Diberdayakan oleh Blogger.

Bagaimana Setelah Pisah Kelas?


posted by rahmatullah on

No comments


Oleh Rahmatullah

Sebuah kilas balik, ketika medio 2006 tepatnya bulan Juni dan Juli, Kabupaten Pandeglang sebegitu tenarnya, dimana hampir semua media cetak, elektronik, hingga media gosip memberitakan tentang kebijakan Bupati Pandeglang mengenai pisah kelas bagi siswa laki-laki dan perempuan setingkat SMP/MTs, SMA/MA dan SMK yang diatur dalam Surat Keputusan Bupati Nomor Nomor 421/Kep.198-Huk/2006, dengan alasan untuk membendung kerusakan moral anak muda Pandeglang. Berbagai pihak mengemukakan komentarnya, mulai dari pakar pendidikan Arif Rahman, Kak Seto, Rieke Dyah Pitaloka, hingga Nurul Arifin, yang pada waktu itu lebih banyak pihak yang tidak sepakat dibandingkan dengan mereka yang sepakat dengan pemisahan kelas, termasuk diantaranya para Guru di Pandeglang yang merasa pening dengan kebijakan Bupati, hanya karena Asal Bapak Senang (ABS). Pak Bupati tidak tahu riak yang sebenarnya terjadi di bawah. Karena alasan otonomi daerah, pada akhirnya keputusan Bupati tersebut menggelinding begitu saja, tanpa ada pihak yang berani menahan lajunya. Lalu apa yang terjadi hari ini setelah dua tahun kebijakan pisah kelas diberlakukan? Apakah sudah ada titik temu antara ekspektasi Bapak Bupati dengan realita yang ada?
Jika kita coba melakukan semacam evaluasi formatif, maka sejauhmana harapan Bupati dalam membendung kerusakan generasi muda jika parameternya adalah dengan pemisahan kelas. Jawabannya adalah sama sekali tidak ada perubahan signifikan, yang ada justru pendidikan Pandeglang semakin terbelakang dan motivasi para guru dalam mengajar juga menjadi semakin jatuh. Sebetulnya atas dasar apa kepala dinas pendidikan waktu itu mengemukakan argumen bahwa keputusan Bupati tersebut sesuai kajian yang matang, yang dilakukan oleh para ahli. Pertanyaannya, ahli pendidikan mana yang dilibatkan dalam mengkaji, dan konsultan mana yang diajak meneliti. Kenyataan yang ada, hanya didasarkan pada aspek teologis pendapat para tokoh Agama tentang perbedaan muhrim yang dambili dari pesantren yang kemudian diterapkan dalam dunia pendidikan Pandeglang, bukan hasil dari kajian yang betul-betul matang, melainkan Bupati melalui kebijakannya baru sekedar glass self effect, yaitu mengharapkan simpati para ulama, dengan mengorbankan esensi pendidikan.
Berdasarkan penelitian sederhana penulis di beberapa sekolah dan wawancara dengan beberapa guru, menunjukkan bahwa kecendrungan yang terjadi sekarang di sekolah-sekolah, yaitu sebagian besar Guru lebih senang mengejar di kelas siswa perempuan, karena mudah diatur, dan malas mengajar di kelas laki-laki karena semakin sulit dikendalikan. Iklim kompetisi berprestasi antar siswa sebelum dipisah sangat besar, karena banyaknya stimulus lingkungan, namun sekarang siswa hanya mengejar hal-hal yang standar saja. Selain itu kondisi tidak tertib semakin mencolok di kelas laki-laki, tidak ada kerapihan, yang ada saling acuh dan memperbesar konflik antar siswa. Selain itu berdampak kepada kondisi psikologis guru dalam mengajar yang lebih mengedepankan emosi dibanding logika, karena kondisi siswa yang tidak kondusif. Apakah bisa kualitas pendidikan ditingkatkan jika kondisi yang tergambarkan seperti diatas?
Tulisan ini bukan untuk memperkeruh atau membuat suasana pendidikan Pandeglang menjadi tidak nyaman, melainkan mencoba mengingatkan bahwa masalah pendidikan bukan sekedar penjabaran aturan atas dasar citra, formalitas atau bahkan ajang coba-coba, karena berbicara pendidikan berkaitan erat dengan aset bangsa, masa depan bangsa dan tentunya cermin Pandeglang 30 tahun kedepan, karena yang menjadi masalah adalah SK Bupati tersebut merupakan sesuatu yang kontroversi, karena tidak ada landasan substansi secara akademik, ditambah lagi belum adanya pihak yang melakukan evaluasi, malah proses lemming-isme menggejala, dimana semua unsur pendidikan di Pandeglang, mulai dari Dinas Pendidikan, Guru, Mahasiswa, kalangan akademisi mengikuti dan mematuhi dengan kepasrahan.
Jika kita kaji makna filosofis pendidikan, menurut Proopert Lodge, yang mana pendidikan adalah proses bagaimana manusia mengenali diri dengan segenap potensi yang dimilikinya dan memahami apa yang tengah dihadapinya dalam realitas kehidupan yang nyata, maka apa yang terjadi di Pandeglang adalah upaya menafikan sebuah realitas, atas dasar wacana moral, manusia cenderung menghindari kenyataan dan tantangan. Dalam sejarah Nabi diriwayatkan bahwa Rasulullah lebih mencintai sahabatnya yang berdawah dan beribadah di pasar, dibandingkan dengan sahabatya yang mengasingkan diri kepuncak gunung menjadi rahib yang menolak realitas kehidupan dunia.
Pendidikan kita akan semakin statis, ketika perubahan yang dilakukan hanya menyentuh hal-hal simbolistik, formalitas, tanpa menyentuh hal-hal substansi. Kecendrungannnya bisa terlihat pada akan semakin bermunculannya masalah baru sebagai multiplier effect. Apa jadinya ketika guru dan sisiwa hanya disibukkan oleh hal-hal teknis pisah kelas, tapi hal substansi seperti kondisi fisik kelas yang memprihatinkan di Pandeglang selatan tidak tersentuh, ketika motivasi siswa dan guru dalam belajar dan mengajar semakin rendah, ketika media praktik tidak ada. Apa jadinya ketika Kabupaten Serang, Cilegon, Tangerang, bahkan Lebak sudah jauh berinovasi dan berprestasi dalam pendidikan dasar, sedangkan Pandeglang masih bergelut dalam masalah teknis pemisahan kelas yang belum berujung. Jika kita berpikir apa sebetulnya kontribusi Pandeglang untuk kualitas pendidikan nasional, kalau hanya aspek simbolik yang diperjuangkan. Apakah bisa rangking PERC (The Political and economic risk consultancy), yang menunjukkan keterpurukan pendidikan Indonesia yang berada pada urutan 12 negara-negara di asia, berada jauh dibawah Malaysia bisa diperbaiki, jika yang dibenahi adalah hal-hal yang kurang penting.
Adapun jika kita berbicara masalah moral, maka moral tidak lantas akan menjadi baik jika dikekang melalui aturan-aturan kaku yang justru bertolak belakang dengan filosofi pendidikan itu sendiri, karena peraturan cenderung menjauhi atau menghindari realita, bukan malah menghadapinya melalui kedewasaan berpikir. Menurut Kohelberg, ketika kita berbicara mengenai moral, maka orientasi moralitas bagi seseorang terbagi kedalam beberapa hal diantaranya; normative order, yaitu orientasi untuk menerapkan tata aturan dan peran dari aturan moral dan kecendrungannya, di dasarkan pada elemen-elemen hukum yang ada, maka siuasi ini adalah situasi terendah dimana hanya diberlakukan dengan tangan besi, dikarenakan kondisi masyarakat yang cheos. Apakah Pandeglang layak dimasukan dalam tipologi ini dengan adanya SK pemisahan kelas?. Kemudian Utility consequences, orientasi moral yang didasarkan pada baik atau buruk terhadap konsekuensi kesejahteraan dari perilaku seseorang bagi orang lain atau bagi diri sendiri. Hal ini tidak jauh berbeda dengan normative order yang landasannya adalah peraturan hukum. Kemudian Justice or fairness, yaitu tahapan orientasi moral yang ada kaitannya dengan kebebasan, kesetaraan, resiprokalitas, dan kontrak sosial atau pribadi. Dan yang terakhir adalah Ideal self, yaitu suatu orientasi moral yang mementingkan image untuk menjadi orang baik, terhormat, berhati nurani, bermartabat, dimana kemampuan orang dalam memahami dan menghargai orang lain, tanpa dilandaskan ada aturan hukum yang memangkas kreatifitas manusia dalam berpikir.
Hal yang seharusnya muncul dalam iklim pendidikan adalah ideal self, bukan normative order yang hanya layak diterapkan pada wilayah-wilayah barbar dan kriminal. Karena esensi pendidikan merupakan kemampuan diri dalam berfikir membedakan antara hitam, putih dan abu-abu secara personal. Bukan represifitas mengekang tanpa diajak berfikir dengan aturan-aturan yang tidak mendewasakan. Dengan 2 mei yang sakral, sebagai hari pendidikan, tidak ada salahnya jika kita memperbaiki dan merevitalisasi pendidikan di Pandeglang khususnya, karena sudah cukup 2 tahun berjalan menjadi bukti kondisi yang semakin jauh dari harapan. Bukan malah mendiamkan sebagai wujud kepasrahan dan ketidakberdayaan.

Leave a Reply

Sketsa