Deputi Koordinasi bidang penanggulangan kemiskinan kementrian koordinator bidang kesejahteraan rakyat menyatakan bahwa, jumlah penduduk miskin Indonesia masih cukup banyak, ditandai dengan adanya kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi bagi sebagaian masyarakat. Pada gilirannya kondisi tersebut apabila tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan antara lain, (i) tingginya beban sosial masyarakat, (ii) rendahnya kualitas dan produktifitas sumber daya manusia, (iii) rendahnya partisipasi aktif masyarakat, (iv) menurunnya ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, (v) menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan (v) kemungkinan pada merosotnya mutu generasi yang akan datang.
Dilihat dari sub-sub permasalahan kemiskinan diatas cukuplah pelik terlebih lagi dengan naiknya harga BBM dan kebutuhan lainnya sekarang ini. Namun adanya masalah bukan berarti tertutup segala kesempatan. Masih ada konsep dan tatanan yang bisa diberdayakan, dimaksimalkan dan bahkan di massifkan. Potensi menuju kemajuan dan kebangkitan Indonesia tetap ada, dan upaya mengurangi tingkat disparsitas sosial yang sangat tinggi bisa dilakukan berbading lurus dengan pengurangan tingkat kemiskinan. Filantropi atau kedermawanan sosial adalah konsep indigius knowledge masyarakat Indosnesia dan dasar etik tertinggi dalam Islam merupakan salah satu solusinya, tinggal bagaimana mengelola, memaksimalkan dan memberdayakannya, karena akar permasalahan dan akar solusi ada dalam masyarakat.
Konsep Filantropi
Kedermawanan sosial (filantropi) bukanlah hal yang baru dan asing bagi masyarakat Indonesia. Meski terminologi Filantropi baru popopuler dalam lima tahun terakhir, sebenarnya masyarakat sudah mengenal dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai tradisi selama berabad-abad. Kebiasaan berderma pada dasarnya merupakan kebiasaan masyarakat yang berakar pada ajaran agama. Tradisi berderma ini berkembang pesat dan menemukan momentum pada pertengahan tahun 1990-an, saat krisis ekonomi, konflik sosial, kerusuhan, dan bencana alam yang kerap terjadi di Indonesia.
Majalah Time tanggal 24 Juli 2000 pernah mengklaim bahwa bangsa Amerika adalah bangsa yang paling pemurah sedunia. Mengutip penelitian Universitas Jhon Hopkins, majalah ini membandingkan kedermawanan bangsa Amerika, dengan bangsa Jerman dan Prancis. Jumlah orang Amerika yang menyumbang uang pada 1999 mencapai 73 %, jauh melebihi Jerman 44 % maupun Prancis 43 %. Secara nominal total sumbangan negeri Paman Sam pada periode 1999 mencapai 190 miliar dolar AS. Angka ini setara dengan sepertiga anggaran federal Amerika. Dengan perkiraan penduduk sekitar 250 juta orang, maka nilai sumbangan perkapita pertahun bangsa Amerika mencapai 760 dolar atau RP 7,6 juta.
Setidaknya ad dua hal yang yang dapat menjelaskan fenomena tersebut. Pertama, lahirnya miliuner-miliuner baru seperti Bill Gates (Microsoft), Jim Clark (Netscape), Ted Tuner (CNN), dan sebagainya, yang membawa kembali masa keemasan tradisi berderma di lapisan superkaya di negeri itu. Kedua insentif pengurangan dan pembebasan pajak untuk kegiatan sosial lebih besar diberikan AS dibandingkan di Eropa Barat atau Jepang, Artinya di Jepang, dana sosial lebih banyak disalurkan melalui mekanisme pajak.
Bagaimana dengan Indonesia? PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) melakukan survei di sebelas kota besar di seluruh Indonesia, dengan 2.500 responden, mengungkapkan sejumlah informasi menarik. Tingkat bersedekah (rate of giving) masyarakat Indonesia (yang di survei) terbukti jauh lebih tinggi dari bangsa Amerika, apalagi Jerman dan Prancis. Hampir semua responden 96 % mengaku memberi sedekah kepada seseorang, sebagian besar memberi lembaga keagamaan 84 %, maupun lembaga non keagamaan 77 %. Cuma yang membedakan adalah nilai nominalnya. Dua hal yang dapat menjelaskan perbedaan mencolok bentuk sedekah masyarakat kita adalah. Pertama, kemampuan memberi berkorelasi positif dengan besarnya sumbangan. Orang yang berasal dari kelas lebih kaya jelas lebih mampu memberi, meskipun belum tentu lebih murah hati daripada kelas di bawahnya.
Hal kedua yang menjelaskan perbedaan pola bersedekah masyarakat kita adalah motivasi utamanya. Di Indonesia faktor agama adalah motif utama bagi seseorang untuk menyumbang, tidak heran jika rate of giving masyarakat kita mencapai lebih dari 95 %. Salah satu bukti dari informasi ini adalah suburnya kegiatan berderma di hari-hari keagamaan seperti ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha.
Potensi-Potensi Filantropi
A. Diaspora Filantropi
Hamid Abidin dalam tulisannya From Rantau With Fund mengatakan bahwa ada potensi besar pada ‘diaspora Filantropi’ atau kedermawanan sosial para perantau dan hal tersebut merupakan salah satu potensi kedermawanan di Indonesia yang cukup unik. Kedermawanan ini diwujudkan dalam bentuk pemberian sumbangan berupa uang dan barang dan bentuk bantuan lainnya oleh warga yang merantau di kota-kota besar kepada kampung halamannya.
Ada banyak organisasi perantauan yang menggalang dan mengelola sumbangan dari para perantau. Di Jakarta saja ada sekitar 30 organisasi perantauan diantaranya Gebu Minang (gerakan seribu rupiah masyarakat minang), SAS (Sulit Air Sepakat), Gesor (Gerakan Sosial Orang Rantau), PTR-JBS (Paguyuban Tukang Reparasio Se- Jawa, Bali dan Sumatera). Yang terakhir PTR-JBS berhasil menyumbang sejumlah uang Rp 33,5 juta, yang pengelolaannya digunakan untuk membeton jalan desa sepanjang 760 m. Sementara itu para perantau dari desa Siman, kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan Jawa Timur, yang tergabung dalam paguyuban Siman Jaya, yang merupakan sebagian mereka menjadi perantau dengan berjualan soto lamongan dan pecel lele, berhasil memberikan kontribusi kepada desanya masing-masing dengan membangun sekolah, jalan, dan masjid termegah di Lamongan.
Namun sayangnya, kepedulian dan kedermawanan terhadap kampung halaman ini tidak diimbangi dengan upaya pendayagunaan sumbangan secara optimal. Donasi para perantau sebagian besar masih dimanfaatkan untuk keperluan konsumtif dan charity. Selain karena pola pemberiannya yang dilakukan secara sendiri-sendiri, yang biasanya cenderung konsumtif, lembaga penggalangan dan pengelolaanannya juga belum bisa berdayaguna secara optimal. Selain itu hampir semua lembaga yang mengelola tidak pernah melakukan need assesment dan evaluasi dampak pemberian dana.
B. Orang-orang Kaya
Majalah Forbes terbitan akhir Juni 2002 lalu measukkan nama Presidir PT.Gudang Garam, Rahman Halim dan Presidir HM Sampoerna,, Putra Sampurna ke jajaran 538 orang terkaya dunia yang masing-masing menempati peringkat 292 dan 387 dengan nilai kekayaan 20,5 triliun dan 14,8 triliun.
Lain lagi yang dengan pengumuman majalah Swasembada yang membeberkan profil 10 selebritis pencetak uang terbanyak. Krisdayanti bertengger di tempat teratas dengan penghasilan 4,5 miliar pertahun, dan diikuti sheila on seven, joshua, Melly Guslaw dan yang lainnya.
Publikasi kekayaan dan nilai derma yang diberikan merupakan sebuah keharusan, karena dengan demikian ada upaya pemberian teladan dari satu hartawan kepada hartawan yang lain. Publikasi juga dapat menepis tudingan masyarakat bahwa yang bersangkutan hidup bermewah-mewah di tengah kemiskinann orang lain.
Di Amerika maupun Eropa yang kegiatan Filantropinya sudah maju, publikasi yang berkaitan dengan derma, khususnya yang berkaitan dengan orang-orang kaya, sudah jamak. Majalah Forbes yang memuat jumlah kekayaan Bill Gates yang mencapai US$ 58,7 miliar, berita selanjuutnya yang ditunggu masyarakat adalah mengenai jumlah sumbangan yang diberikan Bos Microsoft tersebut. Tak lama media mempublikasikan sumbangan Gates dan Istrinya yang jumlahnya mencapai US$ 21 miliar. Sumbangan itu diberikan untuk program eradikasi penyakit TBC melalui “ Bill & Melinda Gates Foundation”. Publikasi serupa dilakukan miliarder lainnya seperti George Soros.
Kebiasaan derma semacam itu perlu ditradisikan di Indonesia dengan mendorong orang-orang kaya untuk mengumumkan secara terbuka peruntukkan kekayaan atau pendapatan yang diperolehnya.
C. Derma Perusahaan
Pada tahun 2001, PBB menetapkan sebagai International Year of Volunteer atau tahun relawan sedunia. Momentum tersebut ternyata banyak mencetak para sukarelawan dari berbagai kalangan mulai dari mahasiswa, aktivis LSM, karyawan, siswa, profesional, maupun pekerja sosial untuk bergerak lebih massif lagi dalam mengkampanyekan filantropi, tak hanya sekedar sebagai pekerja teknis tetapi juga merupakan donatur tetap. Yang paling menarik saat ini adalah banyak perusahaan memiliki divisi sosial yang khusus menampung, memngelola dan menyalurkan dana-dana sosial. Belum lama ini salah satu hotel di jakarta menyatakan akan menyumbangkan RP.10.000,00 dari tiap kamarnya yang disewa tamunya untuk diberikan kepada yayasan Kehati (keanekaragaman hayati), Dunkin Donuts, menyumbangkan Rp.100,00 dari tiap transaksinya dengan konsumen untuk membiayai anak putus sekolah. Sumbangan tersebut diserahkan kepada Yayasan Dompet Dhuafa (YDD). Konon dana yang terkumpul dalam waktu dua bulan adalah hampir seperempat miliar rupiah atau Rp.244 juta dari Dunkin Donat.
Dibanding dengan kebutuhan masyarakat tentunya angka ini tidak besar. Tetapi kalau saja puluhan atau bahkan ratusan perusahaan mengikuti jejaknya, tentu nilai dana sosial ini akan cukup berarti.
Archie B. Carol, mengembangkan satu konsep piramida tanggung jawab perusahaan. Dimana piramida ini terdiri atas empat jenjang tanggung jawab perusahaan.
- Pertama, adalah tanggung jawab ekonomis. Sederhanannya adalah perusahaan harus menghasilkan laba.
- Kedua, adalah tanggungjawab legal. Dalam mencapai tujuannya mencari laba, sebuah perusahaan aharus mentaati hukum.
- Ketiga, adalah Tanggungjawab Etis. Ini berarti perusahaan berkewajiban menjalankan hal yang baik dan benar, adil dan fair.
- Keempat, tanggung jawab Filantropis, mensyaratkan perusahaan untuk memberikan kontribusi kepada publik. Tujuannya adalah meningkatkian kualitas kehidupan semua.
Beberapa perusahaan di Indonesia telah memberikan kontribusi Coorpotrat Givingnya diantaranya TPI, Freeport, Hard Rock Hotel Bali, GE, Bogasari dan sebagainya.
Sepintas Islam Filantropi dan Kultur Filantrofi Indonesia
Kedermawanan dalam Bahsa Arab disebut al-sakhwah, lawannya adalah kebakhilan (al-bukhl). Orang yang bersifat dermawan disebut Sakhiy atau karim. Salah satu nama Allaha dalah karim, dan salah satu nama Allah adalah Al-Karim, karena Allah adalah yang paling suka memberi. Dalam Tabrani diriwayatkan, ada sahabat yang bertanya klepada Rasulullah, “Ya Rasulullah tunjukkan kepadaku amal yang menyebabkan aku masuk surga”. Rasulullah bersabda “Yang memastikan kamu kamu masuk surga dan mendapatkan ampunan adalah suka memberi makanan, menebarkan salam, dan berbicara dengan baik”.
Azyumardi Azra dalam pengantar dalam sebuah buku yang berjudul Memotret Filantropi di Indonesia, mengatakan bahwa filanrtropi Islam bisa dilihat dari tiga sudut pandang: doktrinal, institusional dan kademis. Secara Doktrinal, filantropi tidak diragukan lagi termasuk salah satu ajaran Islam yang telah ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an dan dicontohkan nabi Muhammad dalam beberapa hadisnya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 267 Allah berfirman :”Hai orang-orang yang beriman, dermakanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian apa yang kamu keluarkan dari bumi untukmu. Dan, janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu dermakan kepadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji”
Maksud makna dari Firman Allah ini telah jelas dan tegas. Paling tidak ada tiga hal yang yang bisa kita petik. Pertama, bahwa sebagai orang beriman, kita diperintahkan berderma atas karunia pemberian Allah. Kedua, bahwa kita tidak boleh memlih-milih sesuatu yang kita dermakan kepada orang yang berhak menerima dengan hal-hal yang buruk saja, sedangkan yang baik-baik untuk kita sendiri. Dan ketiga, firman Allah ini menjadi peringatan bagi kita bahwa kita adalah makhluk Allah yang tidak memiliki apa-apa, sedangkan Allah itu Mahakaya. Karena itu derma yang kita berikan bukan untuk ‘kepentingan’ Tuhan yang Mahakaya, tetapi untuk kepentingan dan kebaikan bersama-sama, kita hidup saling membantu dan saling menolong.
Dalam berbagai hadist juga disebutkan bahwa tanda iman adalah amal shaleh. Nabi menjelaskan tentang siapa orang yang beriman itu: “Tidak beriman kamu sebelum kamu mencintai saudaramu seperti kamu mencintai dirimu sendiri”. “Tidak beriman kamu kalau kamu tidur kenyang sementara tetangga kelaparan di samping kamu”. “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir muliakanlah tetanggamu”. Dari hadis-hadis ini, Nabi mendefinisikan iman dengan sejumlah amal saleh, dan seringkali iman itu ditandai dengan bentuk amal sosial, daripada amal saleh yang bersifat ritual.
Pada tataran institusional dan akademis, Filantropi Islam merupakan salah satu bidang yang masih terlantar dan terabaikan, terutama di Indonesia. Namun bila dilihat dari tingkat global, lembaga-lembaga filantropi sesungguhnya telah hadir sejak masa-masa awal Islam. Secara Historis disebutkan, bahwa ada satu kecendungan di kalangan penguasa Muslim, sejak Daulah Abasiyah hingga Turki Utsmani, selalu menunjukkan Filantropi mereka dalam berbagai bentuk kelembagaan khususnya pendidikan dan madrasah. Sementara itu, Universitas Al-Azhar di Mesir menjadi satu contoh filantropi Islam yang amat luar biasanya dengan harta wakafnya dan juga hasil-hasil usaha lainnya.
Di Indonesia, Filantropi bukan hal yang baru. Sebelum abad 19, tradisi kedermawanan sudah berkembang di lingkungan Istana, misalnya di kalangan kesultanan Aceh dan Mataram. Pada abad 20, tradisi kedermawanan di kalangan umat Islam semakin berkembang ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah Islam, baik dari Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persis, Al-Irsyad, serta sejenisnya.
Khatimah
Filantropi atau kedermawanan sosial merupakan akar budaya bangsa Indonesia dan juga pesan etika tertinggi dalam Islam. Hanya saja upaya tersebut tidak semassif apa yang terjadi di negara-negara Barat. Terlebih pengelolaanya yang belum profesional. Andai potensi filantropi ini dikelola dengan maksimal maka disparsitas sosial yang sangat curam sedikit demi sedikit namum pasti akan bisa terkikis dan juga angka kemiskinan yang mencapai 38,4 juta jiwa atau 18,2 % (data tahun 2002, belum di mutakhirkan) bisa dikurangi walaupun pelan tapi pasti. Dan sebetulnya bangsa yang tingkat solidaritsnya tinggi merupakan bengsa yang akumulasi filantropinya tinggi juga. Tinggal bagaimana iklim untrust bisa di minamlisir dan krisis sosial ekonomi pada dasarnya bisa tuntas dari dalam tanpa campur tangan luar yang terlalu dominan, melalui maksimalisasi kesadaran filantropi mulai dari individu (petani hingga artis atau atlit) dan perusahaan dari segala level usaha.
Referensi
- Zaim saidi dan Hamid Abidin, 2004. Menjadi Bangsa Pemurah; Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia. Piramedia
- Rachmat, jalaluddin,2001. Membuka Tirai kegaiban. Mizan
- Deputi Koordinasi bidang penanggulangan kemiskinan kementrian koordinator bidang kesejahteraan rakyat, 2004. Kebijakan Koordinasi dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan.
posted by rahmatullah on Kesejahteraan Sosial