Oleh: Rahmatullah1
Menarik, ketika membaca sebuah koran yang memberitakan inspeksi mendadak Mendiknas pada hari senin, 6 mei 2008 di beberapa SMP di Jakarta, saat berlangsungnya ujian nasional (UN), yang kebetulan pada saat tersebut Mendiknas menemukan kejanggalan mengenai kelalaian pengawas dalam menyegel amplop. Karena hal tersebut Mendiknas kemudian memberikan statemen “Tidak alasan tidak tahu, karena UN sudah bertahun-tahun dilaksanakan”. Statemen tersebut seakan-akan menjadi sebuah pembenaran (judgment) yang menegaskan sebuah situasi, bahwa UN yang diselenggarakan seperti baru pertama kali dilaksanakan. Entah mengapa, nampaknya hanya di negeri ini sebuah penyelenggaraan ujian nasional yang outputnya adalah kelulusan siswa, yang sebetulnya hal biasa dan wajar dalam ritual tahunan kelulusan sekolah, seperti telah berubah menjadi sebuah horor, ketegangan yang menakutkan siapapun, baik bagi siswa, guru, kepala sekolah, komite sekolah, hingga pejabat pendidikan setempat. Bagi siswa ketakutan terbesar adalah tidak lulus dan hawatir masa depannya suram. Bagi guru dan pihak sekolah hawatir menjadi aib jika ada siswanya yang tidak lulus, dan bagi Diknas akan malu ketika wilayah dinasnya terdapat prosentasi ketidaklulusan yang besar dan mendapat teguran pejabat daerah setempat.
Hal yang membuat kita bingung ketika mengamati penyelenggaraan UN yang serba ketat, pengamanan dan penjagaan berlapis-lapis, pengawasan para guru yang serba kaku bahkan tanpa senyum, hingga ada sekolah di Bandung yang menyediakan fasilitas CCTV untuk memastikan tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh siswa maupun guru, seolah-olah hiperbolis menunjukkan fenomena distrust akut dalam dunia pendidikan. Sebuah momok yang mengkhawatirkan bagi kita sebagai bangsa yang beradab, apakah memang siswa-siswi di negeri ini tidak ada yang jujur, sehingga ketakutan terjadinya pelanggaran sedemikian besarnya. Apa yang sebetulnya diajarkan guru selama tiga tahun kepada siswanya mengenai etika, Pancasila, budi pekerti, jika pada akhirnya luruh hanya beberapa hari pada saat UN, dengan memperlakukan siswanya seperti “kriminal”. Terlebih dengan adanya densus-88 yang melabrak sekolah dengan peluru di Lubuk Pakam, Deli Serdang. Lantas apa bedanya antara pendidikan sebagai sarana kawah candra dimuka dalam merubah mindset manusia, dengan perlakuan bak teroris yang mengancam dan membuat takut.
Adapun jika kita berbicara masalah kejujuran dan moral, maka kejujuran dan moral tidak lantas akan menjadi baik jika dikekang melalui aturan-aturan kaku yang justru bertolak belakang dengan filosofi pendidikan itu sendiri, karena peraturan cenderung menjauhi atau menghindari realita, bukan malah menghadapinya melalui kedewasaan berpikir. Menurut Kohelberg, ketika kita berbicara mengenai kejujuran, maka orientasi kejujuran bagi seseorang terbagi kedalam; normative order, yaitu orientasi untuk menerapkan tata aturan dan peran dari aturan moral dan kecendrungannya, di dasarkan pada elemen-elemen hukum yang ada, maka situasi ini adalah situasi terendah dimana hanya diberlakukan dengan tangan besi, dikarenakan kondisi masyarakat yang chaos. Apakah pendidikan kita layak dimasukan dalam tipologi ini dengan adanya kekakuan dan ketakutan dalam penyelenggaraan UN?. Kemudian Utility consequences, orientasi moral yang didasarkan pada baik atau buruk terhadap konsekuensi kesejahteraan dari perilaku seseorang bagi orang lain atau bagi diri sendiri. Hal ini tidak jauh berbeda dengan normative order yang landasannya adalah peraturan hokum dan represifitas. Kemudian Justice or fairness, yaitu tahapan orientasi moral yang ada kaitannya dengan kebebasan, kesetaraan, resiprokalitas, dan kontrak sosial atau pribadi. Dan yang terakhir adalah Ideal self, yaitu suatu orientasi moral atau kejujuran yang mementingkan image untuk menjadi orang baik, terhormat, berhati nurani, bermartabat, dimana kemampuan orang dalam memahami dan menghargai orang lain, tanpa dilandaskan ada aturan hukum yang memangkas kreatifitas manusia dalam berpikir. Bukankan aspek ini yang harus ditumbuhkan dalam dunia pendidikan.
Jika kita berpikir secara psikologis, ketika sebuah peristiwa dilakukan seakan-akan menakutkan, bayangan-bayangan yang muncul dalam UN adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, maka yang timbul adalah phobia, dimana siswa tidak akan sampai pada tahap klimaks dalam berfikir dan mengarjakan soal, karena selalu berada dalam situasi hawatir. Apakah pihak penyelenggara pendidikan yakin dengan situasi menakutkan yang terbentuk dalam UN bisa meningkatkan jumlah siswa yang lulus?. Wajar jika dalam beberapa pemberitaan mengemuka siswa-siswa yang menangis masal setelah mengerjakan soal UN, selain karena soalnya susah, juga karena suasana menakutkan andai tidak lulus yang terus membayangi. Seakan-akan UN telah berubah wujud jadi hantu yang mengancam. Bukankah dalam ilmu psikologi kita kenal apa yang disebut sugesti, yang jika yang dipupuk dalam UN adalah hal mudah dan menyenangkan, maka siswa pun akan menikmati dan mudah mengerjakannya. Sedang jika yang dipupuk adalah sesuatu yang menegangkan, kekakuan dan ketakutan maka sebelum mengerjakan soal pun siswa sudah terbelenggu ketidakmampuan, akibat stressing situasi yang tidak menyenangkan.
Sebuah pertanyaan dalam konteks pendidikan kita saat ini, dimana semua kalangan mengalami ketakutan dengan simbolisme UN, apakah karena UN menjadi segala-galanya, dan semua ukuran keberhasilan pelajar selama tiga tahun hanya dilekatkan pada parameter UN. Bukankah pada akhirnya UN merupakan belenggu yang mengkrangkeng anak bangsa yang punya aneka ragam potensi. Sungguh membingungkan dan pastinya semakin membuat manusia minder. Ketika seorang anak punya prestasi dan bakat dalam bidang seni atau olah raga, harus pupus semangatnya karena nilai UNnya buruk, padahal dipaksakan pun mereka sulit memahami pelajaran matematika misalnya. Memang hal seperti UN inilah yang sebenarnya membatasi potensi anak-anak bangsa untuk maju dan berkembang, karena sejak SD anak bangsa ini sudah di kotak-kotakkan dan diseragamkan, padahal potensi dan kemampuannya jelas-jelas berbeda. Bukankah hal tersebut melanggar anugrah manusia dan prinsip-prinsip humanitas. Makanya sebuah kewajaran jika dalam waktu yang sama, anak-anak di luar negeri sedang mengembangkan potensinya dengan fokus pada bidang olah raga, seni, keterampilan, tehnologi, sedangkan anak-anak di Indonesia sedang stres menghadapi UN dan mengalami ketakutan akan masa depannya andai tidak lulus. Hal seperti ini yang menyebabkan anak-anak di negeri ini tidak visioner bahkan tidak punya mimpi, maupun sekedar lamunan.
Fenomena UN merupakan wujud hipokritas identitas dalam dunia pendidikan. Sebuah kemunduran drastis dalam pendidikan kita dikala peradaban dunia sedang menumbuhkan semangat kepercayaan, semangat menikmati proses, semangat berimprovisasi dan semangat motivasi berprestasi, harus terbatasi oleh UN yang sepertinya menakutkan, yang sebetulnya adalah hal biasa. Semoga suatu saat kejujuran akan tumbuh, tapi bukan karena ketakutan, melainkan lahir dari kedewasaan berpikir, situasi menyenangkan, dan kepercayaan yang akan hadir tanpa keterpaksaan.
1 Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD