Oleh :Rahmatullah
Semakin hari peristiwa politik di negeri kita semakin ajaib saja, jika beberapa tahun kebelakang kita terkaget-kaget seakan percaya atau tidak percaya ketika menyaksikan aktor laga Amerika Arnold Schwarzenegger yang biasanya menghibur kita dalam ketegangan-ketegangan lakon jagoannya dalam beberapa film, ternyata "beralih profesi" menjadi seorang gubernur di Negara bagian California, dan betul-betul menjalankan lakon "realnya" sebagai Gubernur yang hebat dan dicintai rakyatnya. Mungkin karena popularitas Arnold setara dengan Kapasitasnya sebagai seorang leader, sehingga antara lakon dalam film dan kepemimpinan sesungguhnya, tidak menampakan paradoks peran.
Jika dulu kita melihat realitas Arnold Schwarzenegger sebagai fenomena yang jauh dari pelupuk mata kita dan seolah-olah tidak akan mungkin terjadi di Indonesia, namun fenomena itu ternyata semakin dekat dan sudah pasti akan terjadi ketika Rano Karno atau "Si Doel" yang tiga tahun lalu lakonnya dalam sinetron Si Doel Anak Betawi setiap hari menyapa kita melalui TV hampir pasti menjadi wakil Bupati Kota Tangerang mendampingi Ismet Iskandar untuk periode 2008-2013, kerena berdasarkan penghitungan sementara KPU tangerang dan Quick count Lembaga Survey Indonesia (LSI) pasangan tersebut memimpin perolehan suara dengan kemenangan 56,51 %.
Politik memanglah politik, siasat yang memang akan terus berubah dalam waktu yang sangat cepat, tanpa mengingat fatsoen ataupun kredo politik, demi untuk memenuhi hasrat kekuasaan yang menggebu-gebu. Kita sangat ingat dan sadar, jika dulu para artis tidak larut atau turun langsung dalam politik praktis, melainkan berperan professional, hadir dalam perhelatan kampanye, murni sebagai penghibur, dan tidak terikat sebagai anggota partai politik. Kemudian era bergeser, ketika para artis secara tegas-tegas mendukung partai tertentu dan menegaskan dirinya sebagai kader, walaupun sebetulnya pragmatis juga, berperan sebagai kutu loncat, menilai partai mana yang bisa mendongkrak popularitas sekaligus bisa mendukung karir politik mereka, ketika dunia keartisan sudah tidak mampu diharapkan untuk menunjang penghidupan. Era berikutnya adalah ketika para artis memang dipinang atau meminang partai walaupun bukan kader untuk maju menjadi calon-calon kandidat dalam Pilkada. Apa yang dilakukan para artis sebetulnya seiring dengan kebutuhan partai, yang memang berhasrat menang dalam pemilu tapi miskin popularitas, oleh karena itu kebutuhan antara para artis dan kebutuhan partai politik saling berkaitan. Walaupun sikap atau realitas politik seperti ini tanpa disadari telah membunuh karir para kader partai politik.
Fenomena apa yang sebetulnya sedang terjadi dalam perjalanan politik kita yang sarat akan ritme selebrasi, ketika panggung politik saat ini semakin kentara diisi oleh mereka yang berasal dari panggung hiburan. Apakah memang mereka yang berkiprah dalam dunia politik semakin frustasi ketika melihat fenomena hasil penelitian berbagai lembaga survey saat ini menunjukan bahwa popularitas lebih hebat dibandingkan dengan kapabelitas, citra lebih penting dibandingkan dengan nyata. Apakah masyarakat kita memang sekarang semakin terhalusinasi oleh fenomena simulakra, ketika yang bukan realitas dimaknai realitas, apa yang terjadi di layar kaca seakan-akan menjadi seideal di panggung nyata. Kemana para kader partai sebenarnya, yang merintis karir dari nol, yang membidani kelahiran dan mengurus partai, jika harus tergusur peran, eksistensi dan karirnya oleh ara artis yang baru mencicip satu bulan kurang di partai politik, lantas sebegitu mudahnya menjadi pejabat atau anggota legislatif. Sedangkan para kader "asli" harus menunggu antrian dua atau tiga periode lagi untuk menajadi anggota dewan, itu pun jika tidak diserobot oleh tokoh atau artis yang mengambil jatah mereka, atau kader lain yang memiliki uang untuk mempercepat karirnya.
Seharusnya kader-kader partai politik semakin resah dan bukan malah ikut bahagia ketika semakin derasnya peristiwa hijrahnya para artis ke partai-partai politik, walaupun benar citra partai bisa terdongkrak dan suara dalam pemilu bisa teralihkan dengan mendekatnya para artis. Kenapa harus dimaknai sebagai ancaman serius, Karena bagaimanapun juga seberapa sering kompas karier mereka terpotong berkali-kali, karena previlage (hak keistimewaan) para artis mengalahkan segalanya, mengalahkan ikhtiar mereka dalam merintis karir berbelas tahun mulai dari anggota muda atau Pengurus Anak Cabang (PAC) atau pengurus ranting, lalu terus menerus menjai stagnan. Sebenarnya ada dua buah kesadaran yang harus terbangun oleh mereka yang merintis karir sebagai kader dalam partai politik. pertama, menganggap bahwa fenomena kutu loncat para artis sebagai ancaman bagi kader, karena menghambat laju karir politik para kader untuk menjadi orang yang memegang posisi penting di pemerintahan atau partai politik. Kedua, memaknai fenomena tersebut sebagai sebuah motivasi para kader dan partai politik sebagai upaya meningkatkan kapabelitas dalam berbagai sektor, sehingga agen partai memang agen perjuangan dan pengkhidmatan, agar mereka dikenal bukan semata popularitas atau pragmastsme, melainkan karena kapasitas dan loyalitas kepada masyarakat.
Kita berani mengatakan bahwa fenomena artis menjadi pejabat sebagai kegagalan hampir seluruh partai politik dalam hal kaderisasi, karena tidak mampu membangun kader yang matang untuk berkiprah kedalam panggung politik nyata, melainkan hanya mampu menjadikan kader sebagai orang-orang yang statis, karena semua dibangun atas dasar pragmastisme politik. Makanya wajar jikapun ada kader yang behasil berkiprah dalam panggung politik nyata, tidak jarang dihadapkan pada kepolosan, kegagapan dan kegagalan, yang berakhir pada kekecewaan masyarakat, maka wajar andai korupsi semakin menggejala ketika sebuah wilayah dipegang orang-orang baru, karena mereka menjalankan pemerintahan dengan "ketidaktahuan", sebetulnya fenomena ini bisa dihitung dari seberapa banyak pejabat daerah yang ditangkap dan dijadikan tersangka oleh KPK. Ketidak"Pe-De"an partai politik mengusung kader aslinya untuk memenangkan berbagai Pilkada merupakan titik buntu ketika desakan gairah kekuasaan semakin besar tidak seimbang dengan kemampuan yang ada, maka jalan yang ditembus adalah menjunjung tinggi popularitas diatas segala kapasitas yang ada yang penting menguasai. Asumsi mereka adalah, jika nanti jabatan berhasil diduduki, pembelajaran bisa didapatkan dilapangan, gak perlu orang-orang yang matang atau mengerti.
Bagaimanapun juga, inilah sebuah demokrasi yang harus kita hargai, ketika politic distrust benar-benar telah terjadi. Semoga Rano Karno bisa se sakti Arnold, tidak menampakan kekontrasan antara perannya dalam sinetron Si Doel Anak Betawi yang sangat Protagonis, memikat para ibu karena keteladannya, tidak lantas menjadi anatagonis ketika berhadapan dengan dunia nyata, saat menjadi wakil Bupati Tangerang.
posted by rahmatullah on Humaniora