Diberdayakan oleh Blogger.

Selebriti Juga Guru


posted by rahmatullah on

No comments

“Hidupkan Televisi, ambil koran, maka konstruksi realitas berlangsung di sana, di hadapan mata anda. Dan bila anda melihat secara dekat, khususnya bagaimana peristiwa di interpretasikan di berbagai media, anda akan segera melihat bahwa di dalamnya di konstruksi berbagai realitas yang berbeda” (Walter Truett Anderson).
Berbicara tentang selebriti, akan selalu hangat sebagaimana hangatnya kita makan pisang goreng diselingi seruput kopi, takkan pernah membuat kita bosan, bahkan menjadi candu baru yang sifatnya menghibur masyarakat Indonesia di tengah sulitnya menjalani ritme hidup. Apalagi ketika melihat sajian lengkap informasi selebriti dalam infotainment, sekali saja terlewatkan, seseorang mungkin akan menggerutu dan menyesal, lalu memburu ketertinggalan informasinya dengan ngerumpi bersama tetangga yang jauh lebih intensif meng-hunting secara up to date info apapun mengenai selebriti. Bisa jadi inilah realitas masyarakat kita, yang merasa bahagia ketika utopi-nya tidak mampu ia nikmati, tergantikan oleh selebriti sebagai pujaannya yang bisa merasakan utopi yang ia cita-citakan, sehingga dukanya selebriti adalah duka pemujanya, begitu juga sukanya selebriti akan beralih menjadi sukanya si pemuja.
Tahun 2006 adalah tahunnya selebriti, karena menunjukkan begitu banyak corak mewarnai kontroversi perselebritian Indonesia. Salah satu yang menarik adalah ketika diproduksinya sinetron Selebriti Juga Manusia (SJM), hingga Ade Armando membuat ulasan dengan judul “Etika Selebriti Juga Manusia”, yang mengupas kontroversi sinetron Selebriti Juga Manusia (SJM). Ade mengritik ketidakpedulian (sebagian) insan pertelevisian Indonesia tentang etika, prinsip-prinsip kepantasan, kejujuran dan kebenaran. Belum lagi masyarakat dihebohkan oleh fatwa haram PBNU, kembali tentang sajian berita selebriti, fatwa tersebut ditujukkan kepada kaum nahdiyin agar terlepas dari dosa ghibbah dan fitnah, walaupun masyarakat masih bingung bagaimana mekanisme kontrolnya, toh yang kita saksikan di TV apapun itu tayangannya, pada akhirnya tangan kitalah yang berkuasa atas remote control.
Terlepas dari dua masalah di atas, nampaknya jika kita membaca realitas secara objektif mengenai tingkah polah selebriti yang terpublikasikan dalam infotainment, di tinjau dari efek yang ditimbulkan terhadap konsumen dalam hal ini masyarakat, ternyata jauh lebih banyak nilai mudharat-nya daripada maslahat-nya, karena mayoritas yang tersaji lebih pada hal-hal yang kontroversi bahkan ‘sekedar heboh’, yang justru berita menghebohkan tersebut minim nuansa pendidikannya, bahkan jauh untuk dikatakan memberikan andil tauladan kepada masyarakat. Misalnya berita mengenai selebriti yang terlibat perceraian, perselingkuhan, kriminal, ketergantungan obat, hamil di luar nikah, pola hidup konsumtif, dan sebagainya, porsinya akan jauh lebih besar dibanding berita yang di dalamnya terdapat muatan edukasi, seperti selebriti yang mengadakan kegiatan amal, menjadi duta organisasi atau kemanusiaan, atau menjadi orang tua asuh.
Apa yang kita bahas disini, bukan berupaya menambah daftar panjang permasalahan selebriti, melainkan sama-sama semaksimal mungkin kita coba balikkan realitas, jika selama ini selebriti terstigmakan negatif dengan massifnya berita gossip, saatnya realitas tersebut kita balik dengan mendudukan selebriti bukan sebagai masalah, melainkan sebagai potensi. Selebriti memiliki potensi yang besar andai dilibatkan secara aktif menjadi stake holder dalam mengatasi berbagai permasalahan moral bangsa, bukan semata-mata reaktif, dilibatkan hanya pada saat kegiatan seremoni atau menjadi pemanis sekaligus pemancing massa dalam kegiatan kampanye.
Tanpa kita sadari, selebriti merupakan ‘guru’, dimana sikap dan tingkah lakunya ternyata di gugu dan di tiru masyarakat, kadang selebriti menjadi ‘guru’ yang jauh lebih efektif dari pada guru sebenarnya di sekolah, sama halnya dengan fungsi kiai dan tokoh masyarakat, hanya titik tekan yang belum mereka sadari adalah pada apa yang seharusnya mereka tauladankan kepada masyarakat.
Kelebihan selebriti adalah karena mereka memiliki fans (pemuja, pengikut) yang terkategorikan fanatik (berkeyakinan kuat, berlebih-lebihan menganut atau mengikut, tanpa mempergunakan akal yang sehat) atau fans yang sekedar menikmati seni, baik atau buruk yang dilakukan selebriti akan coba semaksimal mungkin mereka ikuti, mulai dari cara berpakaian, gaya hidup, hingga aktivitas keseharian. Efek dari apa yang dilakukan selebriti adalah histeria massa, dimana massa akan bereaksi bahkan akan mati-matian membela selebritinya, entah yang dilakukan benar atau salah, karena jika seseorang telah menjadi fans, sadar atau tidak proses imitasi telah terjadi.
Jika kita rekayasa secara positif mengenai fans ini, besar sekali potensinya untuk diarahkan menjadi agen kebaikan, coba kita hitung berapa puluh ribu jumlah slankers sebagai fansnya slank, berapa puluh ribu orang Indonesia (OI) fansnya Iwan fals, berapa banyak baladewa fansnya Dewa 19, berapa banyak fans Radja, Ungu, Ada band, Krisdayanti, Agnes Monica, Trio Macan, Dian Satro dan sebagainya, bahkan akan sepadan dengan jumlah fansnya Aa Gym, UJe, Gus Dur, SBY, Amien Rais, atau Megawati. Jika di total, jumlahnya bisa mencapai jutaaan. Bukankah ini potensi besar yang bisa menjadi turning point menuju perubahan moral bangsa, andai ada yang mengelola dan merekayasa, hanya masalahnya belum banyak pihak yang memanfaatkan kekuatan ini, kecuali untuk kepentingan pragmatis atau komoditas politik. Selain itu yang menjadi permasalahan terbesar adalah lemahnya kesadaran selebriti itu sendiri, jika sebenarnya mereka memiliki potensi besar dalam berpartisipasi. Sudah seharusnya selebriti merubah image, jika selama ini seolah-olah mereka merasa tidak punya peran dalam merancang atau terlibat dalam perubahan bangsa, justru jika kita jujur menyelami, selebriti merupakan stake holder yang potensial dalam mengkampanyekan perubahan tersebut.
Dalam sistem perbuatan sosial Parsons, terdapat tiga aspek, yaitu sistem kepribadian para pelaku sosial, sistem budaya, dan sisitem sosial. Secara teoritis, ketiga aspek itu akan membentuk sebuah integrasi, kalau kita mengikuti cara berpikir fungsionalisme. Namun, sering ketiga aspek tersebut tidak secara sempurna terjalin dalam sebuah hubungan, sehingga terdapat kesenjangan atau ketegangan antara aspek-aspek itu. Sebuah rekayasa sosial sebenarnya adalah usaha supaya aspek-aspek sosial untuk saling mendukung, dan tidak sebaliknya saling menghambat. Selebriti juga manusia yang merupakan pelaku sosial, tidak cukup satu pihak mendirikan bangunan moral dan pihak lain dengan mudah meruntuhkannya. Sekaranglah saatnya selebriti menjadi guru yang baik dan benar, apa yang anda lakukan selama ini tanpa sadar ternyata telah di gugu dan di tiru masayarakat. Tidak rumit dalam menafsirkan diri menjadi guru, tidak perlu repot-repot mengajar di kelas. Anda cukup memberikan peneladanan di layar kaca, dan dalam aktivitas keseharian, membatasi diri dalam memberikan informasi, paparkan yang baik-baik saja, redam yang tidak baik, berpakaian dengan santun, insya Allah dengan hal sesederhana tersebut selebriti telah berpartisipasi dalam mengajarkan hidup yang benar kepada masayarakat, menuju perubahan moral bangsa yang lebih baik.

Leave a Reply

Sketsa