Oleh Rahmatullah
Akhir-akhir ini kantor pos di berbagai daerah ikut disibukkan oleh calon-calon abdi negara yang mengirimkan berkas lamarannya untuk mengikuti tes CPNSD. Mulai dari mereka yang baru lulus SMA/ SMK atau kuliah berbagai level mencoba awal ”peruntungannya”, hingga mereka yang tidak pernah kapok berkali-kali mengikuti tes CPNSD namun ”keberuntungan” belum memihak, sampai ada diantaranya yang berekspektasi luar biasa mengikuti tes CPNSD tahun sekarang, karena batasan usia menghalangi mereka untuk mengikuti tes pada tahun berikutnya.
Ada beragam ekspektasi atau harapan dari para peserta tes memilih untuk menjadi calon pegawai negeri sipil, mulai dari kebutuhan primer memperbaiki nasib dan kejelasan ekonomi karena dengan menjadi PNS minimal ada harapan masa depan yang lebih baik, kebutuhan akan kejelasan nasib karena terlalu lama jadi TKK (tenaga kerja kontrak), GBS (guru bantu sekolah) atau istilah lainnya, kebutuhan akan eksistensi (memberikan prestasi terbaik untuk daerahnya), kebutuhan akan aplikasi (mengamalkan dan memanfaatkan ilmu yang telah didapatkannya), hingga kebutuhan akan prestise atau pragmatis (karena kedudukan sebagai keluarga terpandang atau adanya nilai gengsi dimata masyarakat jika menjadi PNS).
Akan tetapi dibalik membuncahnya harapan dari para peserta tes CPNSD, ada permasalahan laten dari dulu hingga sekarang yang tertanam kuat pada masing-masing peserta, yakni perasaan gambling, ibarat bermain judi mereka yang turut hanya sekedar mencoba ”peruntungan” saja, lulus syukur gak lulus ya wajar, karena semua sudah diatur orang-orang diatas. Hal tersebut bisa berdampak pada psikologis seseorang, dimana masing-masing diri tidak yakin akan kapasitas atau kemampuannya untuk mengikuti tes secara total, bukan karena kepandaian yang kurang atau berkas yang tidak lengkap, tetapi meminjam istilah Adam Smith adalah adanya invisible hand atau tangan–tangan gaib yang turut campur dalam menentukkan hasil tes CPNSD jauh-jauh hari, bahkan sebelum seleksi di mulai. Secara kebetulan tangan-tangan gaibnya tidak satu, melainkan banyak, karena banyak pihak yang memiliki kepentingan, dengan motif yang juga berbeda.
Berbagai kemungkinan praktik-praktik tidak terpuji bisa muncul sebelum, pada saat, bahkan setelah tes CPNSD. Mulai dari pembocoran soal dan jawabannya karena proses penjagaan berkas sebelum ujian yang tidak ketat, praktik perjokian, pembagian jatah untuk anak atau saudara para pejabat, hingga banyaknya titipan dari pihak lain yang punya kuasa. Bahkan seolah-olah semua bisa diatur, sehingga hasil total penilaian akhir tidak bisa dijadikan sebagai patokan, karena pertimbangan terakhir ada di tangan mereka-mereka yang memiliki kekuasaan untuk memutar balikkan keadaan, bahkan dalam waktu singkat.
Yang patut diperhatikan mulai dari sekarang adalah adanya kemungkinan pembagian kue Pilkada dalam penentuan hasil tes CPNSD, biasanya janji-janji terselubung kandidat yang sukses menjadi kepala daerah salah satunya adalah upaya balas jasa kepada mereka-mereka yang telah berhasil mengantarkan sang kandidat tersebut menjadi kepala daerah, tidak terhalang jatah tersebut diberikan kepada pengurus partai, anggota tim sukses, penasihat spiritual untuk kesemuanya berkemampuan menitipkan anak, menantu, keponakan atau hingga menjual jatah dengan nilai jutaan rupiah kepada orang lain berdasarkan rasio kedekatan dengan penguasa daerah tersebut.
Semoga tulisan ini tidak menjadi fitnah, walaupun sekedar prediksi, akan tetapi kemungkinan hal tersebut terjadi sangatlah besar, karena indikasi yang telah disebutkan jika kita selidiki, telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, dimana tak jarang kita lihat tetangga kita anak pejabat, atau saudara dari mereka yang punya kekuasaan di suatu daerah yang kita tahu kapasitasnya tidak seberapa, bisa lulus tes CPNSD bahkan dari satu keluarga, lulus lebih dari satu orang, mengalahkan peserta lain yang kapasitas keilmuannya kita tahu jauh lebih memadai. Oleh karena itu wajar jika ada masyarakat yang mengnggap jika seleksi CPNSD hanya uji ”keberuntungan” saja, karena semuanya sudah ada yang mengatur.
Pasca reformasi saat ini, seharusnya terjadi perubahan total dalam tatanan birokrasi, dimana masyarakat menagih konsistensi para birokrat untuk menjadi pionir dalam pemberantasan KKN mulai dari hal yang terkecil, dalam hal ini bagi beberapa pejabat daerah, tes CPNSD bisa dijadikan sebagai ajang pengujian bersih tidaknya, komitmen tidaknya seorang pejabat untuk menegakkan keadilan dan membuktikan diri dan keluarganya terhindar dari indikasi KKN. Bagi para pejabat yang terlibat, bisa dijadikan sebagai indikator awal berkualitas tidaknya mereka, jika memang demikian yang terjadi, bisa kita blow-up permasalahan tersebut sebagai skandal yang suatu saat berkemungkinan menjatuhkan mereka sendiri. Masyarakat sebetulnya menginginkan adanya statement para pejabat, kepala daerah, kepala dinas, hingga anggota legislatif untuk menjamin bersihnya semua proses dalam seleksi CPNSD, tidak ada pencederaan karena banyaknya titipan, tidak adanya pengaturan hasil dan penentuan jatah kursi sebelum tes dimulai. Jangan merasa sowan kepada pihak manapun karena jasanya pada proses suksesi pilkada atau lainnya, bahkan pantang dan gentar terhadap ancaman yang datang dari siapapun yang meminta bagian jatah. Statement tersebut penting dan masyarakat nantikan, sebagai bukti keseriusan pejabat tersebut untuk mengawali proses perubahan dan berlaku sebijkasana mungkin.
Dampak yang terjadi dan bisa kita rasakan hingga saat ini adalah betapa rendahnya mutu sumber daya manusia yang menjadi abdi negara karena proses seleksi CPNSD yang tidak sempurna. Bagi mereka yang punya kapasitas keilmuan yang memadai sebagai lulusan-luslusan perguruan tinggi terbaik dan punya panggilan moril untuk membangun daerah kelahirannya, bisa menjadi frustasi karena beberapa kali ikut seleksi CPNSD belum pernah lolos, terlebih bagi mereka yang usianya semakin uzur akan semakin hilang kepercayaan dirinya, apakah selamanya akan menjadi tenaga honorer tanpa kepastian masa depan. Selain berdampak pada psikologis seseorang, yang patut dipertimbangkan adalah akan seperti apa kinerja pemerintah daerah kedepannya, ketika mereka yang terseleksi di dalamnya bukanlah orang-orang yang terbaik, melainkan tergabung menjadi PNS hanya sekedar menjadi pelengkap saja..
Proses monitoring pun harus dimaksimalkan, dimana seluruh elemen dalam masyarakat mulai dari para peserta CPNSD itu sendiri, LSM, mahasiswa, pejabat terkait, anggota DPRD, melakukan pengawasan secara total untuk melihat ada tidaknya pelanggaran dalam proses seleksi, sejak awal hingga akhir pengumuman, dan bertindak tegas kepada siapun yang terlibat dalam pelanggaran. Bahkan alangkah lebih baik lagi jika dibentuk lembaga khusus yang fungsinya sebagai monitoring, menampung semua laporan, serta bertindak proaktif dan responsif terhadap pelanggaran apapun itu bentuknya.
Sebagai sebuah masukan, seleksi yang masih terlihat fair di Indonesia adalah seleksi dalam model Sipenmaru atau istilah yang digunakan sekarang adalah SPMB (seleksi penerimaan mahasiswa baru), dimana proses seleksi terkomputerisasi, terbagi ke dalam rayon, ujian diatur seketat mungkin sehingga tidak ada kemungkinan seseorang berhasil menitipkan anaknya untuk lolos dalam seleksi. Mereka yang lolos adalah mereka yang punya ikhtiar kuat, mempunyai kepandaian, integritas dan petarung sejati. Alangklah lebih fair lagi jika hasil akhir yang diumumkan dalam proses seleksi CPNSD dilampirkan juga nilai akhir yang di dapat oleh para peserta, mulai dari yang tertinggi, hingga yang terendah, selain terjamin kejujuran karena kualitas, juga ada proses evaluasi bagi mereka yang tidak lulus untuk mengetahui dimana kekurangan mereka selama ini.
Jangan sampai seleksi CPNSD hanya menghambur-hamburkan uang dan energi saja, baik yang berasal dari kantung peserta, hingga berapa anggaran dana yang dikeluarkan pemertintah untuk membiayai seleksi tersebut, jika pada akhirnya yang menang adalah kebatilan (unfair), dan ketidakbenaran, andai kita punya hati berapa banyak masyarakat yang membutuhkan uluran tangan karena tertimpa bencana. John Stuart Mill pernah menyatakan bahwa keberhasilan suatu bangsa adalah akumulasi keberhasilan warga negaranya dan sebaliknya kegagalan suatu bangsa adalah akumulasi kegagalan warga negaranya. Semua bisa diprediksi, semua bisa dikalkulasi, termasuk akan kemana arah bangsa Indonesia kedepan, jika hampir semua proses yang terjadi merupakan muara ketidakbenaran, andai (walaupun sudah pernah terjadi) tes CPNSD yang idealnya adalah untuk meraih calon abdi-abdi bangsa pun sarat dengan manipulasi, besar kemungkinan sampai kapanpun bangsa ini akan terhina, kecuali jika di mulai ikhtiar dari saat ini untuk berbenah.
posted by rahmatullah on Humaniora