang inilah tanpa nurani membabat hutan, memapas gunung, menguruk danau. Orang-orang ini pula yang merekayasa kebijakan agar berpihak pada pemilik modal di semua lembaga-lembaga pemerintahan agar semua kepentingan bisa menjadi licin, menyuap aparat, mencocok hidung para akademisi dan praktisi. Tanpa sadar, dari nila setitik tangan merekalah bencana di negeri ini berawal.
Filsafat absurditas, sasaran yang selalu mengejar kenikmatan hidup akan selalu terdorong untuk mengukur suatu kehidupan, tindakan-tindakan dan hubungan sosial, dengan ukuran-ukuran kenikmatan. Dan kenikmatan kesenangan akan menjadi norma yang manusia gunakan sebagai penilai segala hal. Karena selalu memburu kenikmatan, setiap orang ini tidak akan bersedia memberikan pengorbanan diri.
Subjektifitas kepentingan seseorang adalah kuasa diatas segalanya, karena apapun itu tindakan yang dilakukan, laku baik atau buruk, benar atau salah, wajar atau kurang ajar, hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan pribadi, parameternya adalah kepuasan diri, karena semua tidak berdaya dihadapkan pada kemolekan harta. Tidak langka manusia kini mendewakan hobi, rela mengluarkan sebanyak-banyaknya kekayaan, demi kepuasan pribadi, disaat orang lain kelaparan, disaat orang lain terkepung bencana. Karena dalam ubun-ubun mereka serasa dunia hanyalah milik sendiri
Inilah yang disebut teater absurd yang jauh berbeda dengan teater zaman lalu, Jika teater zaman lalu berperan sebagai alat penyebaran gagasan moral, idiologis, filosofis, dan lain-lain. Teater absurd tidak ada sesuatu pun yang memiliki makna. Teater mendramatisir bahwa eksistensinya tidak memiliki makna atau tujuan.
Jika kita runut filsafat absurditas, yang mengarah pada bersekutunya manusia dengan bencana, berawal dari manusia-manusia materialistis, karena semua ditakar dengan harta, kepuasan, kekayaan, dan kenikmatan pribadi. Persekutuan manusia dengan bencana menggusur apa yang disebut moral, etika, kearifan, filosofi, idiologi, bahkan turut andil mengubah agama menjadi komoditi, dan teks-teks kitab suci seakan ditafsirkan mendukung apa pun langkah-langkah manusia materialistis. Tidak usah heran jika bencana memang betah dan amat ‘kerasan’ di negeri ini.

Leave a Reply

Sketsa